Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII), Christina Clarissa Intania, mengkritisi Rancangan Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden atau RUU Wantimpres yang telah disetujui dalam pembahasan tingkat I, pada Selasa, 10 September 2024. Dia menyebut, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak mengakomodasi masukan ahli dan masyarakat umum soal ketentuan jumlah anggota Wantimpres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Sudah banyak sekali yang mengingatkan bahwa perubahan ketentuan jumlah anggota Wantimpres dan kementerian tidak memiliki urgensi," kata Clarissa dalam keterangan resmi pada Rabu, 11 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, dengan kemungkinan bertambahnya jumlah anggota Wantimpres, kata Clarissa bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik dan bisa membuat anggaran membengkak. "Jika ada penambahan, justru negara akan menjadi imbas rumitnya birokrasi yang juga akan memengaruhi kinerja pelayanan publik," kata dia.
Clarissa menegaskan bahwa hal tersebut harus dirumuskan kembali, mengingat koordinasi yang semakin memakan waktu. Pada akhirnya, yang dikorbankan adalah kebijakan berkualitas, inklusif, serta kesejahteraan bagi masyarakat luas.
Menurut dia, kurang tepat jika perubahan ketentuan jumlah anggota dengan landasan menguatkan kembali sistem presidensial yang melemah sejak Reformasi 1998. Sebabnya sebelum reformasi, kata dia, pengaruh presiden terlalu kuat sehingga check and balances harus ditegakkan kembali.
Bagi Clarissa, berkurangnya kekuatan presiden pada masa reformasi bukanlah hal buruk. "Saat ini pun tidak bisa sepenuhnya dibilang lemah, karena presiden masih bisa mengakses kewenangan legislasi untuk menerbitkan peraturan pengganti undang-undang dan peraturan presiden."
Alih-alih memprioritaskan RUU dengan ketentuan perubahan yang tidak memiliki urgensi, kata dia, lebih baik memprioritaskan RUU yang memang dibutuhkan masyarakat. Dia menyebut, RUU yang harusnya diprioritaskan saat ini seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Kerukunan Umat Beragama, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Perampasan Aset.
"Isu korupsi, kesenjangan dalam masyarakat, intoleransi, dan pemenuhan hak dasar telah menjadi isu yang berlarut-larut dan seharusnya ini yang menjadi sorotan DPR,” tutur Christina.