Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam akad nikah terdapat prosesi ijab kabul yang biasanya dilakukan secara lisan oleh mempelai laki-laki dan calon mertuanya. Ijab qabul ini biasanya dilakukan dengan berjabat tangan antara keduanya hingga selesai dilakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hanya saja, proses ini perlu dipahami secara berbeda pada mempelai penyandang disabilitas rungu dan disabilitas daksa. Masyarakat perlu mengetahui bagaimana ijab kabul nikah yang dilakukan difabel tetap sah dalam hukum agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pada prinsipnya, sebuah pernikahan dinyatakan sah apabila rukun-rukun pernikahan yang jumlahnya lima terpenuhi pada prosesi akad nikah tersebut. Berikut perincian rukun-rukun nikah:
- Ada zuami (zaujun)
- Ada istri (zaujatun)
- Ada wali
- Ada dua saksi
- Ada sighat (ijab qabul)
Hal ini jelas disebut oleh As-Sayyid Ahmad bin Umar As-Syatiri dalam kitabnya al-Yaqut an-Nafis. Bagi disabilitas rungu, ketika dia melangsungkan akad nikah maka yang menjadi titik tekan bahasaya adalah kaitan dengan ijab kabul yang dilakukan olehnya, yang tentu tidak sama dengan non-disabilitas.
Mengutip buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas yang disusun oleh Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, serta Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universtas Brawijaya, menyatakan fiqih memberikan solusi sebagaimana dikatakan oleh tokoh ulama mazhab Syafi'i, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam Syamsuddin Muhammad Ramli.
Foto Ilustrasi Pernikahan. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
Mereka menyatakan ijab kabulnya seorang disabilitas rungu tetap dinyatakan sah dan cukup dengan penggunaan bahasa isyarat yang mudah dipahami. Bahkan dengan tulisan pun bisa apabila isyaratnya sulit dipahami dan tidak mungkin diwakilkan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatu Muhtaj ketika membicarakan rukun-rukun nikah. "Adalah sah nikahnya seorang disabilitas rungu dengan bentuk memberikan isyarat (ketika terjadi ijab qabul) yang tidak hanya orang pandai saja yang memahami isyaratnya (artinya semua orang yang ada di tempat itu memahami isyarat ijab qabulnya) demikian juga pernikahan disabilitas rungu dihukumi sah (yang ketika terjadi ijab qabul) dia menggunakan tulisan dan tidak ada yang berbeda pendapat sesuai dengan kitab Majmu Imam Nawawi," kata Imam Ibnu Hajar al-Haitami.
Mengenai jabat tangan saat akad nikah, hal ini bukan termasuk rukun dan kewajiban nikah. Dengan begitu, seorang disabilitas daksa tanpa tangan ketika melakukan akad nikah memang tidak harus melakukan sesuatu sebagai simbol 'jabat tangan', dan akad nikahnya tetap sah.