AKHIRNYA Eko mengalah. Siswa kelas III IPA itu dengan sedih meninggalkan SMPP (Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan) 10, Yogyakarta. Pekan lalu ia pindah ke SMA YUB (Yayasan Usaha Buruh), sekolah swasta berbantuan, yang jam belajarnya malam hari. Sulistyo Eko Maryoto bulan lalu menjadi berita. Ia membuat angket seks yang disebarkan kepada teman-temannya. Tanpa diketahuinya hasil angket itu disiarkan surat kabar Minggu Pagi, Yogyakarta. Rupanya geger. Kepala Kanwil P & K Yogyakarta, Drs. GBPH Poeger, lalu membentuk tim pengusut. Dan Eko dianggap "lancang", menyebarkan angket tanpa izin kepala sekolah atau Kanwil P & K Yogya (TEMPO, 22 Januari). Tentu saja tanggapan cukup ramai. Dalam harian Kompas beberapa kali muncul surat pembaca yang a.l. menghimbau agar mereka tidak memadamkan api kreativitas Eko. Bahkan ada satu pembaca harian itu yang mengharapkan angket seks Eko dijadikan tulisan ilmiah dan disertakan dalam lomba karya ilmiah yang setiap tahun diselenggarakan Dep P & K. Konon Redaksi Kompas menerima bulan lalu tiap hari rata-rata lima surat. Minggu Pagi dalam edisi 22 Januari, halaman I sepenuhnya memuat empat tulisan yang menanggapi kasus Eko. Salah satu tulisan itu datang dari Emha Ainun Najib, penyair. "Persoalannya bukan membela atau mencela Eko," kata Ainun kepada TEMPO. "Pakai dong, akal sehat!". Kenapa dia pindah sekolah? Eko sendiri kini tidak mau berbicara. Sementara pihak SMPP 10 menyerahkan persoalannya kepada Kanwil P & K Yogya. Dan Kepala Sekolah SMA YUB, Nuryono juga heran mengapa Eko pindah. Ia hanya mengatakan, bahwa Eko mendaftar ke SMA YUB atas kemauan sendiri. "Saya terima, karena saya lihat ia anak cerdas, perlu diselamatkan dari keputusasaan," tutur Nuryono. Poeger, Kakanwil itu, menolak anggapan bahwa sikapnya terhadap kasus ini "tidak mendidik". Dia mengatakan "Kami masih memberikan kesempatan kepada Eko untuk pindah ke sekolah lain. "Rupanya Eko menyadari kehadirannya di SMPP 10 bakal menimbulkan pro dan kontra di antara teman-temannya. Ini bisa menimbulkan keresahan, dan ketenangan belajar di sekolah itu bisa terganggu. Lantas ia memilih mengundurkan diri. "Sekolah Eko tak boleh berhenti di tengah jalan. Kami menyalurkannya ke sekolah swasta. Dan Eko memilih SMA YUB itu. Apa sikap saya ini tidak mendidik?" Poeger pun mengakui kreativitas Eko. Cuma, ya, Eko tidak minta izin menyebarkan angket. "Setiap penelitian di sekolah harus minta izin. Ada peraturannya," kata Sahyar Suprapto, Kepala Penerangan Kanwil P & K Yogyakarta. Wartawan TEMPO di Yogyakarta yang sempat mengobrol dengan beberapa siswa SMPP 10 mengatakan mereka tak tahu adanya peraturan itu. Anehnya, menurut seorang guru di situ, banyak rekannya mengetahui ketika angket Eko disebarkan tapi diam saja. Tidak ada kesan pro dan kontra di antara siswa SMPP 10 mengenai kasus Eko. Tapi Drs. Panut, ayah Eko, menjadi kikuk. Panut adalah Guru Bimbingan dan Penyuluhan, sekaligus menjadi wakil kepala SMPP itu. SMPP 10, termasuk sekolah favorit di Yogyakarta, sering dijadikan sampel penelitian. SMA YUB, sekolah Eko yang baru, jauh dari populer. Tapi anak itu sadar dan masih tekun belajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini