Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengangkatan selebritas Deddy Corbuzier dan sejumlah nama sebagai pejabat negara staf khusus Kementerian Pertahanan menuai sorotan. Musababnya, pengangkatan pejabat negara baru tersebut dilakukan di tengah isu efisiensi anggaran oleh Presiden Prabowo Subianto. Tak hanya itu, kapabilitas Deddy di birokrasi pemerintahan juga dipertanyakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merespons sorotan tersebut, Deddy menegaskan ia tidak akan mengambil gajinya sebagai stafsus. Pegiat YouTube dengan jumlah pelanggan lebih dari 24 juta itu mengaku masih memiliki nilai jual yang tinggi sebagai artis. Sosok yang dikenal sebagai presenter ini menyebut masyarakat lebih membutuhkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya tidak akan mengambil gaji atau materi apapun yang sifatnya untuk saya pribadi. Santai aja ya teman-teman. Net worth saya masih tinggi. Masa masalah efisiensi yang kena saya doang. But okay sure. I know why lah,” tulis Dedy di akun Instagram @corbuzier, Kamis, 13 Februari 2025.
Menanggapi fenomena pejabat negara tak mau ambil gaji, menurut mantan Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, hal itu bukan sesuatu hal yang bisa dianggap luar biasa. Pihaknya justru secara gamblang menilai pernyataan tersebut terkesan hanya sebatas gimik atau pencitraan.
“Saya melihatnya tidak menerima gaji itu ya gimik saja,” kata Adnan dalam pesan suara kepada Tempo pada Ahad, 16 Februari 2025.
Sebab, menurut Adnan, gaji bukanlah satu-satunya privilage atau keistimewaan yang didapat ketika seseorang menduduki jabatan. Meski mengaku tidak akan menerima gaji, jabatan yang diemban tetap dapat memberikan finansial secara tidak langsung. Apalagi pejabat tersebut misalnya datang dari latar belakang pengusaha atau pebisnis.
“Nah, yang harus juga dilihat secara kritis, tidak menerimanya gaji seseorang yang telah diangkat atau disumpah menjadi seorang pejabat atau pejabat pemerintah, itukan bisa saja tetap memberikan finansial secara tidak langsung,” katanya.
Pendiri Visi Integritas ini berujar pejabat sudah dipastikan memiliki otoritas atau wewenang. Kekuasaan tersebut, kata dia, bisa secara tidak etis dimanfaatkan untuk memuluskan bisnis, membuka akses baru untuk ekspansi, hingga memberikan proteksi untuk usaha-usaha yang mungkin melanggar hukum.
Lebih lanjut, menurut dia, karena posisi mereka sebagai pejabat yang tentu dekat dengan penguasa, mereka mendapatkan keuntungan misalnya untuk tidak diawasi. Juga, untuk tidak diproses secara hukum apabila ada masalah-masalah pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan mereka atau mereka sendiri.
“Jadi sebenernya yang sangat urgent untuk diletakkan sebagai isu utama dari soal ini bukan apakah mereka terima gaji atau tidak, tapi apakah ketika mereka diangkat sudah secara jelas dapat mengelola benturan kepentingan yang ada di hadapan mereka,” kata aktivis antikorupsi kepada Tempo, Senin, 17 Februari 2025.
Adnan mengatakan, konflik kepentingan ini tentu menyangkut soal apa yang mereka kerjakan di luar sebagai bukan pejabat dengan apa yang mereka lakukan sebagai pejabat. Menurutnya peraturan soal konflik kepentingan juga sebenarnya sudah ada, akan tetapi sering kali dilupakan.
Sehingga, kata dia, tidak jelas bagaimana regulasinya jika pejabat tersebut datang dari latar belakang pebisnis atau pengusaha, termasuk pegiat media sosial media atau artis. Tidak ada aturan tegas apakah mereka tetap melakukan kegiatannya untuk mendapatkan income, meskipun pada saat yang sama mereka adalah pejabat.
“Ini kan batasan-batasan yang diharuskan dipisahkan, ada dinding api antara sektor bisnis yang mereka lakukan dengan posisi mereka sebagai seorang pejabat,” kata Adnan Topan Husodo.
Salah seorang penulis buku Pendidikan Antikorupsi Transdisiplin ini ini juga menekankan bahwa pejabat yang hebat bukan mereka yang tak mengambil gajinya, tetapi yang berkompeten. Menurutnya gaji merupakan hak yang memang kudu didapatkan oleh pejabat di samping kewajiban yang harus dilakukan. Ia khawatir pejabat yang tidak menjalankan tugasnya berdalih lantaran tidak menerima gaji.
“Gaji yang diterima merupakan sebuah hak yang bisa saja ditolak jika memang tidak dikehendaki. Akan tetapi situasinya menjadi lebih rumit apabila pejabat tersebut akhirnya mengabaikan kewajiban-kewajibannya dengan dalih mereka tidak ambil gaji,” katanya.
Adnan meminta publik untuk tetap menyoroti fenomena pengangkatan pejabat yang tidak berkompeten di bidangnya. Menurutnya, mereka yang tidak kompeten itulah yang akan menjadi persoalan serius bagi penyelenggaraan layanan ataupun penyelenggaraan pemerintahan, yang sebenarnya memiliki tujuan atau cita-cita yang besar.
“Yang kalau dalam konteks Indonesia ya tentu menuju Indonesia emas sebagaimana yang sering disampaikan oleh pemerintah,” kata Adnan.
S Dian Andryanto dan Daniel Ahmad Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.