ENAM rumah kaca nampak menyolok di antara bangunan yang lain di
kompleks berpagar kawat berduri. Di sekelilingnya terhampar luas
lahan persawahan. Kelihatan dari tepi jalan raya
Jakarta-Cirebon, Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP)
Sukamandi hanya 60-an km dari Bendungan Jatiluhur, Purwakarta.
Ada 245 ha kebun percobaan di situ yang sepanjang tahun menerima
kiriman air lewat sistem irigasi sederhana. Lingkungannya memang
terkenal sebagai daerah pertanian padi. "Kami dekat dengan
lapangan," kata Dr. B.H. Siwi, Kepala BPTP Sukamandi, "dan arus
informasi dengan petani sangat mudah."
BPTP Sukarnandi merupakan yang keenam milik Departemen
Pertanian. Lima lagi berada di Sukaramai (Sum-Bar), Malang
(Ja-Tim), Bogor (Ja-Bar), Banjarmasin (Kal-Sel) dan Maros
(Sul-Sel). Tapi balaiyang terbaru di Sukamandi itu adalah yang
terbesar karena dilengkapi dengan 510 ha kebun percobaan di
Subang, Indramayu dan Karawang.
Meneliti padi dan palawija, balai ini membagi 182 orang
karyawannya, termasuk 4 doktor (PhD), dalam tiga kelompok
kegiatan Pemuliaan Tanaman, Agronomi, dan Kimia/Hama Penyakit.
Biaya untuk proyek ilmiah ini lumayan besarnya. Antara lain
diperoleh bantuan Bank Dunia (1972) sebesar US$ 1. 768.000,
kemudian dana APBN (1976) Rp 3,2 milyar, dan bantuan Bank Dunia
lagi Rp 11,5 milyar. Dana itu digunakan untuk pendidikan para
ahli, bangunan fisik dan peralatan, serta biaya berbagai
penelitian. Untuk meningkatkan kemampuan para ahli, misalnya,
Sukamandi mengadakan kerjasama dengan International Rice
Research Institute (IRRI) di Los Banos (Filipina).
Bangunan fisik balai itu sekarang memadai. Selain enam rumah
kaca dan perkantoran di areal 4 ha, laboratorium kimianya saja
berbiaya Rp 1 milyar, dilengkapi dengan komputer.
Presiden Soeharto datang ke sana meresmikannya pekan lalu. "Para
ahli yang bekerja di balai ini akan menemukan suatu kepuasan
intelektual dengan diperolehnya penemuan baru untuk
kesejahteraan berjuta-juta rakyat," kata Presiden. Nampaknya
BPTP Sukamandi akan memenuhi harapan itu. Setidaknya balai ini
sudah menghasilkan varietas untuk palawija.
Ketika panen kacang hijau di Talagasari, Karawang setahun lalu,
Presiden mengharapkan agar tanah "bera" bisa dimanfaatkan dengan
palawija. Petani di Karawang dan sekitarnya cukup mendapat air
bendungan Jatiluhur tapi hanya memanfaatkan sawahnya 9 bulan
dalam setahun. Mereka turun ke sawah September, dan memetik
panen sampai Mei. Kemudian selama 3 bulan sawah dibiarkan
telantar -- itulah tanah bera, yang dianjurkan Presiden supaya
dimanfaatkan untuk palawija.
"Tapi sulit mencari palawija berumur pendek dengan penghasilan
baik," kata Omar Osa Hidayat MSc, staf BPTP Sukamandi. Kecuali
kacang hijau seperti yang dipanen Presiden di Talagasari itu.
Kedelai varietas Slawi yang sudah ada selama ini memang punya
umur cuma 80 hari, tapi bijinya kecil, proteinnya rendal, 0,7
ton/ha. Padahal di srazilia, Jepang dan Taiwan, ia bisa 1,5
ton/ha dengan umur 3 bulan. Bibit asing itu tak cocok dengan
iklim di sini -- panas matahari hanya 12 jam/hari. Kedelai itu
sudah biasa menerima panas matahari 15 jam sehari di negeri
asalnya.
Tapi sejak dua tahun yang lalu Suka mandi mengawinsilangkan
Slawi dengan varietas TK-5 dari Taiwan. Yaitu untuk memanfaatkan
umur pendek Slawi dengan produksi dan kadar protein tinggi
varietas Taiwan. Setelah beberapa kali diseleksi untuk sifat
yang diinginkan di kebun percobaan Sukamandi, akhirnya Januari
lalu diperoleh varietas Lokon dan Guntur (diambil dari nama
gunung seperti lazimnya untuk varietas kedelai).
KEDUANYA memiliki sifat yang lebih-kurang. Hanya Guntur lebih
tinggi 1 cm dibanding Lokon yang hanya 74 cm. Lokon mengandung
protein 34,3% dan Guntur 30,53%. Kadar lemak Lokon 18,4%
dibanding Guntur 15,8%. Itu cukup tinggi dibanding beras yang
punya kadar lemak 8%. "Masih diupayakan menurunkan lemaknya,"
kata Omar.
Produksi kedua varietas ini menggembirakan (1,15 ton/ha) dan
umurnya singkat, cuma 75 hari (Lokon) dan 77 hari (Guntur).
Musim kemarau, varietas ini bisa dipanen setelah 68 hari. Tapi
produksinya melorot (1,08 sampai 0,97 ton/ha) "Cuaca kemarau
mempercepat terjadinya buah," kata Omar. Tapi tetap varietas ini
lebih unggul daripada pendahulunya Slawi yang, punya protein
cma 10% dengan produksi 0,7 ton/ha itu.
Lokon dan Guntur -- walau belum menyamai prestasi TK-5 yang bisa
berproduksi 1,5 ton/ha -- cocok untuk iklim di sini. Dengan
umurnya yang singkat (genjah) seperti dikatakan Menteri
Pertanian Soedarsono Hadisapoetro, keduanya cocok sebagai
tanaman ketiga setelah dua kali orang menanam padi di daerah
irigasi. Yaitu mengisi kekosongan Mei sampai Agustus, antara
musim gadu dengan rendengan.
Departemen Pertanian (Januari lalu) sudah mengeluarkan SK (no.
37 dan 38) yang menyatakan Lokon dan Guntur sudah bisa
dimasyarakatkan. Sudah banyak petani mencoba menanamnya di
Sukamandi dan sekitarnya. Haji Adang, misalnya, awal Agustus ini
memanen Lokon di 2 ha sawahnya yang sebelumnya ditanaminya
kacang hijau. "Panennya lebih baik dari kacang hijau," kata
petani itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini