Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Peran Gus Dur Bikin Hari Raya Imlek Jadi Libur Nasional

Sejak 9 April 2001, perayaan Imlek menjadi libur nasional dan bebas dirayakan berkat peran Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Berikut yang dilakukannya.

28 Januari 2025 | 08.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. dok. TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tahun ini Hari Raya Imlek jatuh pada Rabu, 29 Januari mendatang. Seperti pada perayaan Tahun Baru Cina sebelum-sebelumnya, pemerintah telah menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional. Kemeriahan penyambutan datangnya tahun Ular Kayu pun telah terlihat di mana-mana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dulu, di era Soeharto, Hari Raya Imlek tidak ditandai dengan warna merah di kalender. Jangankan libur nasional, masyarakat Tionghoa di Indonesia kala itu bahkan dilarang merayakannya di tempat-tempat umum. Kini, sejak 9 April 2001, perayaan Imlek menjadi libur nasional dan bebas dirayakan berkat Abdurahman Wahid alias Gus Dur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semasa pemerintahan Orde Baru, budaya Tionghoa tak dapat tempat, mulai dari penutupan sekolah berbahasa Cina, pelarangan memutar lagu Mandarin, hingga penggunaan huruf Cina. Puncaknya, ketika Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 tentang Larangan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina diterbitkan oleh Pemerintah.

Ketika Reformasi 1998 bergulir, masa-masa suram itu perlahan sirna. Aturan-aturan diskriminatif komunitas Tionghoa pun mulai dicabut. Keterbukaan semakin menguat terutama di bawah kepemimpinan Gus Dur. Masyarakat Tionghoa mulai merasakan inklusifitas yang nyata sebab Presiden ke-4 RI itu secara terbuka membela mereka dengan mengenalkan konsep kebangsaan.

Dinukil dari buku Etnis Tionghoa Nasionalisme Indonesia oleh Leo Suryadinata, menurut Gus Dur, tidak ada istilah keturunan masyarakat asli Indonesia. Pemisahan pribumi dan non pribumi adalah kekeliruan yang membuat masyarakat Tionghoa terkecualikan. Sejatinya, bangsa Indonesia terbentuk atas tiga ras, yakni Melayu, Astro-Nesia, dan Cina. Bahkan, Gus Dur menyatakan dirinya merupakan keturunan percampuran Cina-Arab.

Konsep kebangsaan yang diperkenalkan Gus Dur kemudian dilanjutkan dengan pencabutan Inpres Nomor 14 tahun 1967 tersebut. Setelah itu, ia juga mengeluarkan Ketetapan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000. Keppres inilah yang menjadi pintu umat Konghucu di Indonesia memeroleh kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka, termasuk upacara keagamaan seperti Imlek secara terbuka.

Setelah mencabut Inpres rasis dan mengeluarkan Keppres tentang kebebasan beragama bagi masyarakat Tionghoa, Gus Dur kemudian juga menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, berlaku bagi mereka yang merayakannya, berdasarkan Keputusan Nomor 13 tahun 2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Beleid diteken 9 April tahun itu.

Dikutip dari Nu.or.id, ada pertimbangan khusus yang menjadi alasan Gus Dur menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional. Peneliti Abdurrahman Wahid Centre for Peace and Humanities (AWCPH) Universitas Indonesia, Abdul Aziz Wahid, mengatakan pertimbangan utama Gus Dur dalam membuat keputusan revolusioner itu adalah maqasid syariah (tujuan diterapkannya syariat).

“Gus Dur dari dulu lebih mengedepankan segi kemanusiaannya, bukan hanya semata segi formalistis kaidah-kaidah keagamaan Islamnya saja, kaidah fiqihnya saja. Maqasidus syariahnya dikedepankan,” kata Gus Aziz, sapaan akrabnya Ahad, 3 Februari 2019.

Di samping itu, kata Gus Aziz, Gus Dur juga melihat hubungan historis masyarakat Cina dengan Nusantara dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang panjang. Kontribusi masyarakat Tionghoa di bidang ekonomi, keuangan, dan perdagangan, menurutnya, juga cukup besar. Hal itu menjadi perhitungan bagi Gus Dur dan kemudian Imlek dijadikan hari libur nasional.

Ada cerita panjang di balik keputusan Gus Dur untuk mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967 tersebut. Putri Gus Dur, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid alias Alissa Wahid menceritakan kronologi pencabutan Inpres tersebut oleh Gus Dur, kepada Tempo, Senin, 4 Februari 2019. Alissa Wahid menuturkan, ayahnya telah bergaul dengan teman-teman dari kalangan Konghucu. “Gus Dur sudah lama bergaul dengan teman-teman Konghucu,” katanya.

Menurut Alissa Wahid, pada 1990-an, Gus Dur pernah menjadi saksi ahli untuk pernikahan Budi Wijaya dan Lanny Guito, dua orang Konghucu di Surabaya. Saat itu hanya ada lima agama resmi yang diakui pemerintah Indonesia. Pencatatan nikah oleh pasangan itu ke Kantor Catatan Sipil di Surabaya ditolak. Sebab perkawinan masyarakat Konghucu juga tidak diakui di Indonesia.

 “Karena Konghucu saat itu tidak diakui di Indonesia, perkawinan mereka kemudian juga tidak diakui oleh negara,” ujar Alissa Wahid.

Merasa mendapatkan perlakuan tidak adil, lantas pasangan Budi dan Lanny ini akhirnya mengajukan gugatan secara resmi ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Surabaya. Gugatan tersebut juga dimaksudkan agar di masa depan, anak-anak mereka tidak dianggap sebagai anak di luar pernikahan dan tidak mendapatkan pengakuan dari negara.

Keputusan Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967 dan menetapkan aturan kebebasan beragama bagi komunitas Tionghoa serta menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional membuatnya digelari Bapak Tionghoa. Gelar itu disematkan pada 10 Maret 2004, saat perayaan hari Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie, Semarang, Jawa Tengah.

Khumar Mahendra, S. Dian Andryanto, dan Naomy A. Nugraheni berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus