Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil ketua Komnas Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy menyayangkan masih banyak aparat penegak hukum yang belum memahami apa itu femisida. Femisida bukanlah kasus pembunuhan biasa. Berdasarkan definisi yang dibuat oleh Komnas Perempuan, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Femisida juga didorong oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, juga berhubungan dengan ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik. Di Indonesia, kata Olivia, ada begitu banyak kasus femisida yang dianggap sebagai kasus pembunuhan biasa. Hal itu terbukti dalam pendokumentasian terhadap kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hal ini menyebabkan dimensi kekerasan berbasis gender tidak digali secara mendalam,” kata Olivia dalam diskusi ‘Femisida Bukan Pembunuhan Biasa’, Selasa, 03 Desember 2024. "Sehingga motif karena ia perempuan, pola kasus, potensi femisida akibat eskalasi dan terus berulangnya kekerasan serta dampaknya pada keluarga korban luput dan terabaikan."
Komnas Perempuan mencatat, indikasi femisida yang kuat melalui pantauan media di tahun 2020 terdapat 95 kasus. Kasus merangkak naik pada 2021 yaitu sebanyak 237 kasus. Di tahun 2022 meningkat menjadi 307 kasus. “Meski di tahun 2023 ada 159 kasus. Indikatornya berkembang seiring perkembangan pengetahuan tentang femisida,” kata Olivia.
Dia juga mengungkapkan kasus femisida yang paling banyak terjadi ialah femisida intim. Di mana perempuan dibunuh oleh orang terdekat secara personal dan emosional. “Misalnya dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi. Itu jenis femisida tertinggi,” ucap Olivia.
Project Officer Jakarta Feminist Nur Khofifah mengatakan, berdasarkan data yang dimiliki lembaganya, pada 2023 ditemukan 145 kasus femisida dengan korban cis-puan (gender perempuan yang berjenis kelamin perempuan), enam kasus femisida dengan korban transpuan, 12 kasus pembunuhan anak perempuan, dan 17 kasus tindak kriminal dengan korban perempuan.
Menurut Khofifah, sejauh ini belum ada sama sekali kasus femisida yang ditangani dengan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Polisi lazim menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku, misalnya pasal 340 KUHP, pasal 338 KUHP, 365 KUHP, 351 ayat 3 KUHP dan seterusnya." kata dia.. "Pasal-pasal itu tentang pembunuhan berencana, pembunuhan, kekerasan, dan penganiayaan.”
Ia memberi contoh kasus pembunuhan siswa SMP di Jambi. Korban seorang remaja putri yang diperkosa dan dibunuh secara sadis di tengah kebun sawit. Polisi menjerat pelaku dengan Pasal 81 ayat 1 UU Perlindungan Anak juncto Pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana paling lama 15 tahun.
Kemudian di Surabaya, Jawa Timur, perhatiaan masyarakat tersedot pada pembunuhan Dini Sera Afrianti, 29 tahun, oleh kekasihnya, Gregorius Ronald Tannur (27). “Kita perlu memperjelas kasus femisida ini seperti apa. Selain itu, ada kemungkinan pelaku bisa dibebaskan dengan segala cara. Misalnya dengan cara suap, itu bisa merusak penegakan hukum di Indonesia,” kata dia.