Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengatakan defisit APBN pada Januari-Februari disebabkan kebijakan impulsif pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Seknas FITRA Gulfino Guevarrato mengatakan, Presiden Prabowo tetap bergeming dengan berbagai kebijakan irasional seperti pemangkasan anggaran, Badan Pengelola Investasi Danantara, hingga program populis Makan Bergizi Gratis. Kebijakan ini justru memantik sinyal negatif dari perekonomian nasional, ditunjukkan dengan penurunan daya beli masyarakat. Sinyal negatif ini diperkuat modal asing yang keluar senilai Rp 23 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Gulfino, alih-alih mendorong investasi, kebijakan pemerintah justru membuat kabur investor. Sejak Prabowo-Gibran Rakabuming Raka dilantik 20 Oktober 2024, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus terkoreksi dan berada di level merah (turun).
Sementara di tingkat rumah tangga, rasio tabungan masyarakat terjerembab, berada pada level terendah sejak 2021. Selain itu, terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di beberapa daerah. Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh Said Iqbal, sepanjang dua bulan pertama di tahun 2025 sudah terjadi PHK kepada 60 ribu pekerja di Indonesia.
“Kami menyarankan kepada Presiden Prabowo untuk segera meninjau ulang kebijakan-kebijakan yang berdampak buruk pada pelayanan publik, seperti efesiensi anggaran. Efesiensi anggaran harus dilakukan secara proporsional dan tepat. Tidak bisa serampangan dan sporadis,” kata Gulfino dalam keterangan tertulisnya, 14 Maret 2025.
Gulfino mengatakan indikasi negara tidak dalam kondisi baik terlihat dengan defisit APBN pada awal tahun 2025 mencapai Rp 31 triliun atau setara dengan 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor pajak yang telah lama menjadi tulang punggung pendapatan negara juga merosot. Pendapatan pajak Februari 2025 hanya Rp 187,8 triliun atau turun 30 persen dari Februari 2024 yang mencapai Rp 269 triliun. “Investasi besar untuk aplikasi Coretax rupanya hanya menghasilkan omon-omon belaka,” ujarnya.
Menurut Gulfino, apabila membandingkan pendapatan negara pada bulan yang sama di 2024, kinerjanya telah mencapai Rp 400,4 triliun atau 14 persen dari total APBN 2024. Sedangkan di Februari 2025, kinerja pendapatan baru menyentuh Rp 316,9 triliun atau turun 20,9 persen dari kinerja tahun lalu.
“Masih membandingkan dengan kinerja Februari tahun 2024, kinerja anggaran negara surplus Rp 26 triliun, sedangkan di Februari 2025, defisit Rp 31 triliun,” tuturnya.
Upaya penghematan lewat Instruksi Presiden tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Prabowo. Gulfino menyebut hasil pemangkasan anggaran yang mencapai Rp 306,7 triliun justru tidak digunakan untuk kebutuhan produktif, tetapi dipergunakan sebagai modal Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara dan tambahan anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Seknas FITRA menilai defisit APBN merupakan dampak dari kebijakan pemerintah Prabowo-Gibran yang impulsif,” katanya. “Ambisi berkuasa yang didukung dengan lemahnya peran oposan membuat kekuasaan dikelola secara ugal-ugalan.”
Kementerian Keuangan menyatakan data penerimaan pajak bulan Januari tidak dapat dibandingkan dengan penerimaan tahun sebelumnya karena adanya beberapa kebijakan, seperti Tarif Efektif Rata-Rata (TER), relaksasi (PPN DN), dan restitusi yang signifikan. Selain itu, Kementerian Keuangan berpendapat merosotnya penerimaan negara juga disebabtkan melambatnya harga komoditas utama seperti batubara (-11,8%), brent (-5,2%), dan nikel (-5,9%).
“Namun, Kementerian Keuangan tidak menjelaskan dampak aplikasi Coretax yang implementasinya masih compang-camping,” kata Gulfino.
Gulfino menilai menilai turunnya kinerja pajak tahun 2025 tidak lepas dari implementasi Coretax yang penuh kendala. Ia mengatakan ada keterkaitan antara pengelolaan pemungutan pajak dengan capaian kinerja pendapatan pajak. Sehingga, kata dia, apabila kinerja Coretax buruk, pendapatan pajak pun tidak maksimal.
“Seknas FITRA mendesak Kepada Kementerian Keuangan untuk segera memperbaiki tata kelola perpajakan nasional. Sekiranya aplikasi Coretax yang dianggap sebagai pembaharu tersebut malah menghambat kinerja pajak, maka Menteri Keuangan harus segera mengambil sikap tegas kepada Direktorat Jenderal Pajak,” ujarnya.
Selain itu, Gulfino meminta Kementerian Keuangan dan kementerian teknis lainnya memastikan penggunaan hasil efisiensi anggaran untuk program-program yang produktif dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat menengah ke bawah.
Gulfino menyarankan agar pemerintah tidak hanya bergantung pada penerimaan pajak. Pemerintah, ucap dia, harus inovatif dalam meningkatkan penerimaan negara yang tidak memberikan dampak negatif pada rakyat melalui intensifikasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor Sumber Daya Alam (SDA).
“Selama ini, banyak celah kebocoran yang tidak diselesaikan dengan tuntas. Ekstensifikasi pajak dan cukai, termasuk pajak untuk industri yang merusak lingkungan dan berdampak pada kesehatan dan ekologi,” ujarnya.
Seknas FITRA juga mendorong aparat penegak hukum mengejar aliran dana korupsi Pertamina. Sebab, kata Gulfino, subsidi atau kompensasi bahan bakar minyak seharusnya dapat menghemat belanja negara dan dapat mengurangi defisit anggaran.
Untuk pertama kalinya sejak 2021, APBN mencatatkan defisit. Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan dari Januari sampai akhir Februari 2025, APBN mengalami defisit Rp 31,3 triliun atau 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“APBN 2025 didesain dengan defisit Rp 612,2 triliun, jadi defisit ini masih di dalam target yang didesain dari APBN,” ucap Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan, Kamis, 13 Maret 2025, saat pemaparan data APBN KiTa (Kinerja dan Fakta).
Seperti diketahui, defisit APBN tahun ini ditargetkan 2,53 persen terhadap PDB. Defisit terjadi saat belanja lebih tinggi dari pendapatan. Dalam APBN 2025, pemerintah menargetkan belanja negara dalam sebesar Rp 3.621,3 triliun dan pendapatan negara Rp 3.005,1 triliun. Sehingga defisit anggaran dibatasi Rp 616,3 triliun.
Sementara itu, pendapatan negara hingga akhir Februari mencapai Rp 316,9 triliun. Penerimaan perpajakan mencapai Rp 240,4 triliun terdiri dari pajak 187,8 triliun dan penerimaan bea dan cukai Rp 52,6 triliun. Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 76,4 triliun. Namun, Bendahara Negara tidak menyinggung Coretax saat pemaparan APBN KiTa yang berlangsung 3 jam.
Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini