Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan penerapan e-voting atau pemungutan suara berbasis digital perlu dipertimbangkan pada pemilu berikutnya. Pemanfaatan e-voting bisa menjadi solusi dalam menyikapi kasus pelanggaran hak asasi yang masih terjadi pada penyelenggaraan pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kesimpulannya, tidak ada pilihan, ke depan (pelaksanaan) pemilu kita harus menggunakan teknologi. E-Voting harus jadi pertimbangan ke depan,” ujar Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P. Siagian, dalam konferensi pers Peluncuran Kertas Kebijakan Perlindungan dan Pemenuhan HAM Petugas Pemilu 2025 yang diadakan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat pada Rabu, 15 Januari 2025.
Saurlin menilai pemanfaatan teknologi bisa meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pemungutan suara yang dilakukan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). Menurut dia, pemanfaatan teknologi mesti diterapkan untuk mencegah kelelahan akibat beban kerja KPPS yang terlalu berat hingga menyebabkan kematian pada pemilu 2019 dan 2024.
Selain memberikan saran pemanfaatan teknologi pada pemilu, Komnas HAM juga membeberkan empat kesimpulan hasil pemantauan mereka pada pemilu 2024. Adapun kesimpulan pertama, yakni beban kerja petugas pemilu yang sangat tinggi dan waktu kerja yang panjang.
Tiga kesimpulan lainnya adalah pemilu serentak yang terdiri dari lima jenis pemilihan membebankan petugas dengan tingkat kesiapsiagaan yang lebih tinggi, penggunaan sistem proporsional terbuka yang mengharuskan petugas pemilu lebih teliti dan cermat untuk memastikan akurasi data, dan penyelenggaraan pemilu yang lebih berfokus pada kebutuhan logistik pemungutan suara dibanding kesejahteraan petugasnya.
Melansir laman dpr.go.id, diketahui pada tahun 2019 sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dan 5.175 luka-luka. Sementara, pada pemilu 2024, hingga 17 Februari 2024, tercatat 57 petugas KPPS yang meninggal.
Data dari Kementerian Kesehatan atau Kemenkes menunjukkan kematian pada periode Pemilu di tahun lalu terdiri dari 29 anggota KPPS, 10 anggota Perlindungan Masyarakat, 9 saksi, 6 petugas, dua panitia pemungutan suara, serta satu anggota Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu.
Adapun berdasarkan data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sedikitnya ada 27 kabupaten dan 1.752 desa di Indonesia yang pernah melaksanakan pemilihan kepala desa (pilkades) secara elektronik atau menggunakan e-voting. Namun tetap saja KPU RI enggan beralih. Pada pemilu 2024, KPU memilih menggunakan aplikasi sistem informasi rekapitulasi (Sirekap).
Ketua tim Aplikasi E-Voting di BRIN, Andrari Grahitandaru, menjelaskan pengembangan E-Voting berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 147/PUU-VII/2009 yang memperkenankan pemberian suara secara elektronik. MK menyatakan pemungutan suara dengan metode e-voting dapat digunakan dan tidak melanggar konstitusi asalkan memenuhi sejumlah persyaratan kumulatif, yakni tidak melanggar asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) serta jurdil (jujur dan adil).
Menurut Andrari, UU Pilkada sudah mengakomodir putusan MK tersebut, namun belum berlaku pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Melinda Kusuma Ningrum, Alif Ilham Fajriadi, dan Irsyan Hasyim berkontribusi pada penulisan artikel ini.