TIGA kapal perang, yakni KRI Malahayati, Martadinata, dan Martha Kristina Tiahahu, selama tiga pekan ini rajin berpatroli di Lautan Hindia, di pantai barat Aceh. Ada apa? ''Ini menyangkut kedaulatan dan harga diri bangsa,'' kata Letnan Kolonel (Marinir) Hasnur Ruslan, Kepala Dinas Pengamanan Pangkalan, kepada TEMPO pekan lalu. Sedikitnya 300 kapal asing yang dicurigai telah digeledah oleh trio kapal perang RI itu. ''Mereka bukan nelayan. Mereka bajak laut,'' ujar Nazir, 38 tahun, nelayan asal Meulaboh. Sudah lama kapal nelayan Aceh menjadi bulan-bulanan kapal asing berbendera Thailand. Mereka kerap ditabrak bila berpapasan, bahkan dipecundangi di zone 4-5 mil dari pantai, di kandang mereka sendiri. Menurut Nazir, jika kapal asing itu memergoki nelayan lokal di tempat operasinya, mereka akan melakukan ''sapu bersih''. Bahkan, saat pancing nelayan belum sempat digulung, pukat harimau langsung ditebar. Kalau nelayan belum mau ke pinggir juga, orang-orang di kapal akan menggertak dengan menembakkan pistol ke udara. Kapal Thailand itu rata-rata berbobot 40 ton, dengan panjang 19 meter. Kekuatan mesinnya 168 PK. Sementara itu, kapal nelayan Aceh hanya bermesin 12 PK, dan panjangnya tak lebih dari 5 meter. Percaya atau tidak, seperti disaksikan Nazir, kapal-kapal asing berbendera Thailand itu punya ''kapal induk'' yang berlabuh di perairan internasional. Setelah bersandar sebentar di kapal induk, esoknya kapal-kapal asing itu bisa leluasa beroperasi lagi di wilayah nelayan. Pihak yang berwajib di Aceh tampaknya tak bisa berbuat banyak. ''Kami kesulitan sarana,'' kata Letnan Kolonel (Polisi) Soedarmadji, Kapolres Aceh Barat, kepada Munawar Chalil dari TEMPO. Di bawah komando Kapolres memang ada unit satuan polisi air yang, malangnya, tak punya perahu sebuah pun. Meski begitu, dengan meminjam perahu nelayan, anak buah Soedarmadji sempat meringkus dua kapal Thailand yang beroperasi sekitar 4-5 mil dari pantai Aceh Barat. Kedua kapal itu ditahan selama 15 hari. Dari pemeriksaan polisi, tidak ada senjata api di kapal yang dilengkapi perangkat navigasi canggih itu. Namun, kedua kapal itu tetap ditahan di pangkalan AL Sabang karena izin operasinya hanya untuk jarak 15 mil dari pantai. Meski belum ada kapal Thailand yang tertangkap basah sedang mencuri ikan atau meneror nelayan, tampaknya, cerita Nazir dan kawan-kawan cukup sahih. Sebab, keluhan serupa juga datang dari nelayan Halmahera di perairan Maluku Utara. Bedanya, di Halmahera, yang jadi biang kerok adalah kapal berbendera Filipina dan Taiwan. Tapi aksi mereka hampir mirip, yaitu menggebah nelayan yang sedang mancing di wilayah gemuk kalau perlu, menabrak kapal nelayan atau menakut-nakuti dengan menembak ke atas. Selain Halmahera, perairan Waigeo Utara di Irian Jaya juga disebut- sebut dalam kondisi rawan. Menurut Laksamana Muda Soeratmin, Panglima Armada RI Kawasan Barat, laporan dari para nelayan selalu diperhatikan, asalkan cukup rinci. Yang perlu dicatat oleh nelayan misalnya tentang ciri-ciri kapal dan awak kapal serta lokasi dan arah perginya kapal. Ia menduga, kapal-kapal asing itu memang tak punya izin. Soal beking dari oknum AL? ''Kalau ada anak buah saya berbuat seperti itu, tentu akan saya tindak tegas,'' kata Soeratmin. Nunik Iswardhani, Taufik Alwie (Jakarta), Affan Bey Hutasuhut (Medan), dan Mochtar Touwe (Ambon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini