Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim memberi lima catatan terhadap Tes Kemampuan Akademik. Sistem evaluasi belajar ini akan diterapkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menggantikan ujian nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, kata dia, rencana pemerintah untuk menjadikan TKA sebagai indikator penilaian dalam masuk perguruan tinggi rentan menimbulkan tumpang tindih. Satriwan mengatakan, saat ini perguruan tinggi sudah memiliki tiga jalur penerimaan mahasiswa, yaitu SNBP, SNBT, dan juga Mandiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau pertimbangan itu lantas kegunaan tes tertulis apa? Lantas kegunaan jalur undangan untuk apa? Ini sudah jelas ya, jalur undangan melalui rapor, kemudian jalur tes tertulis melalui serangkaian tes, begitu juga tes ujian mandiri," kata dia melalui pesan suara kepada Tempo pada Ahad, 2 Maret 2025.
Kedua, P2G mengkhawatirkan besarnya anggaran yang diperlukan untuk penerapan TKA. Sebagai perbandingan, pada 2019, pemerintah terakhir kali mengadakan ujian nasional dengan anggaran sebesar Rp 210 miliar. Terlebih, saat ini Kemendikdasmen juga mengalami pemangkasan anggaran sebesar Rp 7,27 triliun.
"Nah, jadi kami khawatir ini juga akan menggunakan anggaran yang signifikan. Padahal ada program-program lain yang sebenarnya lebih prioritas, lebih dibutuhkan, dan mendesak," tutur dia.
Ketiga, P2G juga mempertanyakan apa nantinya perbedaan antara TKA dengan Asesmen Nasional. Pasalnya, TKA dirancang untuk memetakan kualitas atau kompetensi siswa di Indonesia. Padahal, alat ukur untuk menilai kompetensi tersebut sebenarnya sudah tersedia melalui Asesmen Nasional. "Kalau tujuannya untuk sama-sama memotret sejauh mana kemampuan anak-anak Indonesia, nah kita kan toh sudah punya ANBK (Asesmen Nasional Berbasis Komputer)," ujarnya.
Keempat, Satriwan juga mempertanyakan jika Tes Kemampuan Akademik diterapkan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebagai syarat masuk ke jenjang berikutnya. Saat ini, sudah ada mekanisme Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang nantinya akan digantikan dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).
"Ini juga berpotensi tumpang tindih. Akan membingungkan nanti dalam implementasi," tuturnya.
Menurut dia, jika TKA menjadi syarat untuk masuk ke jenjang berikutnya, hal ini bisa menghidupkan kembali persoalan lama berkaitan dengan sekolah favorit. Ia mengatakan hanya siswa dengan nilai tinggi yang bisa masuk ke sekolah-sekolah unggulan. "Sehingga jalur afirmasi akan tersingkirkan, jalur zonasi atau domisili juga akan tersingkirkan karena yang dijadikan pertimbangan untuk masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi adalah melalui Tes Kemampuan Akademik," ujar dia.
Kelima, P2G menilai Kemendikdasmen tidak terlebih dahulu membangun dialog dengan publik sebelum menetapkan kebijakan Tes Kemampuan Akademik. Menurut dia, Kemendikdasmen sering mengeluarkan pernyataan terlebih dahulu sebelum peraturan menteri yang relevan diterbitkan.
"Kami belum melihat upaya membangun konsultasi publik dengan mengundang semua pemangku kepentingan secara meaningful participation dari Kemendikdasmen. Ini yang kami sangat sayangkan dari Menteri Pendidikan saat ini," kata dia.