TIDAK ada pesta untuk HUT Pengadilan Agama. Tahun ini, lembaga
yang kini bernaung di bawah Departemen Agama itu tepat berumur
seabad. Toh hanya ada rapat kerja, misalnya, atau wawancara di
TVRI.
Bulan Agustus 1882, seratus tahun lalu, pemerintah Hindia
Belanda menjulurkan tangan. Mereka membentuk badan peradilan
agama yang berdiri sendiri, di luar pengadilan negara (landraad)
dengan wilayah hukum masing-masing seluas kabupaten. Langkah
itu, yang ditandai sebagai awal terbentuknya PA yang sekarang,
memang merupakan usaha pengrapian lembaga peradilan agama yang
selama itu tercecer-cecer.
Tapi itu merupakan langkah kedua. Sebelumnya, pada 1830,
pemerintah kolonial untuk pertama kalinya mencampuri wilayah
peradilan penduduk itu. Caranya: memasukkan lembaga-lembaga
peradilan agama -- yang biasa disebut 'pengadilan serambi',
lantaran bersidang di serambi masjid -- ke bawah pengawasan
landraa. Juga mengangkat dan memperhentikan para pejabatnya.
Dan mencabut hak pengadilan agama untuk menyita barang maupun
uang, serta mengalihkannya ke pengadilan umum, meski tetap
mengakui kompetensi pengadilan agama dalam memutus perkaranya.
Toh itu berarti bahwa pengadilan agama masih kurang-lebih
merupakan satu-satunya lembaga peradilan bagi bumiputra. Dan
memang demikian keadaannya selama berabad-abad, dalam berbagai
kerajaan pribumi yang menempatkan bidang agama sebagai baglan
pemerintahan umum. Di Jawa misalnya, jabatan keagamaan tingkat
desa dipegang kaum, kayim, modin,atau amil. Tingkat kecamatan
oleh pengulu. Sedang di tingkat pusat berdiri seorang pengulu
ageng (penghulu besar), biasanya ningrat. Para pengulu dan
pengulu ageng itulah yang bertindak sebagai kadi alias hakim.
Suasananya memang berbeda dari pengadilan landraad yang dipimpin
hakim-hakim Belanda itu.
Dengan diberlakukannya kebijaksanaan 1830, maka akibat yang
terlihat ialah "kurang ada kebebasan sosial dan otonomi dari
lembaga itu," seperti ditulis Daniel S. Lev dalam bukunya
Islamic Courts in Indonesia yang kita kutipkan. Bahkan dalam
praktek sehari-hari PA lantas lebih banyak tampil sebagai
kepanjangan tangan penguasa. Dan ini mengakibatkan hubungan yang
renggang dengan rakyat muslimin. Entah karena ingin menghapuskan
kesan itulah, pemerintah kolonial kemudian mengubah organisasi
PA seperti yang sudah disebut, 1882.
Toh tidak lantas beres. Sebab pemerintah sendiri sekarang tidak
mau menggaji pejabat PA -- menganggapnya sebagai swasta,
sementara tetap memegang hak pengangkatan. Maka, diceritakan,
terjadi demoralisasi di kalangan para penghulu -- yang selama
setengah abad sudah memupuk loyalitas ke atas dan menjadi
pangreh ke bawah. Dilepaskan begitu saja -- juga, tentunya, oleh
kraton, mereka konon lantas banyak mengambil pungutan dari
rakyat yang berperkara. Setidaknya nama mereka menjadi jelek,
tidak hanya di kalangan pribumi berpendidikan Barat tapi juga di
kalangan intelektual muslim, bibit-bibit "modernis" waktu itu.
Tapi satu hal yang penting ialah, sampai waktu itu keluasan
wewenang PA masih tetap sama -- tetap memegang semua bidang
hukum pokok keagamaan seperti nikah-talak-rujuk, warisan dan
perselisihan harta, wakaf dan selingkar wilayahnya. Perubahan
barulah datang di abad berikutnya -- seakan merupakan langkah
selanjutnya dari maksud pemerintah 'mmbudayakan' pribumi.
AKIBAT dekadensi PA seperti yang sudah disebut, tahun 1922
dibentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali
Priesterraad (Pengadilan "Pendeta") 1882 itu. Ini dipimpin oleh
Pangeran Aryo Hoesin Djajadiningrat, islamolog terkemuka didikan
Barat (dengan latar belakang masa kecil di pesantren) yang tidak
begitu dipercaya kalangan politik Islam.
Anggotanya: dua orang bupati, R.A A. Soewondo dari Pati dan
R.A.A. Tjakraningrat dari Bangkalan, Madura, tiga tokoh Islam
K.H.A. Dahlan (pendiri Muhammadiyah), R.H. Moehammad Isa,
hoofdpenghoeloe dari Serang dan H. Aboe Ngamar, penghulu
Purbolinggo. Dan jangan dilupakan: Ter Haar, President Landraad
Purbolinggo dan Purwokerto, penasihat Direkteur van Justitie dan
guru besar Rechtshoogeschool.
Hasil komisi: istilah priesterraad diganti dengan Majelis
Pengadilan Penghulu. Pegawai peradilan dan administrasi diberi
janji akan digaji tetap -- meski akhirnya tak dipenuhi, dengan
alasan zaman malaise. Yang positif ialah dibentuknya MIT
(Majelis Islam Tinggi) sebagai pengadilan banding bagi PA
seluruh Jawa dan Madura.
Dan, inilah yang sampai kini kita warisi: wewenang PA
dipersempit menjadi hanya mengurusi soal nikah-talak-rujuk.
Reaksi kemudian keras. Bisa diduga. Yakni sejak 1937, waktu
Gubernemen berniat benar-benar melaksanakan hasil komisi
tersebut. Reaksi mula-mula datang dari Perhimpoenan Penghoeloe
dan Pegawainja (PPDP) yang berapat di Solo. Pertemuan
diprakarsai oleh K.H.R. Adnan, Penghulu Kraton Surakarta. Di
situ PPDP menyatakan, ada beberapa ketentuan dalam landraad
ataupun hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam.
"Ilmu Faraidl (aturan kewarisan) termasuk aturan hukum yang
merupakan agama bagi orang Islam. Sehingga bila seorang muslim
tidak dapat mengikuti aturan itu, berarti pelaksanaan agamanya
dibatasi," kata Kiai Adnan, dalam dialog kemudian dengan Dr.
G.F. Pijper, penasihat pemerintah Belanda urusan pribumi --
yang menggantikan Snouck Hurgronje yang beken itu. Pijper
sebaliknya menyangkal. Katanya, pemerintah sama sekali tidak
berniat melarang orang Islam mengikuti ketentuan faraidl. Maka
rombongan PPDP menjadi lega: kata-kata Pijper itu sebuah
jaminan.
Tidak tahunya, itu tak lebih dari sebuah taktik -- cerita lama,
seperti yang biasa kita dengar dari perundingan dengan Belanda.
Maksud pihak kolonial, tentu: silakan, kalau orang Islam mau
memakai hukum waris Quran secara pribadi. Tapi tak ada
pengadilan yang melindungi -- tidak juga PA. Misalnya bila salah
seorang ahli waris kemudian menggugat, maupun mengadu ke
pengadilan (umum). Sejak rembukan itu pemerintah Belanda memang
tidak pernah mengeluarkan keputusan tentang wewenang PA dalam
hal waris. Tapi, bagaimana bisa jadi, padahal dalam komisi dulu
ada K.H.A. Dahlan segala?
Daniel Lev dalam bukunya menjawab. Ia bilang, wakil-wakil
Islam itu, terutama para penghulu, "agak merasa lemah
kedudukannya dalam komisi." Mungkin karena sidang-sidang
dilakukan dalam bahasa Belanda, dan -- ini tidak begitu jelas
--mereka memerlukan penerjemah. Juga perbedaan pangkat di
kalangan sesama peserta menyebabkan "suasana sangat tertekan"
bagi wakil Islam. Siapa yang tidak segan -- di zaman kolonial
itu -- menentang pendapat para priayi dan, jangan lupa, Tuan Ter
Haar, kampiun hukum adat, dengan pangkat yang jauh lebih tinggi
dari hanya seorang penghulu landraad?
HAL seperti itu memang dinyatakan terus terang oleh para utusan
PPDP ketika menghadap Dr. Pijper. (Dan bisa diingat, K.H.A.
Dahlan sebagai anggota komisi sudah diganti oleh H.
Hadikoesoemo).
Lebih lagi, tantangan terhadap hukum waris Islam juga datang
dari beberapa tokoh nasionalis dan ahli hukum adat pribumi
didikan Belanda. Seperti Prof. R. Soepomo, yang kemudian sangat
berpengaruh dalam politik hukum di masa Jepang dan revolusi.
Alasan Soepomo: hukum waris Islam "belum berpengaruh di
masyarakat Indonesia." Cirinya dianggap individual, sementara
hukum adat bersifat kemasyarakatan. Dalih itu dipakai pemerintah
Belanda. Dan begitulah keadaannya sampai kini, meski alasannya
bisa berbeda.
Satu abad umur pengadilan agama dan penyempurnaan pun dilakukan
-- khususnya dalam hal integritas PA ke dalam kesatuan sistem di
bawah Mahkamah Agung sekarang. Di MA misalnya telah diangkat
seorang hakim agung yang khusus membidangi hal yang bersangkutan
dengan pengadilan agama. Pengajuan kasasi dari PA ke MA, yang
selama ini banyak macet akibat tidak adanya pengakuan PA kepada
MA sebagai lembaga atasannya, dicoba dicairkan -- misalnya
dengan raker bersama Departemen Agama dan MA, 18-19 Juni. Di
samping itu kini sudah dibentuk 10 MIT di beberapa ibukota
provinsi.
Sehingga Menteri Agama Alamsyah mengharapkan, seperti
dikatakannya kepada TEMPO, "peranan PA makin besar dibanding
dulu." Menteri memandang perlu tidak cuma soal NTR, tapi juga
wakaf, waris dan lain-lain diurus PA, seperti di masa pra-1922.
Tapi, yah, bisakah itu ?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini