Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi Islam non-pemerintah yang telah berdiri sejak 1912. Namun, ada juga sayap organisasi wanita islam yang dinaungi langsung oleh Muhammadiyah bernama Nasyiatul Aisyiyah (NA).
Awal Berdirinya Nasyiatul Aisyiyah
Dikutip dalam laman resmi Nasyiatul Aisyiyah, gagasan mendirikan NA berawal dari ide seorang guru Standart School Muhammadiyah bernama Somodirdjo. Ia terdorong untuk meningkatan mutu ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada para muridnya, baik dalam bidang spiritual, intelektual, maupun jasmaninya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendirian organisasi ini dibantu juga oleh seorang kepala guru di sekolah tersebut bernama Hadjid pada tahun 1919. Pada awalnya perkumpulan ini dinamakan Siswa Praja (SP) yang diisi oleh siswa-siswi sekolah tersebut. Kemudian SP juga menyebar di berbagai pusat Muhammadiyah seperti di Suronatan, Karangkajen, Bausasran, dan Kotagede.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah lima bulan berjalan terdapat pemisahan antaran SP laki-laki dan SP wanita. Pusat dari kegiatan SP Wanita berada di rumah Haji Irsyad yang sekarang menjadi Musholla Aisyiyah Kauman. Beberapa kegiatan yang dilakukan seperti mengaji, berpidato, jam’ah shubuh, membunyikan kentongan, dan mengadakan peringatan hari-hari besar Islam, dan kegiatan keputrian
Alhasil, kegiatan di SP Wanita mulai tersegmentasi untuk anak-anak di atas umur 15 tahun. Ada yang dinamakan Dirasatul Bannat dengan menyelenggarakan pengajian setelah solat maghrib bagi anak kecil. Kemudian Jam'iatul Athfal dilaksanakan seminggu dua kali untuk anak-anak yang berumur 7-10 tahun. Sementara itu juga diselenggarakan tamasya ke luar kota setiap satu bulan sekali.
Semakin maju, SP Wanita menjadi terobosan bagi perkumpulan islam untuk melakukan emansipasi wanita di tengah kultur feodal dan patriarki yang tengah beredar di masyarakat. Dengan contoh saat itu orang tua yang sering melarang anak perempuannya keluar rumah untuk berbagai aktivitas yang emansipatif. Dengan demikian hadirnya SP Wanita dirasakan untuk memberi pengetahuan dan keterampilan tentang perempuan di masa itu.
Perkembangan tersebut membuat SP Wanita mulai diurus oleh Aisyiyah hinnga mampu mendirikan gerakan untuk membina anak laki-laki dan perempuan yang berumur 4-5 tahun bernama Bustanul Athfal. Selain itu, SP Wanita menerbitkan buku nyanyian berbahasa Jawa dengan nama Pujian Siswa Praja.
Tepat pada Kongres Muhammadiyah yang ke-18 di tahun 1929, diputuskan bahwa segala urusan SP Wanita akan digelar pada semua cabang Muhammadiyah dengan nama Aisyiyah Urusan Siswa Praja.
Berlanjut di sidang Muhammadiyah ke-20 yang digelar di Yogyakarta, semua nama gerakan dalam Muhammadiyah harus memakai bahasa Arab. Maka dari itu, nama yang awalnya Siswa Praja Wanita diganti menjadi Nasyi'atul Aisyiyah (NA) yang masih di bawah koordinasi Aisyiyah.
Barulah ketika Kongres Muhammadiyah ke-26 menetapkan bahwa ‘Padi’ menjadikan lambing utama dari organisasi NA. Bersamaan dengan penetapan itu, mereka juga menetapkan nyanyian Simbol Padi sebagai Mars NA.
Selanjutnya: Generasi Muda Aisyiyah....
Generasi Muda Aisyiyah
Berdasarkan Journal of Islamic Studies, SP Wanita mengadopsi nama ‘Nasyiatul Aisyiyah’ yang artinya adalah generasi muda Aisyiyah. Nama tersebut mulai diresmikan pada tanggal 16 Mei 1931. Lalu di tahun 1963 dalam Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta, NA meminta otonomi dan disetujui. Kemudian pada 19-24 Juli 1965 Nasyiatul Aisyiyah menyelenggarakan kongres nasional pertamanya sebagai organisasi otonom.
Masa otonomi ini dilakukan karena keinginan para perempuan untuk mengembangkan minat dan kebutuhannya sendiri. Selain itu, mereka menilai remaja putri di dasawarsa pasca kemerdekaan berbeda dengan dasawarsa akhir kolonial
Selama proses otonomi itu, mereka tetap menjaga hubungan dekat dengan kedua induk, yaitu Muhammadiyah dan Aisyiyah, dengan mendeklarasikan NA sebagai mengurus dan menyempurnakan ikhtiar organisasi mereka,
Dari pengalaman pada 1960-an, memang sangat jelas bahwa kepemimpinannya didominasi oleh kelompok intelektual perempuan yang belajar di universitas negeri. Meskipun ada banyakNasyiah perempuan lulusan sekolah agama atau pesantren, dan mereka yang tinggal di desa, mereka belum begitu berpengaruh.
Setelah otonomi pun banyak anggota membangun kembali citra mereka sebagai kewanitaan muda. Mereka mengubah usia keanggotaan diperpanjang yang awalnya adalah 7–18 tahun menjadi 12–35 tahun. Padahal sebelumnya ‘pemuda’ adalah didefinisikan dalam kaitannya dengan status belum menikah (atau pra-nikah) dan usia dini masa remaja.
Pada 1990-an, NA mengadopsi pemahaman gender dan perspektif dalam melihat berbagai isu perempuan dalam Islam. Hal ini sekaligus membuat adanya sekat terhadap kedua organisasi yang menaunginya. Namun melalui komunikasi yang terus menerus, Nasyiah berhasil memperbaiki hubungan tersebut dan bahkan meningkatkan kedudukan Nasyiah dalam keluarga Muhammadiyah.
Sejak 1995, Muhammadiyah mulai menyikapi isu peremuan ketika Majlis Tarjih berganti nama menjadi Dewan Pendapat Agama dan Pengembangan Pemikiran Islam. Hal ini merupakan kesempatan Nasyiatul Aisyiyah untuk menegosiasikan ruang dan status yang lebih baik untuk anak perempuan di dalam keluarga Islam Indonesia. Sejumlah wanita di Aisyiyah pun turut aktif mengisi posisi tersebut.
FATHUR RACHMAN
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.