DAMPAK krisis moneter menghantui siapa saja, tidak terkecuali mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Selama kurs mata uang asing terhadap rupiah menggila belakangan ini, beban kuliah di mancanegara menjadi sangat berat. Sebelum krisis merebak, akhir Juli 1997, untuk menutup biaya kuliah sarjana (S-1) di Australia, misalnya, yang sekitar AU$ 10 ribu, cukup disediakan dana Rp 15 juta. Waktu itu kurs rata-rata per satu dolar Australia adalah Rp 1.500.
Namun, setelah krisis melibas perekonomian Indonesia, dolar Australia menguat sampai Rp 5.000. Dana rupiah yang diperlukan sang mahasiswa melonjak tiga kali lipat, menjadi sekitar Rp 50 juta. Bahkan untuk biaya kuliah program magister (S-2), yang minimal US$14 ribu--kalau dalam rupiah, sebelumnya cuma Rp 35 juta--sekarang naik paling sedikit menjadi Rp 100 juta.
Lonjakan biaya bukan hanya mempersulit mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di mancanegara, tapi juga menjadi penghalang bagi calon mahasiswa Indonesia yang berhasrat kuliah ke luar negeri. Rencana mereka buyar begitu saja gara-gara krisis. Tapi di sela-sela cerita sedih itu, ternyata masih ada secercah harapan. Australia, misalnya, kini menaikkan jumlah penerima beasiswa dari Indonesia. Tahun lalu beasiswa diberikan kepada 300 mahasiswa, tapi sekarang jatahnya dinaikkan untuk 360 mahasiswa. Total dana yang disediakan Negeri Kanguru itu sebesar A$ 28 juta, meningkat 20 persen.
Matt Stephens, Sekretaris III Kedutaan Besar Australia di Jakarta, menyatakan bahwa kebijakan itu merupakan terobosan pemerintahnya untuk membantu meringankan tekanan krisis yang dialami Indonesia. Hanya, Stephens belum bisa memastikan kelanjutan paket itu pada tahun depan. Tentu, "Siapa pun tak menginginkan krisis ekonomi di Indonesia terus terjadi," ujarnya.
Ternyata paket serupa pun diulurkan oleh Negeri Paman Sam. Sebuah organisasi non-pemerintah, American-Indonesian Exchange Foundation (Aminef), menaikkan jumlah penerima beasiswanya sampai 80 persen. Sayang, John. B. Situmeang, Direktur Eksekutif Aminef, enggan menyebut angkanya yang pasti. "Tak enak, nanti disangka jor-joran," ucapnya.
Yang pasti, calon mahasiswa yang lolos seleksi cukup membawa paspor yang telah dilengkapi visa belajar dan baju secukupnya. Urusan tiket pesawat, uang kuliah, buku, makan, dan pemondokan ditanggung 100 persen oleh Aminef. Kedengarannya memang sangat menggoda. Tapi, "Program ini cuma berlaku buat mahasiswa S-2," ujar Situmeang.
Jepang tak mau kalah. Melalui beasiswa Manbusho, jumlah mahasiswa S-1 dan S-2 dari Indonesia yang belajar ke Jepang ditingkatkan dari 138 orang tahun lalu menjadi 150 orang tahun ini. Total dana yang disediakan 22,5 juta yen. Rinciannya, setiap mahasiswa S-1 dibekali uang saku 142.500 yen sebulan dan mahasiswa S-2 185.500 yen sebulan. Biaya itu, menurut Takashikato, Kepala Bagian Pendidikan Kedutaan Jepang di Jakarta, cukup untuk menutup keperluan makan, pemondokan, dan transportasi ke kampus pulang pergi. Biaya sekolah gratis.
Tentu saja yang berhak atas beasiswa Jepang ini adalah mahasiswa yang berhasil lulus seleksi. Kriterianya? "Memiliki kemampuan berbahasa Jepang dan mengantongi nilai ebtanas murni 7,7," kata Takashikato.
Dari Inggris, kemudahan yang ditawarkan lebih unik. Bekerja sama dengan 121 universitas terkemuka di Inggris dan pihak swasta, pemerintah Inggris menelurkan kebijakan berupa potongan biaya belajar untuk mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di sana. Paket potongan yang diberi label British-Indonesia 1998 Scholarship Scheme itu memberi reduksi uang sekolah senilai 1.600 poundsterling (S-1) dan 4.000 poundsterling (S-2). Dan tidak hanya itu. Beberapa kampus di Inggris memberi bentuk keringanan lainnya yang tidak kurang menarik. The University of Liverpool, umpamanya, menawarkan nilai tukar poundsterling yang sangat miring, yakni Rp 5.474 per pounds. Padahal, kurs pasar saat ini mencapai Rp 15 ribu per pound. Itu berarti mahasiswa cuma dibebani biaya sekitar 30 persen. Jadi, mereka bisa berhemat 70 persen.
Lain lagi kemudahan yang ditawarkan The University of Nottingham. Diskon uang kuliah sampai 50 persen, itulah yang ditawarkan universitas ini. Jadi, untuk dua semester, mahasiswa cukup membayar 4.000 poundsterling atau sekitar Rp 60 juta. Memang, jauh lebih ringan.
Tapi jika krisis masih terus mencengkeram perekonomian Indonesia, apakah beasiswa itu masih akan berlanjut? "Untuk tahun depan, kami akan melihat situasi," tutur Errim Mahmoud, Education Conselling Service Manager dari British Council. Artinya, bila ekonomi Indonesia tetap memburuk, pihaknya akan berusaha melobi kembali pemerintah Inggris agar tetap memberikan kemudahan bagi mahasiswa Indonesia.
Yang jelas, beasiswa itu bermanfaat untuk mahasiswa yang sudah telanjur menuntut ilmu di mancanegara. Berkat keringanan itu, mereka tak sampai putus kuliah. Tapi, karena jumlah penerima beasiswa terbatas, tak urung banyak juga mahasiswa yang terpaksa pulang ke Tanah Air tanpa sempat menyelesaikan studinya. Nasib mereka ini harus juga dipikirkan, paling tidak diberi peluang untuk menyelesaikan studi di beberapa universitas di sini, sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuninya.
Ma?ruf Samudra dan Ahmad Fuadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini