Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Ibu Kota Negara Bernama Nusantara, Ini Pendapat Sejarawan UGM

Sejarawan UGM, Arif Akhyat, berpendapat sebaiknya nama ibu kota negara merujuk pada nama wilayah tersebut sebelumnya.

22 Januari 2022 | 14.47 WIB

Desain komputerisasi Istana Kepresidenan Indonesia di lokasi ibu kota baru, Kalimantan Timur. Desain Istana Kepresidenan untuk ibu kota negara baru tersebut telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo. Instagram/nyoman_nuarta
Perbesar
Desain komputerisasi Istana Kepresidenan Indonesia di lokasi ibu kota baru, Kalimantan Timur. Desain Istana Kepresidenan untuk ibu kota negara baru tersebut telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo. Instagram/nyoman_nuarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah secara resmi menjadikan Nusantara sebagai nama calon ibu kota negara baru yang terletak di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Penamaan tersebut dengan alasan Nusantara merupakan nama yang menggambarkan keseluruhan Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Menurut Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Arif Akhyat, kata Nusantara yang telah dikenal sejak masa kerajaan Singosari dan Majapahit sebenarnya digunakan untuk menyebut wilayah luar Pulau Jawa, termasuk wilayah yang kini jadi negara tetangga. “Jadi secara geografis, Nusantara lebih luas dari apa yang sekarang disebut Indonesia. Nusantara bukan Jawa tetapi justru merujuk luar Jawa,” kata Arif seperti dikutip Tempo dari laman ugm.ac.id, Rabu, 19 Januari 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara historis, kata dia, Nusantara dibedakan dengan dvipantara, yakni dvipa yang artinya Jawa. Konsep Nusantara pada masa Majapahit merupakan konsep geopolitik untuk mengidentifikasi wilayah luar Jawa, yaitu meliputi Bali, Melayu, Madura dan Tanjungpura, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Maluku, Lombok, Timor, dan bahkan termasuk wilayah negara Singapura, Malaysia, Champa, Cambodia, Annam, dan Siam.

Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM ini berpendapat, penggunaan Nusantara untuk penamaan suatu wilayah tidak mengandung pandangan negatif atau positif. Sebab, menurut dia, pemindahan ibu kota negara yang baru bukanlah soal nama, namun seberapa jauh persiapan yang dilakukan dengan berbagai analisis secara komprehensif dan multidisipliner. “Jangan sampai pemindahan IKN (ibu kota negara) hanya sebagai retorika politik dan praktik politik mercusuar,” kata dia.

Menurut dia, persoalan perpindahan ibu kota negara bukan sekadar relevan atau tidak, namun seberapa jauh urgensi dan kesiapan berbagai bidang dalam mengatur keseimbangan dan keadilan pembangunan. Selain itu, kata dia, kebijakan makro dalam konteks pembangunan, termasuk perpindahan ibu kota jangan sampai ahistoris dan bersifat politis.

Kendati tidak masalah, dia berpendapat, sebaiknya nama ibu kota negara merujuk pada nama wilayah tersebut sebelumnya. Sebab, perubahan nama ini akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang telah tinggal sebelumnya. “Dalam kajian sejarah, nama-nama kota, apalagi ibu kota, selalu terkait dengan kemegahan kota masa lalu,” kata dia.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus