Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Palawija untuk tanah bera

Balai penelitian tanaman pangan (bptp) sukamandi, meneliti padi dan palawija yang berusia pendek dan baik hasilnya. sudah diketemukan varietas lokon dan guntur untuk kedelai. (ilt)

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM rumah kaca nampak menyolok di antara bangunan yang lain di kompleks berpagar kawat berduri. Di sekelilingnya terhampar luas lahan persawahan. Kelihatan dari tepi jalan raya Jakarta-Cirebon, Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) Sukamandi hanya 60-an km dari Bendungan Jatiluhur, Purwakarta. Ada 245 ha kebun percobaan di situ yang sepanjang tahun menerima kiriman air lewat sistem irigasi sederhana. Lingkungannya memang terkenal sebagai daerah pertanian padi. "Kami dekat dengan lapangan," kata Dr. B.H. Siwi, Kepala BPTP Sukamandi, "dan arus informasi dengan petani sangat mudah." BPTP Sukarnandi merupakan yang keenam milik Departemen Pertanian. Lima lagi berada di Sukaramai (Sum-Bar), Malang (Ja-Tim), Bogor (Ja-Bar), Banjarmasin (Kal-Sel) dan Maros (Sul-Sel). Tapi balaiyang terbaru di Sukamandi itu adalah yang terbesar karena dilengkapi dengan 510 ha kebun percobaan di Subang, Indramayu dan Karawang. Meneliti padi dan palawija, balai ini membagi 182 orang karyawannya, termasuk 4 doktor (PhD), dalam tiga kelompok kegiatan Pemuliaan Tanaman, Agronomi, dan Kimia/Hama Penyakit. Biaya untuk proyek ilmiah ini lumayan besarnya. Antara lain diperoleh bantuan Bank Dunia (1972) sebesar US$ 1. 768.000, kemudian dana APBN (1976) Rp 3,2 milyar, dan bantuan Bank Dunia lagi Rp 11,5 milyar. Dana itu digunakan untuk pendidikan para ahli, bangunan fisik dan peralatan, serta biaya berbagai penelitian. Untuk meningkatkan kemampuan para ahli, misalnya, Sukamandi mengadakan kerjasama dengan International Rice Research Institute (IRRI) di Los Banos (Filipina). Bangunan fisik balai itu sekarang memadai. Selain enam rumah kaca dan perkantoran di areal 4 ha, laboratorium kimianya saja berbiaya Rp 1 milyar, dilengkapi dengan komputer. Presiden Soeharto datang ke sana meresmikannya pekan lalu. "Para ahli yang bekerja di balai ini akan menemukan suatu kepuasan intelektual dengan diperolehnya penemuan baru untuk kesejahteraan berjuta-juta rakyat," kata Presiden. Nampaknya BPTP Sukamandi akan memenuhi harapan itu. Setidaknya balai ini sudah menghasilkan varietas untuk palawija. Ketika panen kacang hijau di Talagasari, Karawang setahun lalu, Presiden mengharapkan agar tanah "bera" bisa dimanfaatkan dengan palawija. Petani di Karawang dan sekitarnya cukup mendapat air bendungan Jatiluhur tapi hanya memanfaatkan sawahnya 9 bulan dalam setahun. Mereka turun ke sawah September, dan memetik panen sampai Mei. Kemudian selama 3 bulan sawah dibiarkan telantar -- itulah tanah bera, yang dianjurkan Presiden supaya dimanfaatkan untuk palawija. "Tapi sulit mencari palawija berumur pendek dengan penghasilan baik," kata Omar Osa Hidayat MSc, staf BPTP Sukamandi. Kecuali kacang hijau seperti yang dipanen Presiden di Talagasari itu. Kedelai varietas Slawi yang sudah ada selama ini memang punya umur cuma 80 hari, tapi bijinya kecil, proteinnya rendal, 0,7 ton/ha. Padahal di srazilia, Jepang dan Taiwan, ia bisa 1,5 ton/ha dengan umur 3 bulan. Bibit asing itu tak cocok dengan iklim di sini -- panas matahari hanya 12 jam/hari. Kedelai itu sudah biasa menerima panas matahari 15 jam sehari di negeri asalnya. Tapi sejak dua tahun yang lalu Suka mandi mengawinsilangkan Slawi dengan varietas TK-5 dari Taiwan. Yaitu untuk memanfaatkan umur pendek Slawi dengan produksi dan kadar protein tinggi varietas Taiwan. Setelah beberapa kali diseleksi untuk sifat yang diinginkan di kebun percobaan Sukamandi, akhirnya Januari lalu diperoleh varietas Lokon dan Guntur (diambil dari nama gunung seperti lazimnya untuk varietas kedelai). KEDUANYA memiliki sifat yang lebih-kurang. Hanya Guntur lebih tinggi 1 cm dibanding Lokon yang hanya 74 cm. Lokon mengandung protein 34,3% dan Guntur 30,53%. Kadar lemak Lokon 18,4% dibanding Guntur 15,8%. Itu cukup tinggi dibanding beras yang punya kadar lemak 8%. "Masih diupayakan menurunkan lemaknya," kata Omar. Produksi kedua varietas ini menggembirakan (1,15 ton/ha) dan umurnya singkat, cuma 75 hari (Lokon) dan 77 hari (Guntur). Musim kemarau, varietas ini bisa dipanen setelah 68 hari. Tapi produksinya melorot (1,08 sampai 0,97 ton/ha) "Cuaca kemarau mempercepat terjadinya buah," kata Omar. Tapi tetap varietas ini lebih unggul daripada pendahulunya Slawi yang, punya protein cma 10% dengan produksi 0,7 ton/ha itu. Lokon dan Guntur -- walau belum menyamai prestasi TK-5 yang bisa berproduksi 1,5 ton/ha -- cocok untuk iklim di sini. Dengan umurnya yang singkat (genjah) seperti dikatakan Menteri Pertanian Soedarsono Hadisapoetro, keduanya cocok sebagai tanaman ketiga setelah dua kali orang menanam padi di daerah irigasi. Yaitu mengisi kekosongan Mei sampai Agustus, antara musim gadu dengan rendengan. Departemen Pertanian (Januari lalu) sudah mengeluarkan SK (no. 37 dan 38) yang menyatakan Lokon dan Guntur sudah bisa dimasyarakatkan. Sudah banyak petani mencoba menanamnya di Sukamandi dan sekitarnya. Haji Adang, misalnya, awal Agustus ini memanen Lokon di 2 ha sawahnya yang sebelumnya ditanaminya kacang hijau. "Panennya lebih baik dari kacang hijau," kata petani itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus