Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sivitas akademika Universitas Gadjah Mada atau UGM membuat Petisi Bulaksumur sebagai bentuk peringatan untuk salah satu alumnus yang saat ini menjadi Presiden Indonesia, Jokowi. Para guru besar UGM membuat gagasan ini lahir dengan niat yang baik dari kakak kepada adik. Sebab, para guru besar dan dosen melihat tindakan Jokowi semakin membahayakan demokrasi. Akhirnya, Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM menginisiasi membuat Petisi Bulaksumur yang melakukan diskusi di Balai Senat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah Petisi Bulaksumur dibacakan di Balairung UGM, 31 Januari 2024, kemudian Sekretaris UGM, Andi Sandi mengatakan petisi tersebut bukan berdasarkan kelembagaan UGM sebagai institusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Secara formal itu belum ada dibahas di kelembagaan, tetapi kalau dikatakan apakah ini UGM lepas tangan, tidak, wong ini elemen kami kok,” kata Andi, pada 2 Februari 2024.
Mengenai Petisi Bulaksumur bukan berdasarkan kelembagaan, Profesor Koentjoro Ketua Dewan Guru Besar UGM yang juga membacakan petisi itu menyetujui ucapan Andi Sandi. Menurutnya, UGM sebagai lembaga tidak mungkin mengungkapkan pendapat. Lembaga tidak mungkin bisa bersikap dan mengambil suara. Namun, manusia yang berada di dalam UGM dapat bersikap dan bersuara.
“UGM sebagai lembaga gak mungkin bersikap, manusia yang mengatasnamakan lembaga baru yang bersikap,” kata dia kepada Tempo.co, pada 5 Februari 2024.
Prof Koentjoro menilai bahwa sivitas akademika UGM yang bisa berbicara terkait peringatan untuk Jokowi.
“Saya melihat Mas Andi pikirannya cerdas. Namun, sekarang bagaimana kita memaknai ucapannya,” ujar pengajar di Fakultas Psikologi UGM.
Petisi Bulaksumur ini dibacakan bukan berdasarkan kelembagaan, melainkan atas nama sivitas akademika UGM. “Kita sebagai sivitas akademika UGM bersikap karena merasa malu, merasa tercoreng,” katanya.
Lebih lanjut, Prof Koentjoro mengungkapkan, Petisi Bulaksumur juga tidak memiliki hubungan dengan Rektor UGM. Sebab, petisi ditujukan kepada sesama alumnus UGM, bukan mahasiswa. Alumnus merupakan sosok yang sudah lulus dari UGM sehingga tidak ada hubungan dengan rektor.
“Ini (Petisi Bulaksumur) sudah resmi diselenggarakan oleh PSP. Lalu, diselenggarakan di Balai Senat UGM yang bukan sembarangan orang bisa masuk. Kemudian, deklarasi diselenggarakan di Balairung, jadi resmi ini,” kata dia.
Petisi Bulaksumur lahir karena melihat kondisi demokrasi sekarang yang sangat memprihatinkan dari pemimpin negara. Jokowi bersikap mencla-mencle ketika Pilpres 2024. Seharusnya, Jokowi yang berasal dari Solo memegang teguh budaya Jawa.
"Jokowi seorang kepala negara harus memegang sabdo pandito ratu yang berarti ucapan kepala negara, itu tidak boleh mencal-mencle,” kata Koentjoro.
Kondisi demokrasi semakin memprihatinkan karena Jokowi tidak memahami pentingnya etika. Putusan MK terkait usia Gibran sah secara hukm, tetapi cacat etika. Akibatnya, tindakan ini semakin menunjukkan bahwa Jokowi melakukan pembelaan yang salah. Bahkan, Jokowi sudah melakukan tindakan pembodohan. Keputusan tersebut cenderung dibenarkan sampai akhirnya lahir menjadi kenyataan yang salah.
Adapun, kenyataan salah Jokowi yang merusak marwah demokrasi ditunjukkan dari sikap boleh memihak dan berkampanye. Padahal, Jokowi sosok presiden yang memiliki pengaruh besar. Selain itu, bantuan sosial (bansos) yang tidak dilakukan oleh Menteri Sosial. Tindakan Jokowi ini mengusik rasa keadilan sivitas akademika UGM sehingga melahirkan Petisi Bulaksumur.