Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pengadilan agama, cerita lama

Sejarah terbentuknya pengadilan agama 100 th yang lalu, oleh pemerintah belanda, dan penyempurnaan-penyempurnaan yang dilakukan oleh pemerintah-khususnya dalam hal integritas pengadilan ke dalam mahkamah agung. (ag)

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Pengadilan agama, cerita lama
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TIDAK ada pesta untuk HUT Pengadilan Agama. Tahun ini, lembaga yang kini bernaung di bawah Departemen Agama itu tepat berumur seabad. Toh hanya ada rapat kerja, misalnya, atau wawancara di TVRI. Bulan Agustus 1882, seratus tahun lalu, pemerintah Hindia Belanda menjulurkan tangan. Mereka membentuk badan peradilan agama yang berdiri sendiri, di luar pengadilan negara (landraad) dengan wilayah hukum masing-masing seluas kabupaten. Langkah itu, yang ditandai sebagai awal terbentuknya PA yang sekarang, memang merupakan usaha pengrapian lembaga peradilan agama yang selama itu tercecer-cecer. Tapi itu merupakan langkah kedua. Sebelumnya, pada 1830, pemerintah kolonial untuk pertama kalinya mencampuri wilayah peradilan penduduk itu. Caranya: memasukkan lembaga-lembaga peradilan agama -- yang biasa disebut 'pengadilan serambi', lantaran bersidang di serambi masjid -- ke bawah pengawasan landraa. Juga mengangkat dan memperhentikan para pejabatnya. Dan mencabut hak pengadilan agama untuk menyita barang maupun uang, serta mengalihkannya ke pengadilan umum, meski tetap mengakui kompetensi pengadilan agama dalam memutus perkaranya. Toh itu berarti bahwa pengadilan agama masih kurang-lebih merupakan satu-satunya lembaga peradilan bagi bumiputra. Dan memang demikian keadaannya selama berabad-abad, dalam berbagai kerajaan pribumi yang menempatkan bidang agama sebagai baglan pemerintahan umum. Di Jawa misalnya, jabatan keagamaan tingkat desa dipegang kaum, kayim, modin,atau amil. Tingkat kecamatan oleh pengulu. Sedang di tingkat pusat berdiri seorang pengulu ageng (penghulu besar), biasanya ningrat. Para pengulu dan pengulu ageng itulah yang bertindak sebagai kadi alias hakim. Suasananya memang berbeda dari pengadilan landraad yang dipimpin hakim-hakim Belanda itu. Dengan diberlakukannya kebijaksanaan 1830, maka akibat yang terlihat ialah "kurang ada kebebasan sosial dan otonomi dari lembaga itu," seperti ditulis Daniel S. Lev dalam bukunya Islamic Courts in Indonesia yang kita kutipkan. Bahkan dalam praktek sehari-hari PA lantas lebih banyak tampil sebagai kepanjangan tangan penguasa. Dan ini mengakibatkan hubungan yang renggang dengan rakyat muslimin. Entah karena ingin menghapuskan kesan itulah, pemerintah kolonial kemudian mengubah organisasi PA seperti yang sudah disebut, 1882. Toh tidak lantas beres. Sebab pemerintah sendiri sekarang tidak mau menggaji pejabat PA -- menganggapnya sebagai swasta, sementara tetap memegang hak pengangkatan. Maka, diceritakan, terjadi demoralisasi di kalangan para penghulu -- yang selama setengah abad sudah memupuk loyalitas ke atas dan menjadi pangreh ke bawah. Dilepaskan begitu saja -- juga, tentunya, oleh kraton, mereka konon lantas banyak mengambil pungutan dari rakyat yang berperkara. Setidaknya nama mereka menjadi jelek, tidak hanya di kalangan pribumi berpendidikan Barat tapi juga di kalangan intelektual muslim, bibit-bibit "modernis" waktu itu. Tapi satu hal yang penting ialah, sampai waktu itu keluasan wewenang PA masih tetap sama -- tetap memegang semua bidang hukum pokok keagamaan seperti nikah-talak-rujuk, warisan dan perselisihan harta, wakaf dan selingkar wilayahnya. Perubahan barulah datang di abad berikutnya -- seakan merupakan langkah selanjutnya dari maksud pemerintah 'mmbudayakan' pribumi. AKIBAT dekadensi PA seperti yang sudah disebut, tahun 1922 dibentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali Priesterraad (Pengadilan "Pendeta") 1882 itu. Ini dipimpin oleh Pangeran Aryo Hoesin Djajadiningrat, islamolog terkemuka didikan Barat (dengan latar belakang masa kecil di pesantren) yang tidak begitu dipercaya kalangan politik Islam. Anggotanya: dua orang bupati, R.A A. Soewondo dari Pati dan R.A.A. Tjakraningrat dari Bangkalan, Madura, tiga tokoh Islam K.H.A. Dahlan (pendiri Muhammadiyah), R.H. Moehammad Isa, hoofdpenghoeloe dari Serang dan H. Aboe Ngamar, penghulu Purbolinggo. Dan jangan dilupakan: Ter Haar, President Landraad Purbolinggo dan Purwokerto, penasihat Direkteur van Justitie dan guru besar Rechtshoogeschool. Hasil komisi: istilah priesterraad diganti dengan Majelis Pengadilan Penghulu. Pegawai peradilan dan administrasi diberi janji akan digaji tetap -- meski akhirnya tak dipenuhi, dengan alasan zaman malaise. Yang positif ialah dibentuknya MIT (Majelis Islam Tinggi) sebagai pengadilan banding bagi PA seluruh Jawa dan Madura. Dan, inilah yang sampai kini kita warisi: wewenang PA dipersempit menjadi hanya mengurusi soal nikah-talak-rujuk. Reaksi kemudian keras. Bisa diduga. Yakni sejak 1937, waktu Gubernemen berniat benar-benar melaksanakan hasil komisi tersebut. Reaksi mula-mula datang dari Perhimpoenan Penghoeloe dan Pegawainja (PPDP) yang berapat di Solo. Pertemuan diprakarsai oleh K.H.R. Adnan, Penghulu Kraton Surakarta. Di situ PPDP menyatakan, ada beberapa ketentuan dalam landraad ataupun hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam. "Ilmu Faraidl (aturan kewarisan) termasuk aturan hukum yang merupakan agama bagi orang Islam. Sehingga bila seorang muslim tidak dapat mengikuti aturan itu, berarti pelaksanaan agamanya dibatasi," kata Kiai Adnan, dalam dialog kemudian dengan Dr. G.F. Pijper, penasihat pemerintah Belanda urusan pribumi -- yang menggantikan Snouck Hurgronje yang beken itu. Pijper sebaliknya menyangkal. Katanya, pemerintah sama sekali tidak berniat melarang orang Islam mengikuti ketentuan faraidl. Maka rombongan PPDP menjadi lega: kata-kata Pijper itu sebuah jaminan. Tidak tahunya, itu tak lebih dari sebuah taktik -- cerita lama, seperti yang biasa kita dengar dari perundingan dengan Belanda. Maksud pihak kolonial, tentu: silakan, kalau orang Islam mau memakai hukum waris Quran secara pribadi. Tapi tak ada pengadilan yang melindungi -- tidak juga PA. Misalnya bila salah seorang ahli waris kemudian menggugat, maupun mengadu ke pengadilan (umum). Sejak rembukan itu pemerintah Belanda memang tidak pernah mengeluarkan keputusan tentang wewenang PA dalam hal waris. Tapi, bagaimana bisa jadi, padahal dalam komisi dulu ada K.H.A. Dahlan segala? Daniel Lev dalam bukunya menjawab. Ia bilang, wakil-wakil Islam itu, terutama para penghulu, "agak merasa lemah kedudukannya dalam komisi." Mungkin karena sidang-sidang dilakukan dalam bahasa Belanda, dan -- ini tidak begitu jelas --mereka memerlukan penerjemah. Juga perbedaan pangkat di kalangan sesama peserta menyebabkan "suasana sangat tertekan" bagi wakil Islam. Siapa yang tidak segan -- di zaman kolonial itu -- menentang pendapat para priayi dan, jangan lupa, Tuan Ter Haar, kampiun hukum adat, dengan pangkat yang jauh lebih tinggi dari hanya seorang penghulu landraad? HAL seperti itu memang dinyatakan terus terang oleh para utusan PPDP ketika menghadap Dr. Pijper. (Dan bisa diingat, K.H.A. Dahlan sebagai anggota komisi sudah diganti oleh H. Hadikoesoemo). Lebih lagi, tantangan terhadap hukum waris Islam juga datang dari beberapa tokoh nasionalis dan ahli hukum adat pribumi didikan Belanda. Seperti Prof. R. Soepomo, yang kemudian sangat berpengaruh dalam politik hukum di masa Jepang dan revolusi. Alasan Soepomo: hukum waris Islam "belum berpengaruh di masyarakat Indonesia." Cirinya dianggap individual, sementara hukum adat bersifat kemasyarakatan. Dalih itu dipakai pemerintah Belanda. Dan begitulah keadaannya sampai kini, meski alasannya bisa berbeda. Satu abad umur pengadilan agama dan penyempurnaan pun dilakukan -- khususnya dalam hal integritas PA ke dalam kesatuan sistem di bawah Mahkamah Agung sekarang. Di MA misalnya telah diangkat seorang hakim agung yang khusus membidangi hal yang bersangkutan dengan pengadilan agama. Pengajuan kasasi dari PA ke MA, yang selama ini banyak macet akibat tidak adanya pengakuan PA kepada MA sebagai lembaga atasannya, dicoba dicairkan -- misalnya dengan raker bersama Departemen Agama dan MA, 18-19 Juni. Di samping itu kini sudah dibentuk 10 MIT di beberapa ibukota provinsi. Sehingga Menteri Agama Alamsyah mengharapkan, seperti dikatakannya kepada TEMPO, "peranan PA makin besar dibanding dulu." Menteri memandang perlu tidak cuma soal NTR, tapi juga wakaf, waris dan lain-lain diurus PA, seperti di masa pra-1922. Tapi, yah, bisakah itu ?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus