Ada sebuah nama yang tampaknya sulit disebut di Sidang Istimewa MPR pekan lalu: Soe-har-to. Sejumlah besar anggota yang dengan gagah berjas dan berdasi atau pakai kain kebaya itu seakan-akan jadi orang kuno di rimba raya yang takut menyebut nama "macan". Tetapi akhirnya sihir dari Cendana itu gingsir juga di hutan Senayan. Suara para mahasiswa amat keras. Dan lewat pergulatan seru Fraksi Persatuan Pembangunan, melalui lobi berat dan voting di berbagai tingkat, nama mantan presiden itu akhirnya muncul dalam ketetapan MPR tentang pemerintahan yang bersih. Artinya: B.J. Habibie harus mengajukan Soeharto ke pengadilan.
Belum jelas benar sejauh mana Habibie akan bertindak terhadap Soeharto, tokoh yang pernah disebutnya dengan takzim--atau pura-pura takzim--sebagai "Super-Jenius" itu, orang tua yang sudah membukakan jalan karirnya hingga menjadi presiden. Yang pasti, kini ia punya kewajiban konstitusional. Tentu saja tak mudah. Dalam sidang istimewa pekan lalu, Fraksi Karya Pembangunan (FKP) bersama dengan Fraksi ABRI berupaya keras menahan nama Soeharto disebut. Namun, pada akhirnya, FKP harus mempertimbangkan suara kuat di jalanan, bukan suara di Cendana. Bagaimanapun, partai ini ingin memenangkan pemilu yang akan datang, yang diperkirakan jauh lebih sulit dicurangi.
Bukan berarti kebiasaan untuk curang itu sudah terkikis. Agaknya, sejumlah anggota Golkar cukup yakin mereka masih mampu meraih kemenangan kendati membawa aspirasi yang berlawanan dengan tuntutan mahasiswa dan masyarakat banyak. Asalkan--dan ini yang penting--didukung dana yang besar. Dan bicara tentang dana besar untuk Golkar, mau tak mau akan berkait dengan nama Soeharto. Selama ini penyandang keuangan utama Golkar adalah berbagai yayasan yang didirikan dan dikontrol oleh Soeharto secara pribadi, terutama Yayasan Dakab.
Jumlah uang yang tersedia di brankasnya pun cukup besar. Beberapa bulan silam mantan wakil presiden Sudharmono menyebutkan jumlah dana yang berada di berbagai yayasan yang dikelola Cendana ini mencapai Rp 2,6 triliun. Artinya, bila didepositokan dengan suku bunga 60 persen setahun saja, setiap bulan akan menelurkan bunga Rp 130 miliar atau lebih dari Rp 4 miliar rupiah setiap hari. Tak ada partai lain yang akan sanggup mengalahkan kekuatan dana ini, bahkan jika mereka semua berkoalisi sekalipun.
Maka ada kaitan soal peradilan atas Soeharto dengan kepentingan politik Golkar dan partai-partai lain. Juga dengan kepentingan pembangunan politik reformasi sendiri. Sebab, dengan kekuatan uang seperti itu, yang tentunya semakin ampuh di saat krisis moneter, dapat dibayangkan potensi seperti apa yang dimiliki keluarga Cendana untuk mengatur apa saja: politik, keamanan, bahkan juga keputusan para penguasa. Apalagi pengalaman menunjukkan bahwa politik uang memainkan peran penting di sebuah negara demokratis, terutama pada awalnya. Jika Soeharto dan persoalan kekayaannya dapat dibawa ke proses hukum, dana itu dapat ditentukan oleh pengadilan, siapa pemiliknya yang sah.
Tapi memang dibutuhkan keberanian Habibie untuk menyelesaikan perkara hukum atas bekas presiden yang pernah mengasuhnya itu. Meskipun begitu, ada jalan: Habibe bisa mengatakan bahwa ini tugas dan ia tak memusuhi Soeharto secara pribadi. Ia bisa juga membujuk bahwa bagi Keluarga Cendana sendiri pun pengadilan adalah alternatif yang baik. Sekarang ini mereka dihukum oleh opini publik. Dengan proses pengadilan yang terbuka dan adil, Soeharto bisa dilihat di mana salahnya dan di mana jasanya--sementara soal pemanfaatan dana politik dapat diatur kembali untuk masa depan. Coba saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini