SETIAP pahlawan bercerita tentang inspirasi, tapi juga sebuah tragedi. Anak-anak muda pemberani yang gugur di Kampus Atmajaya pekan lalu itu bisa berkisah tentang sejarah yang sedang dibuat dan sejarah yang sedang disia-siakan. Yang sedang dibuat adalah riwayat Indonesia yang berubah dengan harapan untuk menjadi lebih demokratis. Yang disia-siakan--dan itulah tragedi Indonesia--adalah sebuah kesempatan untuk membangun Indonesia tanpa kekerasan, tanpa lebih banyak luka, dan dengan arah yang lebih jelas.
Dari gejolak dan kekerasan di pekan lalu itu, kini kita dihadapkan kepada pertanyaan besar: what next? Apa setelah ini? Jawaban pertanyaan mudah diberikan, tapi tak mudah didengarkan. Sebab yang seharusnya mendengarkan saling terpisah, bahkan terpecah. Saling curiga, bahkan saling bermusuhan.
Betapapun juga, baiklah di sini dicoba ditawarkan sebuah otokritik untuk siapa saja. Setelah Soeharto jatuh, Indonesia tetap saja belum punya sebuah kekuatan politik alternatif yang bisa mengambil alih kekuasaan dan membuka jalan ke demokrasi. Itulah juga tragedinya. Apa yang terjadi di Afrika Selatan tak kejadian di sini. Di sana ada sebuah organisasi politik yang sudah lebih dari setengah abad yang lalu dibangun, ANC, dan secara sistematis bahkan mampu melakukan operasi militer dan gerakan klandestin. Di sana ada Nelson Mandela, seorang pemimpin yang mampu bukan saja memimpin organisasinya sendiri, tetapi bahkan memimpin bekas-bekas musuh politiknya. Dan di sana ada agenda politik sebelum dan sesudah kemenangan diperoleh. Hasil peralihan kekuasaan di Afrika Selatan, dengan segala kekurangannya, tetap hasil yang mengagumkan.
Di Indonesia, menjelang "Orde Baru" runtuh, yang ada sebagai calon kekuatan politik alternatif hanya PDI yang dipimpin Megawati. Di samping itu, beberapa kelompok prodemokrasi yang terpisah-pisah, yang umumnya memulai perjuangannya bukan sebagai gerakan politik yang ingin siap untuk mengambil alih kekuasaan. Tetapi semuanya praktis tak meletakkan diri sebagai kekuatan politik yang bekerja dari luar acuan politik "Orde Baru". PDI bahkan sampai setelah Soeharto jatuh pun masih menuntut pengakuan pemerintah--dan dengan demikian meletakkan pemerintah sebagai penentu. Para aktivis prodemokrasi menganggap berdemonstrasi dan menyiarkan tuntutan sudah cukup, dan sebab itu tak perlu menyusun kekuatan, tak butuh membentuk sumber dana dan kader, tak hendak mengadakan aliansi-alinasi taktis dan strategis. Bahkan umumnya tak jelas apa strategi dan apa taktisnya.
Sementara itu, saling curiga jadi penyakit yang menahun dan menular. Manakala dinas intelijen pemerintah giat melakukan infiltrasi dan menyiarkan informasi yang menyesatkan, penyakit itu memang sulit diberantas. Belum lagi persaingan ego antara pemimpin prodemokrasi--sebuah penyakit lain yang tak kurang menyedihkan. Akhirnya, penyusunan kekuatan politik yang tangguh untuk menghadapi Soeharto dan masa sesudah Soeharto pun tak kunjung terjadi.
Hanya, di satu hal Indonesia masih beruntung: ada tradisi sejarah, yang membuat pemuda dan mahasiswa memegang peran ke arah pembebasan. Kini terbukti sekali lagi bahwa pemudalah yang membuat sejarah. Pemerintah yang menganggap anak-anak muda hanya kuda tunggangan orang lain, telah keliru membaca keadaan. Menuduh dan menginterogasi orang tua di atas 60-an seperti Kemal Idris, Ali Sadikin, dan lain-lain sebagai pelopor makar, tak akan ada dampaknya bagi oposisi para pemuda.
Catatan Kemenangan Mahasiwa
Tapi ada satu catatan untuk para pemuda itu. Pekan lalu mereka itu memang gagal masuk ke Gedung DPR dan MPR. Pekan lalu mereka memang tidak berhasil menggagalkan Sidang Istimewa MPR. Tapi ada yang mulai jebol di Senayan. ABRI sejak malam itu tak bisa menganggap posisinya di DPR dan MPR sebagai hal yang sudah semestinya. Golkar sejak malam itu mulai menyadari bahwa kelanjutan hidupnya tergantung kepada sikapnya dalam menarik garis dengan Soeharto.
Singkatnya, keberanian para mahasiswa tak 100 persen sia-sia. Tentu saja tak 100 persen terpenuhi. Hasil sidang istimewa tak mencolok hitam atau putih, sebab itu hasil kompromi. Namun proses politik dalam kehidupan--apalagi proses politik yang tanpa pemaksaan--selalu harus terbuka kepada kompromi. Kebajikan berkompromi ini memang sulit diterima dalam suasana kekerasan dan sulit dimengerti oleh sebuah generasi yang hidup di masa ketika proses politik yang terbuka dimatikan. Tapi tanpa kompromi, kehidupan bersama tak akan berjalan.
Memang tak mudah bagi para mahasiwa untuk melihat ini sebagai kemenangan. Ibaratnya memukuli sebuah tubuh yang berkulit tebal, para mahasiswa tidak melihat ada yang cacat di permukaan itu. Tetapi itu tak berarti tidak terjadi retak dan memar di dalam tubuh penjaga status quo, baik yang militer maupun yang sipil.
Justru karena dampak keberanian di Semanggi itu, mereka bersikap defensif, dengan menuduh dan menangkap. Dengan cara itu, mereka akan membalas kekalahan. Aksi protes yang militan itu hendak dicoret dengan cat hitam. Tetapi tak akan berhasil. Sebab ada sebuah kemenangan lain--yang tak kalah mengagumkan--dari para mahasiswa dan masyarakat pendukung aksi itu: ternyata tak terjadi kerusuhan dalam skala seperti Mei yang lalu. Bahkan, di sana-sini para mahasiwa dan anggota masyarakat aktif menahan aksi kekerasan dan pembakaran oleh orang di luar mereka.
Pada akhirnya akan tampak bahwa yang tak menang adalah pemerintahan Habibie. Kekerasan yang terjadi di Semanggi, gugurnya para mahasiswa oleh perilaku aparat keamanan, membuat lubang besar dalam kapal yang akan membawa pemerintah maju menempuh badai krisis ekonomi dan politik. Legitimasi pemerintah tak bertambah kukuh. Maka, kalau mau bekerja efektif, Habibie mau tak mau perlu mengisyaratkan sebuah kompromi lebih lanjut--sesuatu yang cukup jelas sebagai tanda rekonsiliasi.
Ada beberapa pilihan. Pertama, ia menyatakan diri sebagai pemimpin pemerintahan transisi. Kedua, ia merombak kabinet, termasuk mengganti Panglima ABRI yang bertanggung jawab atas kejadian di Semanggi. Ketiga, ia mengundang semua kekuatan oposisi untuk bersama-sama memberi arah reformasi ke depan.
Tetapi untuk itu, kelompok oposisi--para mahasiswa, Ciganjur Empat (Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Hamengkubuwono, dan Megawati) bersama kekuatan massa mereka, ditambah pemimpin partai lain--dituntut menunjukkan agendanya dan kekuatannya. Sidang istimewa sudah lewat, tetapi ada soal yang harus diputuskan dan dikerjakan bersama. Misalnya pengendalian krisis ekonomi, cara pengurangan peran sosial politik ABRI, kekayaan Soeharto, dan persiapan pemilihan umum. Daftar panjang. Waktu sudah mendesak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini