SEBAGAI situs purbakala, Sangiran punya nama besar. Sepertiga fosil manusia purba Phitecantropus erectus, dari zaman 400 ribu sampai 1 juta tahun lalu, ditemukan di Sangiran. Tak mengherankan kalau Prof. Donald E. Tyler, ahli antropologi ragawi di Universitas Idaho, AS, lima kali datang ke desa di tepian Bengawan Solo itu selama dua tahun. Baginya, menemukan fosil di Sangiran adalah kebanggaan besar. Bagi pedagang barang purbakala seperti Rattana Nahonrial dan Yanuman Bunyo, Sangiran juga penting. Sepasang warga Thailand itu datang ke Sangiran dua tahun silam. Rupanya, mereka ada ''kencan'' dengan Marsiman, warga Sangiran. Marsiman punya barang dagangan yang menarik kedua tamu asing itu, yakni berupa sebuah fosil rahang badak sepanjang 60 cm, dan dua moncong babi purba. Tapi transaksi gagal. Kedatangan kedua pedagang barang purba itu ternyata diendus Utomo, seorang satpam yang menjaga kawasan suaka purbakala seluas 32 km2 itu. Utomo segera lapor polisi. Namun, kedua tamu asing itu juga sempat sadar kalau diintai, mereka kabur sebelum polisi meringkusnya. Marsiman pun lepas dari jerat hukum. Seperti halnya Marsiman, warga Sangiran tahu bahwa fosil yang banyak tersimpan di sekitar desanya itu punya nilai ekonomi. Maka mereka mensyukuri bila ada tanah longsor. Dari serpihan tanah itu, mereka bisa mendapatkan fosil. Sangiran mulai dikenal sebagai gudang fosil setelah ahli paleontologi Belanda, Von Koningwald, melakukan penggalian tahun 1930. Bisnis fosil yang mulai marak sejak 15 tahun lalu itu sulit dicegah, kendati di sana ada Museum Sangiran, berdiri 1975, yang juga menjadi pengawas situs prasejarah ini. ''Kami hanya punya 8 satpam. Mana mungkin mengawasi semuanya,'' ujar Hartoyo, Pimpinan Museum Sangiran. Apalagi sebagian situs purbakala ini berupa tanah pertanian. Maka bukan hal aneh bila petani pulang dari ladang membawa ''panenan'' berupa fosil manusia atau hewan purba. Lantas fosil itu dijual secara gelap, melalui orang-orang yang ''punya pergaulan luas'' semacam Marsiman. Menyerahkan fosil itu ke museum dianggap kurang menarik. ''Imbalannya kecil,'' ujar Toto Marsono, 82 tahun, yang ikut penggalian Von Koningwald tahun 1930-an, dan kini dianggap pakar fosil di Sangiran. Ungkapan Toto ini dibenarkan oleh Tukiran yang 10 tahun lalu menemukan gading gajah 4 meter, dan mendapat hadiah Rp 360 ribu. ''Kalau dijual gelap bisa jutaan,'' kata Tukiran. Keluhan serupa disampaikan warga yang menemukan tengkorak dan diberi imbalan Rp 600 ribu, lima tahun lalu. Sindikat perdagangan fosil internasional bukan isapan jempol. Di Harrods Departement Store, London, orang bisa memesan fosil. Kalau peminat dianggap serius, pihak Harrods akan mengirim katalog yang berisi daftar fosil dan spesifikasinya. Sebuah tengkorak kucing purba konon laku U$ 7 ribu (sekitar Rp 14 juta). Jual-beli fosil ini harus menempuh prosedur rumit dan makan waktu. Kalau tak ada pedagang, tengkulak fosil di Sangiran punya sasaran lain, peneliti semacam Donald E. Tyler. Peneliti bisa memberi harga lebih tinggi katimbang museum. Kalau tiga pekan lalu Tyler membeli fosil tanpa rasa bersalah, itu mungkin karena pengalaman. Waktu datang ke Sangiran Mei lalu, ikut pada tim Prof. S. Sartono, paleontolog dari ITB, Tyler mengaku melihat petani menawarkan fosil dalam tas. Lantas terjadi transaksi. Uniknya, pada seminar palaeontologi di Leiden, Belanda, Juni silam, Sartono dan Tyler disebut sebagai penemunya. PTH (Jakarta) dan KR (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini