Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Beban hidup perempuan kepala keluarga makin berat saat Pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, mereka sudah prasejahtera.
"Pandemi membuat mereka makin jauh dari sejahtera,” kata Fitria Villa Sahara, Co-Direktur Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) dalam keterangannya, Jumat 1 Oktober 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pandemi Covid-19 menyebabkan banyak rumah tangga berakhir, baik sebagai akibat perceraian atau kematian laki-laki kepala keluarga. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik pada 2020, secara keseluruhan ada 11,44 juta keluarga dikepalai oleh perempuan. Jumlah perempuan kepala keluarga ini diyakini terus bertambah seiring pandemi masih berlangsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perempuan kepala keluarga adalah kelompok yang rentan baik secara sosial maupun ekonomi. Villa memaparkan 95 persen perempuan kepala keluarga ini bekerja pada sektor informal seperti pedagang, buruh, petani, atau buruh tani. “Hampir separuh dari mereka tingkat pendapatannya kurang dari Rp500 ribu tiap bulan,” jelasnya.
Kondisi ekonomi makin sulit dengan adanya Pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Padahal kebutuhan pengeluaran pendidikan untuk anak-anaknya meningkat dengan adanya kebijakan sekolah dari rumah.
Nur Haryati, 46 tahun, salah satu perempuan kepala keluarga yang berjuang di tengah pandemi Covid-19. Ia bercerai dengan suaminya sejak 2014 dan hingga kini menanggung sendiri kebutuhan dua anaknya. Selama pandemi, dia bekerja sebagai buruh harian usaha makanan rumahan. “Gajinya Rp40 ribu sehari,” ujarnya.
Pekerjaan dan penghasilan ini pun tidak menentu. “Karena hanya masuk kerja kalau majikan butuh,” tambah Haryati.
Permasalahan lain yang mempersulit perempuan seperti Haryati adalah status perempuan sebagai kepala keluarga kurang diakui. Sehingga berbagai program bantuan sosial kerap tidak memasukkan mereka dalam daftar penerima. “Imbasnya, peluang mereka mendapat bantuan atau program sosial semakin kecil,” ujar Villa.
Selain kerap tersisih dalam alokasi bantuan, perempuan kepala keluarga tidak dimasukkan ke dalam kriteria kelompok rentan. Akibatnya, mereka pun tidak masuk dalam prioritas program vaksinasi.
Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, menilai kalangan perempuan kepala keluarga harus mendapatkan prioritas vaksinasi dan bantuan. “Perempuan kepala keluarga memiliki peran yang krusial bagi keluarga. Jangan sampai mereka luput dari perhatian dan anak-anak jadi ikut menanggung dampaknya,” kata Hamid.
Untuk itu PEKKA bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan mendesak pemerintah agar perempuan kepala keluarga bisa mendapat bantuan sosial, kemudahan akses layanan pemerintah dan prioritas mendapat vaksinasi.
SRI RAHMAWATI