Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Nasib Guru Honorer Masih Menggantung

Ratusan guru honorer yang lolos seleksi CPNS masih berjuang untuk mendapatkan status pegawai negeri. DPR tengah menyiapkan pansus untuk menyelesaikan masalah ini.

1 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Guru dan siswa siswa saat Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 50 persen di SDN Ciracas 09 Pagi, Jakarta, 22 Maret 2022. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Sudah sembilan tahun nasib Ariyani Susilawati, 52 tahun, digantung. Meski lolos seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) pada 2013, ia tak kunjung diangkat. Hingga kini, Ariyani tetap berstatus guru honorer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ariyani sudah sekitar 20 tahun bertugas di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kranggan, Kecamatan Manisrenggo, Klaten, Jawa Tengah. Setiap bulan, ia hanya menerima honor sebesar Rp 300 ribu. “Saya masih bertahan untuk mengajar, walau honor yang saya terima tidak cukup untuk hidup sebulan,” ujar Ariyani, kemarin.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ariyani bekerja di kolam budi daya ikan. Setiap pagi, pukul 05.30, ia bertugas memberi makan ikan-ikan yang dibudidayakan. Setelah itu, ia harus bergegas pulang dan bersiap-siap ke sekolah. Sore, sepulang mengajar, Aryani kembali ke kolam untuk memberi makan ikan. Dari pekerjaan ini, guru kelas IV tersebut menerima upah sebesar Rp 600 ribu setiap bulan. “Saya single parent, jadi mesti berjuang sendirian,” kata dia. “Tapi saya konsisten, guru adalah tugas utama saya.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ariyani merasa kehidupannya akan lebih baik ketika dinyatakan lolos CPNS pada 2013. Namun surat keputusan pengangkatan pegawai negeri tak kunjung ia terima. “Waktu itu, yang dapat SK sebanyak 700 CPNS. Kami, 296 orang, tidak dapat,” ujar Ariyani.

Pada 2015, Ariyani baru mengetahui bahwa berkas 296 orang yang tidak diangkat itu telah dikembalikan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional I Yogyakarta dengan status tidak memenuhi syarat (TMS). Ariyani dan kawan-kawannya bingung akan keputusan itu. Mereka akhirnya mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta.

Ariyani dan kawan-kawannya berhasil memenangi gugatan itu. Namun BKN Kantor Regional I melayangkan banding ke PTUN Surabaya, lalu melanjutkan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pada 5 Juni 2017, pengadilan kasasi tetap memenangi gugatan Aryani dan kawan-kawan. “Jadi, kami sudah menang, sudah punya putusan MA,” kata Ariyani. “Tapi putusan itu sampai sekarang tidak dilaksanakan.”

Menurut Ariyani, mereka masih terus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Surat pengaduan sudah dilayangkan ke presiden, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), serta BKN Pusat.

Terakhir kali, kata Ariyani, mereka juga mengirim surat kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berencana membuka formasi khusus bagi Ariyani dan rekan-rekannya melalui jalur seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Namun Ariyani menolak tawaran itu. Dia berkukuh untuk mendapatkan status pegawai negeri. “Kalau ikut PPPK, kami hanya menjadi guru kontrak, padahal kami lolos seleksi CPNS,” katanya. “Makanya, kami memutuskan untuk memperjuangkan hak kami.”

Perwakilan guru honorer melakukan aksi menuntut kejelasan status di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, 1 Agustus 2022. TEMPO/Prima mulia

Andar Beniala Lumbanraja, kuasa hukum Ariyani dan rekan-rekan, menilai seleksi PPPK bukan solusi untuk 296 guru yang telah lolos seleksi CPNS. Ia juga khawatir kebijakan pemerintah provinsi itu akan menimbulkan kerancuan data jika pemerintah pusat pada akhirnya mengangkat Ariyani dan kawan-kawan sebagai pegawai negeri. “Karena, secara hukum, mereka sah menjadi PNS,” kata Andar. “Itu sudah diputus MA, jadi pemerintah wajib melaksanakan putusan tersebut.”

Menurut Andar, pemerintah provinsi sebaiknya ikut mendesak pemerintah pusat agar hak-hak guru yang lolos seleksi CPNS dapat dipenuhi. "Mereka hanya berharap bisa mendapatkan apa yang memang sudah menjadi hak mereka," kata dia.

Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi pendidikan, Dede Yusuf, mengatakan masalah yang terjadi pada guru honorer sering terjadi di daerah-daerah. Masalah itu muncul karena koordinasi antarlembaga pemerintah tidak berjalan dengan baik. “Kemendikbud Ristek menjadi user dan data input, formasinya dari pemda, tes seleksi dari panitia seleksi Kemenpan-RB, dana dari Kementerian Keuangan, sosialisasi aturan dari Kementerian Dalam Negeri,” ujar Dede, kemarin. “Banyak yang enggak nyambung ini.”

Karena itu, Dede mendorong Pansus Honorer di DPR segera terbentuk. Pansus Honorer itu akan melibatkan berbagai kementerian untuk menyelesaikan masalah ini. “Targetnya pada tahun ini harus ada langkah untuk crash program,” ucapnya.

Kemenpan-RB belum bisa memberikan penjelasan detail ihwal nasib yang dialami Ariyani dan kawan-kawan. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemenpan-RB, Mohammad Averrouce, mengatakan penetapan surat keputusan pengangkatan pegawai negeri menjadi kewenangan BKN. “Ini mesti kami cek surat dari daerahnya,” kata Averrouce. “Jadi, bisa diketahui permasalahannya apa. Mesti cermat dan hati-hati.”

Kepala Biro Humas BKN, Satya Pratama, mengatakan pihaknya akan mengkaji masalah yang menimpa ratusan guru honorer tersebut. Namun penyelesaian masalah harus melibatkan kementerian dan lembaga terkait. “Yang perlu digarisbawahi, keputusan ini tidak bisa diambil oleh kami sendiri,” ujar Satya.

RIRI RAHAYUNINGSIH

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus