Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perjalanan Try Sutrisno dari Militer hingga Wapres, Pernah Disebut Ban Serep yang Tak Terpakai

Pertemuannya dengan Soeharto membuat karier Try Sutrisno melambung. Saat HUT TNI ke-79, mantan wapres ini disebut-sebut tak disalami Jokowi.

8 Oktober 2024 | 19.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno. TEMPO/Dasril Roszandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi dituding tidak menyalami Wakil Presiden RI ke-6 Try Sutrisno dalam momen peringatan HUT TNI ke-79 di kawasan Monas, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 5 Oktober 2024. Sikap Jokowi ini kemudian ramai diperbincangkan di media sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pak Try Sutrisno bahkan sudah sempat berdiri lalu duduk lagi karena dilewati oleh Jokowi begitu saja,” tulis akun @ JhonSitorus_18 di X, dalam unggahan itu disertai video tayangan televisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam tayangan itu, kepala negara menyalami mantan Wakil Presiden Budiono, Jusuf Kalla atau JK, dan istri Presiden Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah. Namun Jokowi melewati Try Sutisno begitu saja. Padahal Mantan Panglima ABRI itu berpakaian jas militer lengkap dengan pangkat bintang empat.

Menanggapi kisruh di media sosial, Istana Kepresidenan akhirnya buka suara. Deputi Protokol dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana mengklarifikasi bahwa Presiden Jokowi sebelumnya telah bertemu Try di ruang tunggu dan telah bersalaman. Di sisi lain Jokowi disebut belum sempat menyalami Budiono, JK, dan Sinta.

“Bapak Presiden sangat Menghormati semua elemen masyarakat, apalagi dengan para tokoh pemimpin bangsa,” kata Deputi Protokol dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana melalui pesan singkat dikonfirmasi Tempo pada Senin, 7 Oktober 2024.

Try Sutrisno, pria kelahiran 15 November 1935 di Surabaya, Jawa Timur ini diketahui datang dari keluarga sederhana. Majalah Tempo edisi Sabtu, 13 Maret 1993, melaporkan sejak kecil, Try anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Subandi dan Mardliyah hidup seadanya.

Pertemuannya dengan Soeharto dalam Operasi Pembebasan Irian Barat pada 1962 menjadi awal dari moncernya karier Try. Saat itu, Soeharto ditunjuk oleh Presiden Sukarno menjadi Panglima Komando Mandala yang ditempatkan di Sulawesi. Kala Soeharto jadi presiden, Try kemudian menjadi ajudannya pada 1974.

Perjalanan karier militer Try Sutrisno

Try mengawali karier militernya ketika diterima menjadi taruna Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) dan lulus pada 1959. Try berkesempatan turut dalam perang melawan Pemberontak PRRI pada 1957. Dia juga terlibat dalam Operasi 17 Agustus, Operasi Trikora, Konfrontasi Indonesia–Malaysia, Operasi Seroja, dan Pemberontakan di Aceh.

Perkenalan Try dengan Soeharto yang membuat kariernya melambung itu ditulis ulang oleh Majalah Tempo tiga dekade silam. Meski telah bertemu pada 1962, perkenalan intens keduanya sesungguhnya terjadi pada 1972 atau sepuluh tahun setelahnya. Ketika itu, dalam sebuah seminar tentang “Pewarisan Nilai-Nilai ‘45” di Seskoad, Bandung, Mayor Try Sutrisno tampil memukau.

Membawakan makalah berjudul “Masalah Pewarisan dalam TNI AD dan Integrasi TNI-Rakyat”, anak muda berwajah segar dan berperawakan gagah itu rupanya cukup tangkas. “Try sangat tangkas menjawab berbagai tanggapan dari Jenderal Soemitro, Pangkopkamtib ketika itu,” kata seorang peserta seminar. Penampilan itu pula yang membuat Pak Harto dan mantan wakil presiden Mohammad Hatta yang hadir terkesan.

Sejak itu, perwira lulusan Atekad 1959 ini mulai naik bintangnya. Dari Komandan Batalyon Zipur 10, Letkol Try dinaikkan menjadi kepala biro di Suad Mabes Angkatan Darat. Tahun 1974, Try ditarik ke Istana. Sejak itu ia menjadi ajudan Presiden Soeharto. Adalah Letjen Sayidiman Suryohadiprojo, ketika itu sebagai Deputi KSAD, yang mengajukan nama Try sebagai ajudan presiden.

“Latar belakang intelektualnya cukup, lulus dari Seskoad dengan baik, dan tugas sebagai kepala biro pun baik,” kata Sayidiman, sebagai dikutip Majalah Tempo edisi 20 Februari 1988. “Dia kami ajukan juga karena human relationship-nya baik. Itulah memang kekuatannya.”

Tak cuma Sayidiman yang mengajukan nama Try. Letjen Tjokropranolo, yang ketika itu menjadi Sekretaris Militer, juga termasuk yang menjaring Try. Kenapa? “Ketika itu Pak Harto butuh ajudan yang mendalami masalah pembangunan. Dan perwira pembangunan itu adanya kan di Zeni. Makanya Try kami ambil,” kata Tjokro.

Dan ternyata pilihan Sayidiman dan Tjokro tak meleset. Try menjadi ajudan empat tahun, hingga 1978. Dalam periode itu, Try selain pangkatnya naik jadi kolonel juga merasa dididik dan dimatangkan oleh Pak Harto. Berbagai pengalaman kenegaraan besar dialaminya dari dekat pemegang keputusan, yakni Presiden sendiri.

Try menganggap bahwa jabatan ajudan presiden sebaga“masa belajar tersendiri untuk menambah mantapnya proses pematangannya sebagai perwira ABRI”. Tugas itu dianggapnya berat tapi mulia karena menyangkut keamanan dan ketenteraman pribadi presiden dan keluarganya. Ia kemudian memang amat dekat dengan putra-putri Pak Harto.

Dari Istana, Try dikirim ke Bali menjadi Kasdam Udayana (1978). Dari sana ia naik menjadi Panglima Kodam Sriwijaya di Palembang (1979), Pangdam Jaya (1982), lalu diangkat menjadi wakil KSAD (1985). Setelah menjabat KSAD, Try ditunjuk menjadi Panglima ABRI, hanya beberapa hari menjelang Sidang Umum MPR 1988.

Perjalanan menuju Wapres

Kemudian, pada Februari 1993, bulan yang sama ketika Try berhenti dari posisinya sebagai Pangab dan sebulan sebelum MPR dijadwalkan bertemu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden baru, anggota MPR dari fraksi ABRI mencalonkan Try Sutrisno untuk menjadi Wakil Presiden atau Wapres.

Max Lane dalam “Suharto vs. ABRI at MPR – 1” di jurnal Green Left, menyebut secara teknis, anggota fraksi MPR diizinkan untuk mengajukan calon mereka untuk Wakil Presiden. Tapi aturan tak tertulis dalam rezim Soeharto adalah menunggu Presiden untuk mengajukan calon yang dipilihnya.

Anggota dari Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia dengan cepat menyetujui pencalonan Try sementara Golkar berupaya memberitahu anggotanya bahwa Golkar tidak mencalonkan Try sebagai Wakil Presiden. Soeharto dilaporkan marah karena telah didahului oleh ABRI.

Tetapi karena tidak ingin adanya perselisihan terbuka, Soeharto akhirnya menerima Try, dan Golkar mencoba mengecilkan ketegangan dengan mengatakan telah membiarkan pihak lain dan ABRI mencalonkan kandidat Wakil Presiden mereka.

Meskipun telah menerima Try sebagai wapres namun Soeharto merasa tidak senang pada pendampingnya itu Soeharto menunjukkan sedikit hal dan bahkan tidak berkonsultasi dengannya dalam proses pembentukan kabinet. Majalah Tempo edisi 2 Januari 1998 menyebut Try sebagai “Wapres Hanya Ban Serep Yang Tak Terpakai”.

Saat Soeharto berkunjung ke Mesir pada 1995, Try dalam sebuah pemberitaan di harian nasional menyatakan jika dalam bisnis, anak pejabat jangan pakai nama bapaknya. Pihak penguasa marah dan sejak itu pemberitaan Try Sutrisno di harian mana pun ditiadakan.

Pengabaian lainnya datang pada akhir 1997 ketika Soeharto harus pergi ke Jerman untuk menerima perawatan kesehatan. Alih-alih mendelegasikan Try untuk menjalankan tugas Presiden, Soeharto justru menunjuk Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono. Sebuah KTT APEC juga dihadiri oleh Menteri Luar Negeri, Ali Alatas, alih-alih Try.

Pada 1998, pada Sidang Umum MPR banyak yang menginginkan Try Sutrisno untuk mengemban masa jabatan kedua sebagai Wakil Presiden. Meskipun ada dukungan yang kuat, Try Sutrisno tidak berambisi. Pada akhirnya Soeharto memilih BJ Habibie sebagai pendampingnya.

Pada 2011 silam, atau tiga belas tahun setelah Presiden Soeharto dilengserkan lewat gerakan yang dimotori mahasiswa, Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden sekaligus mantan ajudannya, membeberkan sisi Soeharto sebagai pemimpin yang humanis. Baginya Soeharto adalah pemimpin yang tidak suka melakukan intervensi.

“Pak Harto sangat humanis, bukan pemimpin otoriter,” katanya dalam peluncuran buku yang diadakan di Museum Purna Bhakti, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Rabu 8 Juni 2011.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | AQIDA SWAMURTI | MAJALAH TEMPO

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus