Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kilas Balik Marinir Usman dan Harun Dihukum Mati di Singapura 54 Tahun Lalu

Marinir Usman dan Harun dihukum gantung di Singapura pada 17 Oktober 1968. Mengenang kembali peristiwa yang membuat Indonesia - Singapura renggang.

17 Oktober 2022 | 16.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 17 Oktober 1968, Kopral Dua Harun Tohir bin Mandar dan Sersan Dua Usman Janatin Bin Hj Mohd Ali, anggota Korps Komando Operasi yang dikenal dengan Usman dan Harun, dihukum gantung oleh pemerintah Singapura. Hukuman dijatuhkan kepada dua anggota Marinir Indonesia itu atas tuduhan meletakkan bom di wilayah pusat kota Singapura yang padat.

Kilas Balik Kematian Usman dan Harun

Vonis hukuman mati hukum gantung terhadap Usman dan Harun ini bermula dari kasus pengeboman di Gedung McDonald House di Orchard Road, Singapura pada 10 Maret 1965. Saat kejadian, yakni pukul 15.07, The Hongkong and Shanghai Bank di dalam gedung tersebut sebenarnya sudah tutup 7 menit sebelumnya. Namun, tak kurang dari 150 karyawan masih melakukan pencatatan transaksi hari itu. Pemeriksaan pada bangunan menunjukkan, 9 hingga 11 kilogram bahan peledak nitrogliserin digunakan dalam pemboman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ledakan bom di Gedung McDonald Singapura itu membuat bangunan rusak parah. Kaca jendela bangunan lain berjarak 100 meter pun turut hancur. Bahkan, Kantor Komisi Tinggi Australia (Australian High Commission) yang ada di dalam bangunan turut berantakan. Dua orang meninggal di tempat yaitu Elizabeth (Suzie) Choo, dan Juliet Goh, serta seorang korban meninggal setelah koma beberapa hari, Mohammed Yasin bin Kesit, seorang sopir berusia 45 tahun. Selain itu, 33 orang dinyatakan terluka akibat insiden ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga hari berselang pascakejadian, Usman dan Harun ditangkap. Keduanya dituduh melakukan pengeboman tersebut, selepas masuk Singapura dengan menyamar. Masing-masing meletakkan bahan peledak di tangga lantai mezzanine, dekat area lift. Setelah memasang pewaktu, mereka pergi menggunakan bus meninggalkan bangunan sekitar pukul 15.00. Tindakan itu mereka lakukan atas nama negara. Kala itu, pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno, menentang penggabungan Federasi Tanah Melayu, Singapura, Brunei, Serawak, dan Sabah ke dalam satu Malaysia.

Lalu, pada 20 Oktober 1965, Usman dan Harun divonis bersalah atas kasus pengeboman MacDonald House yang menewaskan 3 orang tersebut. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, Soeharto menunjuk Letnan Kolonel Angkatan Darat Abdul Rachman Ramly. Ramly waktu itu Kepala Perwakilan RI di Singapura, cikal bakal Kedutaan Besar RI di Singapura. Ramly kepada Singapura melalui hubungan diplomatik meminta agar kedua Marinir Indonesia itu tidak dihukum mati. Namun Singapura berkukuh menghukum mati keduanya.

Kala itu Singapura termasuk negara persemakmuran Inggris. Sehingga keputusan hukum tertinggi ada di London, Inggris. Pemerintah Indonesia lalu mengajukan banding ke London dengan bantuan pengacara Singapura. Namun hasil banding pun tetap tidak diterima. Ramly, dalam buku Pak Harto The Untold Stories oleh Mahpudi. menuturkan bahwa upaya mengajukan permohonan untuk menunda hukuman itu ditolak. Kendati begitu, Ramly tetap meminta penundaan hingga dirinya melapor ke pemerintah pusat di Jakarta.

”Sekaligus mengabarkan perihal pelaksanaan hukum gantung itu kepada keluarga Usman dan Harun,” ujar Ramly, dikutip Mahpudi dalam buku tersebut.

Ramly segera melaporkan penolakan banding tersebut kepada Soeharto di Jakarta. Awalnya, Ramly sempat diberi saran sejumlah orang di Departemen Luar Negeri RI agar tak melaporkan informasi tersebut lantaran percuma. Namun Ramly bersikukuh melapor. “Bagi kami, masalah anak buah harus kami tuntaskan. Bagi saya pribadi, saya juga tidak bisa membiarkan warga Indonesia mendapat masalah di luar negeri. Saya tetap melapor kepada Pak Harto,” katanya.

Menerima laporan tersebut, saat itu, seperti dituturkan Ramly, Soeharto bertanya, “Mengapa Singapura ingin sekali menggantung mereka?” Kepada Soeharto, Ramly menyampaikan kesimpulannya bahwa Singapura, sebagai negara kecil, tengah mencari eksistensi. Singapura menggunakan alasan rule of lawa yang harus ditegakkan agar dilihat dunia. Soeharto kemudian menulis surat kepada pemerintah Singapura, isinya meminta agar Usman dan Harun tidak dihukum mati.

Berbekal surat tersebut, didampingi Wakil Perdana Menteri, Ramly menemui Presiden Singapura Yusuf Ishak. Namun Yusuf Ishak menyatakan urusan pemerintahan berada di tangan Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Sementara dirinya hanya lambang negara tanpa kewenangan pemerintahan. Sementara saat itu Lee Kuan Yew tengah cuti dan berada di Tokyo. Ramly lantas mengontak Dubes Indonesia di Tokyo, Rukminto Hendraningrat, untuk menyampaikan permohonan Soeharto soal hukuman gantung Usman Harun.

Lee Kuan Yew menolak mengambil keputusan lantaran sedang cuti. Kemudian Perdana Menteri Singapura itu meminta Indonesia menghubungi wakilnya sebagai penggantinya untuk bertanggung jawab. Setelah dihubungi Ramly, Wakil Perdana Menteri tersebut mengatakan pihak Singapura akan mempertimbangkan permintaan Indonesia. Namun, 10 hari berselang, Singapura mengabarkan hukuman mati terhadap Usman dan Harun tetap akan dijalankan.

Peristiwa itu sempat membuat ketegangan hubungan antara Indonesia dengan Singapura. Menjelang hukuman gantung, seluruh staf kedutaan Indonesia di Singapura dipulangkan dan kapal-kapal milik Indonesia pun pulang membawa warga negara Indonesia.

Usman dan Harun kemudian dieksekusi gantung di Penjara Changi pada 17 Oktober 1968 atau 54 tahun lalu. Usman dan Harun kemudian diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden 050/TK/1968. Namanya juga diabadikan sebagai nama Kapal Perang TNI Angkatan Laut yakni KRI Usman Harun 359.

HENDRIK KHOIRUL MUHID 

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus