Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ontran-ontran di Kampus Ganesha

Kisruh pengelolaan Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) bermula dari masalah keuangan. Mahasiswa kalang kabut dengan nasib perkuliahan.

19 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kampus SBM ITB, Bandung, Jawa Barat, 18 Maret 2022. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rektorat ITB dan SBM ITB tak kunjung bernegosiasi soal konflik di kampus tersebut.

  • Rektor ITB berdalih sedang membenahi tata kelola keuangan dan sumber daya manusia.

  • Mahasiswa SBM ITB dan orang tuanya merasa dirugikan dengan konflik berlarut-larut.

PULUHAN dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB) meriung di Auditorium Center for Research and Community Service, Jalan Ganesha, Bandung, pada Senin, 14 Maret lalu. Mengenakan kemeja putih, mereka duduk berjajar di hadapan pejabat rektorat ITB yang dipimpin Rektor Reini Djuhraeni Wirahadikusumah.

Persamuhan yang dimulai pukul 9 pagi itu seharusnya membicarakan negosiasi antara ITB dan SBM ITB. Sejak Selasa, 8 Maret lalu, para dosen SBM ITB mengurangi pelayanan akademik untuk mahasiswa karena konflik yang terjadi dengan Rektorat ITB. Aksi itu dilakukan setelah Rektorat ITB mencabut status swakelola dan swadana SBM.

Pendiri SBM ITB, Kuntoro Mangkusubroto, menyebutkan Reini membuka pertemuan dengan menjabarkan target pemusatan tata kelola ITB yang akan dicapai pada 2023. Setelah itu, giliran Wakil Rektor Bidang Keuangan, Perencanaan, dan Pengembangan ITB Muhamad Abduh berbicara mengenai ketimpangan upah antara dosen ITB dan SBM.

“Tak ada yang menyinggung tentang rencana negosiasi masalah tata kelola SBM,” ucap mantan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini lewat video telekonferensi pada Kamis, 17 Maret lalu.

Setelah pejabat ITB berpidato, perwakilan Forum Dosen SBM ITB, Jann Hidajat Tjakraatmadja, membacakan draf negosiasi. Isinya meminta status swakelola dan swadana SBM dikembalikan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Rektor ITB Nomor 203/SK/K01/KP/2003. (Baca: Bertular Wabah dari Bangku Sekolah)

Menurut Kuntoro, Reini baru membahas peluang negosiasi setelah rapat ditutup. Itu pun setelah para dosen mengancam akan mogok mengajar lagi jika forum musyawarah tak kunjung digelar. Setelah Reini berjanji akan menggelar negosiasi, Kuntoro buru-buru mengingatkan bahwa janji itu dibuat di luar forum resmi. “Semoga pernyataan itu bisa dipegang,” ujarnya.

Pendiri SBM ITB lain, Sudarso Kaderi Wiryono, mengungkapkan pertemuan itu akan dilanjutkan dengan diskusi antara tim kecil yang ditunjuk rektorat dan Forum Dosen SBM ITB. Sejumlah dosen, termasuk Sudarso, seketika bersujud di lantai ketika Reini berjanji menggelar negosiasi secepatnya. “SBM kembali ke status quo selama negosiasi nanti,” katanya.

Gejolak di kampus SBM ITB bermula pada Oktober 2021. Waktu itu, SBM mengajukan revisi rencana kerja anggaran 2021. Rektorat menyetujui anggaran tambahan sekitar Rp 20,12 miliar asalkan pencairan dana menggunakan standar biaya dalam Peraturan Rektor ITB Nomor 1162/IT1.A/PER/2021 bertarikh 4 November 2021.

Aturan itu mengoreksi dua pasal dalam peraturan versi 2015 yang menyatakan bahwa standar biaya di ITB tak berlaku bagi SBM. Rektorat juga mengubah pembagian pendapatan kelas internasional dan pascasarjana. Pada awal pendirian pada 2003, SBM ITB berwenang mengelola pendapatan sebesar 80 persen. Belakangan, jatah itu berangsur-angsur turun menjadi 60 persen.

ITB juga menyetop insentif yang diterima para pengajar SBM pada Januari lalu. Akibatnya, gaji dosen SBM sama dengan dosen di ITB. Achmad Ghazali, anggota Forum Dosen SBM ITB, mengatakan dampak penyetopan insentif itu membuat para dosen SBM ITB kelabakan. “Kami harus menghidupi keluarga serta membayar cicilan rumah dan mobil,” ucapnya.

Rektor ITB mencabut penerapan model swakelola dan otonomi SBM karena dianggap tak sesuai dengan Statuta ITB yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2013. Rektorat merujuk pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis pada 31 Desember 2018. Dalam pemeriksaan itu, BPK menemukan bahwa pegawai SBM menerima tunjangan hari raya yang lebih tinggi ketimbang fakultas lain di ITB.

ITB mengaku sudah berkonsultasi dengan BPK. “Hal ini wajib diluruskan sebagai bagian dari upaya introspeksi,” kata juru bicara ITB, Naomi Haswanto. Adapun pendiri SBM ITB, Kuntoro Mangkusubroto, mengatakan temuan BPK bukan keputusan final dan dapat diperbaiki. Ia menyebutkan pegawai SBM sedang berupaya menindaklanjuti arahan BPK. Salah satunya dengan mencicil pengembalian tunjangan hari raya.

Pada 4 Maret lalu, Rektorat ITB dan Dekanat SBM bertemu perwakilan dosen SBM. Jann Hidajat Tjakraatmadja, bercerita bahwa Rektor ITB tak lagi mengakui dasar pendirian SBM ITB yang tertuang dalam Surat Keputusan Rektor ITB Nomor 203/SK/K01/KP/2003. Surat itu memberikan kemandirian bagi SBM untuk mengelola dana dan program pendidikan.

Dua hari selepas pertemuan itu, para dosen SBM mengirimkan dokumen berisi pernyataan sikap ke Rektor ITB. Mereka menuntut Rektor ITB berkomunikasi langsung dengan Forum Dosen SBM, mengembalikan prinsip swakelola, serta mengkaji ulang sejumlah aturan baru yang dibuat rektor.

Mendesak permintaan itu dipenuhi rektorat, dosen mengurangi layanan akademik pada Selasa, 8 Maret lalu. “Kami menjalankan kewajiban dengan anggaran yang dikurangi sehingga kami juga mengurangi layanan,” ujar Achmad. (Baca: Akar Masalah Kebebasan Akademik Indonesia yang Merosot)

Aksi dosen SBM diikuti dengan demonstrasi membentangkan spanduk bernada protes di beberapa titik di kampus ITB, Jalan Ganesha, Bandung. Tertulis di spanduk itu, “Maaf, SBM ITB tidak menerima mahasiswa baru lagi” dan “Maaf, SBM ITB tidak beroperasi seperti biasa” yang diberi tanda tagar #ForumDosenSBMITB.

Kuntoro Mangkusubroto mengklaim para dosen tak pernah benar-benar mogok mengajar atau mengurangi jam kuliah. Mereka ingin memperjuangkan prinsip kemandirian seperti sekolah ekonomi dan bisnis bonafide di Amerika Serikat. “Kami dipojokkan bahwa kisruh ini seolah-olah menuntut remunerasi alih-alih kemandirian lembaga,” tuturnya.

Ontrang-ontrang yang terjadi di SBM ITB membuat Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pun turun gunung. Ridwan yang juga menjabat anggota Majelis Wali Amanat ITB bersurat ke Yani Panigoro, Ketua MWA ITB, pada Jumat, 11 Maret lalu. Ia meminta polemik SBM diselesaikan secara musyawarah dan Majelis membentuk tim kecil untuk mengawal penyelesaian konflik ini.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim beberapa kali berkomunikasi dengan Rektor Reini. Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB Naomi Haswanto mengatakan Nadiem meminta rektorat menjaga kepercayaan mahasiswa dan orang tua. “Rektor menyampaikan bahwa ITB menjamin mutu pendidikan SBM,” ujar Naomi.

Geger pengelolaan SBM ITB juga membuat mahasiswa resah. Rizqi Ayunda Pratama, mahasiswa semester akhir program Master of Business Administration, khawatir penulisan tesisnya terganggu. Sebab, pertemuan dan bimbingan tesis dilakukan terbatas dan hanya melalui aplikasi WhatsApp. Ia juga cemas karena dosen mengurangi jam mengajar.

Rizqi, kini menjabat Vice President of Corporate Secretary and Strategic Planning PT INTI, merencanakan kuliah program masternya kelar dalam waktu satu setengah tahun sejak masuk pada Januari 2021. Ia sudah membayar biaya kuliah sebesar Rp 180 juta sampai lulus. “Saya sudah berinvestasi di pendidikan. Jangan sampai mendapatkan pelayanan yang tak baik,” kata Rizqi.

Ilham Subandoro, mahasiswa sarjana program studi Manajemen, juga kebingungan mengontak dosen pembimbing skripsi. Ia mengira persoalan tata kelola SBM sudah rampung sejak awal tahun ini. Tapi ia tiba-tiba mendengar kabar bahwa para dosen berniat mogok. “Saya mau mengontak dosen, entah bisa atau tidak untuk bimbingan,” ucap pria 20 tahun itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapat tertutup jajaran Rektorat ITB dengan SBM ITB, 14 Maret 2022. Dok. ITB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orang tua mahasiswa pun ketar-ketir mendengar sengketa di ITB. Ali Nurdin, yang anaknya masuk program sarjana kelas internasional, mengungkapkan sudah mendengar kegaduhan manajemen SBM sejak akhir November 2021. Menghimpun puluhan orang tua mahasiswa lain, Ali mempertanyakan masalah kampus ke pimpinan SBM dan sejumlah dosen.

Menurut Ali, pimpinan SBM dan orang tua sempat bertemu pada awal Desember 2021. Pejabat kampus yang hadir menyatakan ada kebijakan baru dari Rektor ITB. Salah satunya, mencabut status swakelola dan swadana. “Kami mendapat penjelasan tentang layanan yang berkurang, seperti praktikum, kuliah tatap muka, menghadirkan profesor tamu, dan inkubator bisnis,” tuturnya.

Memastikan kabar itu, para orang tua mahasiswa bersurat ke Rektor ITB pada 3 Desember 2021. Lima hari kemudian, rektorat menggelar diskusi dengan orang tua mahasiswa. Kampus memastikan mutu dan layanan perkuliahan tak dikorting kendati status SBM berubah. Tapi para dosen SBM justru tak menjamin kualitas pendidikan bertahan karena alokasi anggaran berkurang.

Ali menyebutkan konflik yang berlarut-larut bakal merugikan mahasiswa. Ada mahasiswa yang cemas dan berpikir untuk pindah ke kampus lain. Ali mengusulkan para pihak berunding dan melibatkan orang tua. “Kami akan menguji kebijakan kampus di pengadilan jika tak segera mendapat keadilan,” ujar Ali yang membayar Rp 120 juta per tahun untuk biaya kuliah anaknya.

Rektor ITB Reini Djuhraeni Wirahadikusumah mengatakan pengelolaan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi di SBM terlalu condong pada layanan pengajaran. Hal itu membuat kegiatan SBM pada bidang penelitian, inovasi, dan pengabdian masyarakat menjadi terbatas.

Menurut Reini, model layanan pengajaran yang diterapkan SBM dapat menimbulkan beban biaya kuliah yang memberatkan mahasiswa serta membatasi akses masyarakat yang ingin kuliah di ITB. Ia menyebutkan perubahan kebijakan yang diterapkan pada SBM ITB merupakan upaya memperkuat model otonomi ITB.

Reini menjamin masalah tata kelola SBM ITB tak berlarut-larut. “Mohon maaf karena kami membuat keonaran di publik,” ujar guru besar manajemen dan rekayasa konstruksi ini.

ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus