Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi berencana membuat regulasi untuk menangani kasus femisida dalam peraturan perundang-undangan. Adapun femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, Arifah tengah berdiskusi dengan berbagai pihak mengenai rencana pembuatan regulasi tersebut. "Biar kita lihat lah, kami bahas bersama-sama," kata dia saat ditemui di Mal Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 1 Februari 2025.
Arifah berujar salah satu penyebab femisida adalah trauma yang dialami pelaku, yang kemudian memicu kebencian terhadap perempuan. "Femisida itu kan menyiksa perempuan karena ada latar belakang trauma yang dialami," tuturnya.
Sebelumnya, dikutip dari Antara, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Eni Widiyanti, mengatakan bahwa pembunuhan terhadap perempuan atau femisida penting untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan.
"Sayangnya, peraturan perundangan kita tidak mengenal terminologi femisida. Pembunuhan terhadap perempuan dianggap sama saja dengan pembunuhan biasa, sehingga tidak pernah dilakukan analisis yang mendalam terkait akar permasalahan yang menyebabkan femisida terus saja terjadi," katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat, 31 Januari 2025.
Menurut Eni Widiyanti, bila terdapat peraturan yang mengatur tentang femisida, akan jelas cara penanganan, akar permasalahannya, juga cara mencegahnya. Pernyataan ini disampaikan sebagai tanggapan terhadap kasus mutilasi perempuan dalam koper di Ngawi, Jawa Timur.
Selain itu, berdasarkan data Komnas Perempuan, sepanjang 2020 hingga 2023, terjadi 798 kasus femisida di Indonesia. Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, menilai keberpihakan aparat penegak hukum dalam kasus femisida belum terlalu baik. Padahal, femisida merupakan puncak dari kekerasan terhadap perempuan.
“Kasus femisida ini sering dianggap kriminal biasa. Padahal memiliki dimensi yang berbeda, perempuan dibunuh merupakan puncak dari kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya di Kota Bogor, Jawa Barat, Ahad, 8 Desember 2023.
Dia menyebutkan, femisida muncul dari kekerasan yang ditujukan kepada perempuan. Maka dari itu, kata dia, aparat penegak hukum hingga masyarakat harus mengenali femisida, termasuk modus-modus yang digunakan oleh pelaku.
“Apa yang menjadi ciri-ciri modus yang digunakan dalam femisida ini tidak boleh dianggap kriminal biasa. Femisida adalah kejahatan extraordinary dan membutuhkan penanganan yang lebih serius supaya kasus ini tidak dianggap sebelah mata oleh masyarakat,” ujarnya.
Karena itu, Veryanto mengatakan Komnas Perempuan berupaya memperkenalkan femisida kepada publik hingga masyarakat, di mana hal ini juga merupakan upaya melindungi keluarga korban yang ditinggalkan.
“Karena femisida ini memiliki potensi untuk balas dendam, ini saya pikir penting untuk diantisipasi supaya kemudian bisa dicegah. Termasuk membantu memulihkan keluarga korban yang ditinggalkan korban femisida,” tuturnya.
Dinda Shabrina dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.