Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Kenapa Plagiarisme Karya Ilmiah Terus Terjadi di Perguruan Tinggi

Plagiarisme terus terjadi di dunia akademik. Kampus ditengarai tidak menangani secara serius kejahatan akademik itu.

9 November 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jiplak-menjiplak karya ilmiah terus terjadi karena kampus tidak pernah memberikan sanksi.

  • Sejumlah kalangan meminta perguruan tinggi di Indonesia membenahi integritas akademiknya.

  • Sanksi plagiarisme sudah diatur tegas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

BAGUS Pragnya Paramarta sempat terkejut ketika berselancar di layanan pencarian karya ilmiah di Google Scholar. Dosen bahasa Inggris Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Jakarta, ini menemukan jurnal yang pernah dia tulis diduga dijiplak pada 27 Oktober 2024 ketika Bagus sedang meneliti idiom melalui perspektif psikolinguistik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat itu Bagus tengah mencari hasil penelitiannya untuk dijadikan referensi. Ia mencari melalui Google Scholar untuk jurnal berjudul "Analisis Korpus terhadap Idiom Bahasa Indonesia yang Berbasis Nama Binatang". 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika mengetik judul tersebut, kata Bagus, yang muncul justru jurnal berbahasa Inggris berjudul "Analysis of Corpus Research Articles on Indonesian Idioms Based on Animal Names". “Saya ketik judul penelitian saya di Google Scholar, tapi yang muncul malah penelitian dengan judul yang sama cuma diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,” kata Bagus saat dihubungi Tempo pada Jumat, 8 November 2024. 

Jurnal tersebut tenggelam dalam pencarian Google Scholar dan baru muncul ketika Bagus memasukkan kata kunci namanya. Selain judul yang sama persis, Bagus membandingkan isi jurnal yang ternyata serupa dengan jurnalnya yang terbit pada Januari 2018 di jurnal nasional Universitas Negeri Semarang, Lingua. 

Ilustrasi akademikus. Shutterstock

Sedangkan jurnal berbahasa Inggris yang diduga dijiplak dari penelitiannya terbit pada 2023 di jurnal Atlantis Press. Jurnal tersebut tidak mencantumkan sitasi atau sumber terhadap jurnal milik Bagus. 

Penyaringan jurnal plagiat memang bisa dilakukan dengan perangkat lunak pendeteksi plagiarisme bernama Turnitin. Namun teknologi tersebut tidak dapat melacak produk plagiat yang dialihbahasakan karena sudah berbeda redaksi.

Bagus tidak menyebutkan nama penulis yang diduga menjiplak atau menyadur karya ilmiah penelitiannya tersebut. Dia hanya mengirim alamat e-mail penulis tersebut. Bagus juga enggan memprotes ke penulis atau penerbit atas dugaan plagiasi jurnal penelitiannya. Namun ia mengatakan orang yang memplagiat jurnalnya tentu akan kesulitan apabila ingin menjadi dosen. Sebab, kata dia, bakal ada audit terhadap penelitian. “Biarkan saja. Saya tidak akan kehabisan ide,” ujarnya. 

Tempo berupaya meminta konfirmasi ke salah satu penulis jurnal yang diduga plagiat tersebut melalui e-mail yang tercantum di jurnalnya. Namun hingga berita ini ditulis belum ada respons dari penulis. 

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Eko Aditiya Meinarno, mengalami hal yang sama. Awalnya Eko hanya iseng menelusuri Google untuk melihat apakah artikelnya banyak dikutip oleh orang lain. Dia terkejut manakala mendapati ada jurnal lain yang judul dan isinya nyaris sama dengan jurnal miliknya. Bahkan, tabel yang ada di jurnal milik Eko juga disalin. “Artikel judulnya mirip dan tertulis dengan merujuk pada nama saya dalam daftar pustakanya. Saya buka, baru saya kaget,” kata Eko kepada Tempo, kemarin. 

Jurnal Eko yang ditulisnya bersama Sri Fatmawati Mashoedi berjudul "Pembuktian Kekuatan Hubungan antara Nilai-nilai Pancasila dengan Kewarganegaraan" diterbitkan oleh jurnal Universitas Negeri Malang pada Juni 2016. Sedangkan jurnal penulis yang diduga menyalin jurnal Eko diterbitkan di Jurnal Kajian Hukum dan Kebijakan Publik pada periode Januari-Juni 2024.

Sama halnya dengan Bagus, Eko malas mengejar ataupun melaporkan kasus plagiat terhadap penelitiannya. Alasannya, ia melihat isu plagiarisme bukanlah isu yang menarik untuk dibahas. Dia yakin plagiasi menjadi hal yang dinormalisasi karena kebutuhan publikasi. “Mengapa? Tuntutan dosen luar biasa. Menerbitkan jurnal, maju seminar, membuat buku, dan lain-lain. Padahal dulu bukan kerjaan utama dosen dan sekarang semua jadi beban,” ujarnya.  

Kasus plagiarisme kembali ramai di publik setelah dugaan plagiat yang dilakukan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, terhadap buku karya sejarawan dan penulis Inggris yang mengkhususkan diri dalam sejarah modern Indonesia, Peter Carey. Tim penulis Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada dituduh memplagiat karya Peter Carey yang berjudul Kuasa Ramalan.

Plagiarisme ini ramai diperbincangkan pada 2 November 2024, setelah Peter mengunggah komentar di status Facebook sejarawan Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman. Dalam status tersebut, Fadly menceritakan pengalamannya ketika menangkap basah plagiator karyanya di sebuah konferensi. 

Pengalaman Fadly menjadi pemantik bagi Peter menceritakan pengalaman pribadinya. “Saya punya pengalaman yang serupa dengan dia. Karya ilmiah dibajak,” ujar Peter saat ditemui Tempo di kedai kopi di kawasan Tangerang Selatan, Banten, Kamis, 7 November 2024. Meski begitu, Peter enggan menyebutkan secara langsung pihak yang diduga memplagiasi karyanya. Ia hanya menyebutkan sebuah kampus mentereng di selatan Jawa Tengah. 

Status di media sosial tersebut membuat warganet menyelidiki dugaan plagiarisme itu. Walhasil, warganet menemukan dua buku yang diduga menjiplak karya Peter, yaitu Madiun: Sejarah Politik dan Transformasi Kepemerintahan Abad XIV hingga Awal Abad XXI dan Raden Rangga Prawiradirja III, Bupati Madiun, 1796-1811.

Kedua buku ini merupakan kerja sama antara UGM dan Pemerintah Kabupaten Madiun yang diterbitkan pada 2017-2018, dengan melibatkan lima dosen sebagai penulis, yaitu Sri Margana, Agus Suwignyo, Baha’ Uddin, Abdul Wahid, serta Uji Nugroho.

Peter mengakui menemukan dugaan plagiat bukunya pada akhir 2019. Ia menemukan ada bab dari bukunya berjudul Kuasa Ramalan yang dikutip secara masif dalam dua buku yang ditulis oleh tim penulis FIB UGM.

Pada Februari 2020, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) selaku penerbit Kuasa Ramalan melakukan mediasi antara Peter dan tim UGM. Namun, kata Peter, mediasi tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Tim UGM berdalih dua buku yang telanjur beredar tersebut merupakan versi dummy. Namun, menurut Peter, hal itu tidak masuk akal.

Dekan FIB UGM Setiadi mengatakan telah membentuk tim untuk mendalami tuduhan yang sudah ramai di media sosial. “Hasilnya akan disampaikan dalam waktu secepatnya,” ujar Setiadi seperti dikutip dari laman UGM pada Senin, 4 November 2024.

Tempo berupaya meminta konfirmasi Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Riset dan Teknologi Abdul Haris ihwal maraknya kasus plagiarisme di kampus. Namun pesan Tempo ke nomor WhatsApp Abdul Haris belum direspons.

Kampus Membenahi Integritas Akademik

Menanggapi maraknya plagiarisme di dunia akademik, Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Hetifah Sjaifudian mengatakan kampus-kampus di Indonesia harus membenahi integritas akademiknya. Legislator Partai Golkar ini mengatakan, selain plagiarisme, ada praktik seperti joki pembuatan penelitian atau papermill. “Sudah waktunya ada reformasi sehubungan dengan isu ini di kampus-kampus,” kata Hetifah dalam pesan kepada Tempo, kemarin. 

Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian. ANTARA/HO-dokumentasi pribadi

Salah satu reformasi kampus untuk mengatasi plagiarisme adalah pendekatan berlapis. Hetifah mengatakan kampus perlu menerapkan dan menegakkan sanksi secara konsisten untuk memberikan efek jera bagi pelaku. Kampus juga bisa memanfaatkan teknologi pendeteksi plagiarisme untuk membantu menyaring karya ilmiah. “Selain memperkuat etika akademik, kampus bisa menerapkan kebijakan publikasi yang lebih berfokus pada kualitas daripada kuantitas,” ujarnya.

Anggota Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik atau KIKA, Idhamsyah Eka Putra, mengatakan kasus plagiarisme di Indonesia punya sejarah panjang. Menurut dia, praktik plagiarisme bak virus yang terus berulang karena kampus ditengarai tidak menangani kejahatan akademik ini secara serius. “Faktor tuntutan publikasi ilmiah yang terlalu tinggi menjadi penyebab. Sementara itu, fasilitas dan kualitas dosen tidak merata,” kata Idhamsyah kepada Tempo, kemarin. 

Percepatan dan pengangkatan guru besar di luar aturan juga menambah sengkarut plagiarisme sehingga makin sulit dientaskan. Idhamsyah mengatakan banyak orang yang diangkat menjadi guru besar karena "dibantu" dan tuntutan publikasi yang tinggi membuat dosen mencari jalan pintas, salah satunya melakukan plagiat. 

Padahal sanksi plagiarisme sudah diatur tegas. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Idhamsyah mengatakan Pasal 25 ayat 2 dan Pasal 70 regulasi tersebut sudah mengatur adanya pencopotan gelar dan ancaman pidana penjara selama 2 tahun bagi pelaku plagiarisme. 

Idhamsyah mengatakan mengatasi plagiat sebetulnya perkara mudah, yakni cukup menjalankan aturan yang ada. Apabila ada tuduhan plagiat, institusi pendidikan harus segera membentuk tim investigasi independen yang bebas konflik kepentingan. “Ini saja diterapkan. Pasti akan sangat mengurangi kasus plagiarisme,” ujarnya. 

Anggota Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik atau KIKA, Idhamsyah Eka Putra. Daspr.org

Idhamsyah juga menyarankan agar kampus yang serius menjaga etika akademis dengan menghukum pelaku plagiat diberikan apresiasi. Ia mencontohkan kasus dugaan plagiat yang dilakukan dosen Universitas Parahyangan (Unpar) pada 2010. Universitas Parahyangan menolak pengunduran diri dosen tersebut dan justru memecatnya dengan tidak hormat. “Pelaku ditindak tegas oleh kampus. Unpar perlu mendapatkan penghargaan mengenai ini,” ujarnya. 

Edi Subkhan juga menyebutkan tuntutan publikasi yang cukup berat memang menjadi penyebab banyak akademikus yang diduga melakukan plagiat. Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini mengatakan dosen dituntut menerbitkan jurnal yang terindeks Scopus dan lainnya dalam jangka waktu satu tahun. “Padahal setahun untuk riset saja, selesainya pada akhir tahun. Belum lagi menulisnya, lalu submit atau mengirim ke jurnal, mengikuti proses review, dan lainnya,” kata Edi kepada Tempo, kemarin. 

Pengajar di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Unnes ini mengungkapkan setidaknya butuh waktu enam bulan sampai satu tahun untuk menerbitkan karya ilmiah di jurnal internasional yang berkualitas. Bahkan, kata dia, ada yang bisa memakan waktu enam tahun. Edi menyatakan jurnal yang diduga plagiat disebabkan oleh kontrol yang kurang ketat. 

Menurut dia, kasus dugaan plagiat buku Peter Carey terjadi karena proses pengawasan yang kurang ketat. Apalagi buku tersebut merupakan pesanan dari proyek penulisan, yang biasanya terdiri atas beberapa penulis yang sulit memantau isinya. “Bisa saja penulis yang ikut proyek penulisan buku tersebut sibuk, kemudian mendelegasikan tugasnya ke pihak lain, entah ke mahasiswa atau lainnya,” tutur Edi. 

Setiap kampus memiliki prosedur operasional standar untuk mencegah plagiarisme. Edi menuturkan biasanya kampus berlangganan perangkat lunak pendeteksi plagiarisme, seperti Turnitin. Mahasiswa yang mengerjakan tugas bisa memeriksa lebih dulu similarity index-nya dengan karya lain. Kampus juga memakai perangkat ini untuk mengaudit penelitian dosen yang akan dipromosikan. 

Similarity index merupakan deteksi kesamaan tulisan yang dinyatakan plagiat oleh tools radar plagiarisme. Namun similarity index tidak selalu bisa menjadi acuan untuk menentukan plagiat atau bukan karya ilmiah tersebut. Edi mengatakan persentase dalam similarity index hanya menunjukkan sejauh mana karya tersebut memiliki kesamaan dengan karya lain. Perangkat pendeteksi plagiarisme meloloskan suatu tulisan jika mendeteksi similarity index di bawah 5 persen.

Namun similarity index tidak bisa menjadi acuan utama meloloskan tulisan ilmiah. Edi mengatakan banyak kasus tulisan yang sebetulnya mengutip sumber aslinya sesuai dengan etik akademis, tapi tidak diloloskan karena similarity index-nya di atas 5 persen.

“Bisa juga sebuah karya ilmiah similarity index-nya 10 persen. Kemiripannya tersebut ditemukan karena penulis melakukan kutipan langsung dengan mencantumkan sumber akademisnya, tapi di Turnitin tetap akan tercatat sebagai kemiripan,” katanya. 

Edi mengatakan solusi jangka pendek yang bisa dipakai untuk mencegah plagiarisme adalah menerapkan penghargaan dan hukuman. Dia menyebutkan, misalnya, menjatuhkan sanksi kepada dosen yang diduga melakukan plagiat dengan tidak boleh naik pangkat selama satu tahun. Adapun, bagi mahasiswa, bisa berupa tidak diluluskan pada mata kuliah tertentu. Sebaliknya, dosen dan mahasiswa berprestasi juga harus diapresiasi. 

Solusi jangka panjang yang bisa diterapkan adalah membangun iklim penulisan ilmiah yang bagus disertai pengurangan beban kerja bagi dosen. Edi mengatakan hal ini perlu dilakukan agar dosen bisa mengerjakan penelitian dengan serius tanpa tergesa-gesa. Sebab, penulis kadang kehilangan konsentrasi apabila dikejar waktu dan beban serta ada risiko lupa menuliskan sumber dalam tulisannya. “Iklim ilmiah yang bagus perlu dibangun dengan berfokus pada pengembangan dan dukungan komunitas ilmiah, pusat kajian, serta publikasi ilmiah yang juga bagus,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Anastasya Lavenia Y dan Shinta Maharani (Yogyakarta) berkontribusi dalam penulisan ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus