Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat pada 2 November di tahun 1949, Konferensi Meja Bundar atau disingkat KMB yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda, resmi ditutup. KMB atau De Ronde Tafel Conferentie merupakan konferensi yang mempertemukan antara tiga perwakilan, yaitu pihak Belanda, Indonesia, United Nations Commission for Indonesia atau UNCI, dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg atau BFO.
Sementara tujuan diadakannya KMB ialah untuk menyelesaikan masalah antara Indonesia dan Belanda yang sudah sekian lama terjadi. Usai penjajahan Jepang, Belanda datang kembali untuk melancarkan serangan berkali-kali.
Menurut Buku Indonesia Abad ke-20 II: Dari Perang Kemerdekaan Pertama sampai Pelita III oleh Moejanto, delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta, delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II, delegasi Belanda dipimpin Mr. Johan van Maarseveen, dan UNCI dipimpin oleh Tom Chritchley.
Baca : Peran 5 Tokoh Bangsa dalam KMB, Bung Hatta Pimpin Delegasi Konferensi Meja Bundar
Dengan berakhirnya sidang KMB, diputuskan bahwa Belanda setuju untuk mengakui kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara yang berbentuk serikat. Republik Indonesia Serikat atau RIS terdiri dari beberapa himpunan negara bagian yang diperintah oleh RIS.
Apa Dampaknya KMB Untuk Keamanan Negara?
Baca : Mohamad Roem Diplomat Ulung Desak Belanda Mengakui Kemerdekaan Tanpa Syarat
Adapun keputusan lain KMB yang spesifik dalam bidang keamanan negara, yaitu memfokuskan masalah reorganisasi dan rasionalisasi atau RERA angkatan perang. Salah satunya dengan membentuk Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat atau disebut APRIS, sebagai angkatan perang nasional RIS.
Berdasarkan jurnal berjudul Perjalanan APRIS Dalam Menjaga Stabilitas Keamanan dan Keutuhan RIS Tahun 1949-1950, reorganisasi angkatan perang membuat seluruh peralatan KNIL diserahkan kepada APRIS. Serah terima tersebut diwakilkan melalui Gubernur Militer beserta komandan perang Belanda.
Hal tersebut juga menyangkut rasionalisasi bekas tentara KNIL yang dimasukkan ke dalam APRIS. Perlu diketahui bahwa angakatan KNIL yang masuk ke dalam APRIS akan setara statusnya dengan anggota KNIL yang berasal dari TNI.
Untuk serah terima antara Belanda dan Apris, dilakukan oleh perwakilan keamanan setiap wilayah. Hanya satu daerah yang tidak ikut serta dalam kebijakan ini, yaitu daerah Negara Indonesia Timur atau NIT. Sebagai gantinya, NIT membentuk Komisi Militer dan Teritorial Indonesia Timur atau KMIT.
Selain itu, pemerintah RIS juga mengeluarkan peraturan agar proses peleburan KNIL ke dalam APRIS berjalan lancar. Namun tetap saja masalah seperti penolakan dan pemberontakan terjadi. Alasan paling utama adalah perbedaan latar belakang yang berbeda diantara keduanya.
Perbedaan tersebut terlihat dari segi tujuan dan visinya. Bagi TNI, mereka perlu memperjuangkan rakyat Indonesia, sedangkan bagi KNIL telah bekerja terhadap Belanda sebelumnya dan yang menolak ingin mempertahankan bentuk federal di Indonesia.
Dengan demikian, terjadinya pemberontakan yang selanjutnya menjadi tanggung jawab APRIS dan angkatan perang untuk menumpasnya. Misalnya pertama penumpasan pemberontakan APRA di Bandung. Pemberontakan ini dipimpin langsung oleh Piere Westerling.
Setelah mendapatkan laporan pemberontakan, pasukan APRIS yang dikepalai oleh Kepala staf Angkatan Perang T.B. Simatupang bergegas untuk mempersiapkan pasukan dari Divisi Siliwangi melakukan serangan balasan terhadap APRA.
Selanjutnya ada pemberontakan Andi Aziz pada 1950. Salah satu tuntutannya adalah keinginannya untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia. Andi pun diultimatum dan dihukum di pengadilan militer di Yogyakarta.
Tak sampai disitu, puncak pertempuran terjadi ketika markas tentara APRIS diserang oleh KNIL di Makassar. Sebagai balasannya, APRIS mendesak Belanda dan berhasil membuat persetujuan agar pasukan KNIL segera ditarik. Lalu seluruh perlengkapan perang yang ada diserahkan kepada APRIS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
FATHUR RACHMAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.