Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Rebut hatinya bukan kursinya

Darul arqam menyelenggarakan pameran keislaman di kuala lumpur. jemaahnya menghindar politik praktis, mereka mengutamakan dakwah dan kerja nyata. mereka berkembang dalam 45 perkampungan islam.

26 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMANGAT Islam mencuat ketika di jantung Kuala Lumpur pada 5 s/d 12 Desember lalu ada pameran bertema Islam is the way of life. Acara di gedung Pusat Dagangan Dunia Putra yang berlantai 30-an itu dihadiri sedikitnya 200 ribu umat. Mereka bergilir tumpah ke lantai II bangunan milik UMNO itu. Pelaksana pameranpara jemaah Darul Arqam yang berjubah dan berserban. Juga ada sejumlah wanita ber-abaya, lengkap dengan purdah atau cadar yang cuma menampakkan kedua bola mata. Cukup serius, memang. Sementara itu, ratusan poster, foto-foto, alat peraga hingga ke kaset tape recorder dan video berbicara tentang Islam. Sisi tunggal yang dipilih: bagaimana seorang muslim mengatur hidup dan masyarakatnya sejak bangun tidur hingga memejamkan mata, setelah tengah malam. "Masukilah Islam itu secara totalitas, tak sepenggal," begitu ditulis di sebuah poster. Buah dakwah berupa pameran itu tentu masih sukar diraba. Maklum, dakwah selalu berurusan dengan wilayah rohani manusia. Dan abstrak. Tapi seorang remaja penganut Budha, Tan Ken Hing (21 tahun), serta merta masuk Islam setelah dari pameran itu, 11 Desember. "Islam tak rasialis," katanya. Jemaah Al Arqam tampaknya tak mempersoalkan siapa yang memimpin Tanah Semenanjung. "Asal dia Islam, tak peduli keturunan Melayu, India, atau Cina," kata Seikhul Yayasan Al Arqam, Ustad Haji Ashaari Muhammad, 49 tahun. Jemaahnya memang mengutamakan dakwah dan mengelak politik praktis, seperti yang ditempuh Partai Islam sa-Malaysia (PAS). "Kami mau merebut hati siapa saja bukan kursinya," kata seikhul (ketua) yang berjenggot mirip Arab itu. Sejak 1958, ia pengurus PAS di Selangor. Karena tak yakin Islam bisa berjaya dengan politik, ia mundur. Lalu pada 1968, bersama 12 pengikutnya ia membangun Al Arqam. Dan ketika itu, orang juga menuduh dia ortodoks -- karena bersunyi diri di Datuk Keramat, Kuala Lumpur, yang dikelilingi pohon rambung yang gelap. Kini banyak yang tercengang. Beranggota 5.000 pria berjubah dan 6.000 wanita berpurdah, Al Arqam sekarang punya 45 cabang dengan unit usaha pertanian, pendidikan, balai latihan kerja, dan industri kecil. Bahkan mereka merayap ke media cetak dan elektronik. "Dakwah kami tak cuma dengan khotbah," kata Ustad Ashaari. Berkala Al Arqam yang muncul pada 1983, misalnya, kini beroplah 70.000. Disusul tabloid untuk anak-anak, Al Ain dan Al Qalam pada 1984, dan majalah Al Munir pada 1983. Terakhir majalah bulanan untuk wanita, Al Mukminah, terbit pada 1986. Tak terkecuali dakwah melalui kaset tape dan video mereka produksi sendiri. Semua unit usaha itu menghasilkan dana tak sedikit -- diaudit dan dikelola lembaga keuangan sendiri yang menggunakan komputer. Duitnya disimpan di Bank Islam Malaysia. "Tapi kami tak memungut bunga, karena riba itu haram," ujar Haji Abdul Halim Abbas, 38 tahun, orang kedua di Al Arqam. Sistem pendidikannya memadukan gaya sekular dan pesantren. Kurikulum disusun begitu rupa hingga ilmu berubah menjadi amal. Tak hanya sebatas "kerongkongan" yang membual-bualkan Islam. Peringkatnya berjenjang mulai dari TK hingga perguruan tinggi dengan 4.000 pelajar pada 46 sekolah mereka yang bertebaran di Malaysia. Di pelbagai lembaga pendidikan itu, para penuntut wajib berjemaah. Tak cuma waktu salat. Juga waktu makan. Dengan dipecah dalam kelompok yang terdiri dari 6 orang, mereka makan dari talam yang sama. Di situ ada nasi dan lauk pauknya yang disuapi secara bersama-sama. "Nabi dulu juga makannya begitu dengan jemaahnya," kata Mohamad bin Abubakar. Pengarah Urusan Penerangan AlArqam. Mereka kini berkembang dalam 45 perkampungan Islam. Bermula pada 1972, Al Arqam membeli tanah seluas dua setengah hektar di Sungai Penehala, 12 km dari Kuala Lumpur. Dulu masih perumahan beratap rumbia. Kini telah berdiri masjid, sekolah, dan 120 rumah semipermanen yang dihuni 346 jiwa. Ini belum dihitung pelajar yang diasramakan di situ. Seorang "kepala kampung" diangkat sebagai "khalifah" mengurusi keperluan Jemaah -- ya, mulai dari sembilan bahan pokok hingga konsumsi rohani. Di perkampungan yang tetap tunduk pada aturan pemerintah Malaysia itu, alhamdulillah, syariat Islam berjalan sebagaimana adanya. Strategi Nabi Muhammad saw. inilah yang dijejaki Al Arqam. Ashaari berharap dengan perkampungan itu akan muncul mukimin Islami. Seterusnya jadi daerah Islam dan berakhir dengan negeri Islam. "Jika negeri sudah Islam, ihwal negara Islam tak lagi soal politik," kata Ashaari. Tanpa memimpikan negara Islam, sosok Al Arqam seperti mengisyaratkan "negara dalam negara". Mereka punya struktur organisasi yang modern. Jika seikhul diibaratkan khalifah (presiden), ada juga sejumlah mudir (pengurus) yang memegang syu'bah (jabatan) yang mirip departemen, seperti dalam kabinet. Struktur tingkat pusat ini masih dilengkapi dengan para naqib (ketua) di cawangan (cabang) nan 45 itu. Memang, seribu teras Al Arqam jangan sangka hanya makan dikir saja. Al Arqam menggaji mereka sesuai dengan kebutuhannya -- bukan karena memandang jabatan atau peringkat pendidikannya. "Di sini, bisa gaji seorang pejabat yang sekolahnya rendah lebih tinggi dari seorang sarjana," kata Muhammad Salim, Kepala Perkampungan Al Arqam di Sungai Penehala. Pola penggajian ini, menurut Ashaari, mengkritik sistem kapitalis. "Masa, ada orang bergaji sebesar kebutuhan 10 atau 100 orang," ujar Ashaari menyindir. Menurut dia, cara itu hanya akan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. SEBAGAI contoh, Haji Abdul Halim Abbas meninggalkan duit 1.200 ringgit untuk istri-istri dan anak-anaknya. Itu belum termasuk sembilan bahan pokok yang didistribusi koperasi setiap bulan. Belum lagi biaya perjalanan dan dana lobinya. Dia ini bertugas seperti bosnya "intel" Al Arqam. "Paling tidak dua kali sebulan saya naik pesawat terbang ke luar negeri atau di dalam negeri," kata Halim, yang leluhurnya di Tapanuli dan bermarga Simatupang itu. Dinilai sebagai gebrakan baru, berwajah Islam, agaknya sulit disangkal bila para berjubah dan berpurdah tersebut malah mengundang gunjing. Misalnya tentang para lelakinya yang banyak bini (lihat Hasil Dakwah Poligami). Tuduhan keras juga diarahkan ke Al Arqam karena soal akan datangnya Imam Mahdi. Tak tanggung-tanggung. Jemaah ini, hatinya, percaya Imam Mahdi bahkan muncul di Kampung Teluk Pulai, Kelang, Selangor, orangnya bernama Asy Syeikh As Saiyid Muhammad bin Abdullah As Suhaimi. Tokoh yang pernah sebagai "Kiai Agung" di Malaysia dan Singapura itu disangka raib -- seperti kisah Quran tentang Nabi Isa -- di Teluk Pulai pada 21 Rajab 1343 Hijri, atau 1925 Masehi. Konon, sebelum ia meninggal, As Suhaimi sempat berpetuah: ia "pergi" lama tapi nanti kembali lagi sebagai Imam Mahdi. Dan kabar ini sempat muncul dalam New Sunday Times, 13 Juli 1986, yang memuat pengakuan Ustad Muhammad Thoha, putra kedua Suhaimi. Lalu itu dipercayai pula oleh jemaah Al Arqam, karena As Suhaimi mempunyai nama, sifat, dan ciri-ciri seperti yang katanya disebut dalam hadis-hadis Nabi tentang akan datangnya Imam Mahdi -- seperti diriwayatkan Abu Daud dan Turmudzi. As Suhaimi sesungguhnya lahir di Wonosobo, Ja-Teng, pada 1295 H. Ayahnya Muhammad, pedagang kaya, dan ibunya bernama Aminah. Dari silsilahnya, konon ia masih turunan ke-33 dari Muhammad saw. Setelah kawin dengan Nyaii Qani'ah di Kampung Kali Beber, Garung, Wonosobo, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Sulu Tiang di Luwanuh dan Pondok Termas di Pacitan. Setelah itu, baru ia berhaji dan melanjutkan studinya di Mekah. Selama di Tanah Suci, ia belajar agama, antara lain, pada Mufti Mekah, Maulana Saiyid Ahmed Dahlan. Lalu ia melanjutkan ke Mesir, Baghdad. Di Baitul Maqdis ia menziarahi makam para nabi, seperti Ibrahim, Yakub, Musa, Yusuf, Luth, dan Saleh. Terakhir ia beroleh ilmu kasyaf di Mesir. Yaitu ilmu yang bisa melihat hal gaib, semisal apa yang terjadi pada masa datang. Setelah 12 tahun di Arab, ia menetap di Singapura dan jadi imam di Masjid Ma'ruf. Bolak-balik Singapura-Selangor, muridnya bertebaran di mana-mana. Amalan terkenal yang diajarnya Awrad Muhammadiyyah. Amalan ini tak lebih dari sebuah tarekat untuk senantiasa mengingat Allah. Tak heran bacaannya adalah istighfar 50 kali usai salat wajib. Kemudian diikuti Al Ikhlas dan selawat Nabi 50 kali. Awrad tersebut tak sembarang. Sewaktu Suhaimi di Mekah, ia beroleh ilham untuk masuk ke Ka'bah. Dan ketika di dalam, katanya, ia bersua dengan Rasulullah, dalam keadaan terjaga. Bukan mimpi. Saat itulah ajaran wirid itu langsung dinuzulkan Nabi kepada Suhaimi. Ashaari menerima ajaran itu dari pamannya, Lebai Ibrahim, yang hidup sezaman dengan Suhaimi. Dan sekarang wirid itu jadi wajib di jemaah Al Arqam. Khasiatnya: menenteramkan jiwa, diampunkan Tuhan segala dosa, menjauhkan pengaruh guna-guna, bisa menahan lapar, melemahkan semangat musuh yang mencoba menganiaya, dan beroleh pertolongan dari Rasulullah kelak di Padang Mahsyar. Ashaari membantah jemaahnya meyakini Imam Mahdi itu Suhaimi. "Itu pendirian pribadi saya, dan tak memaksa jemaah mempercayai Imam Mahdi itu," katanya dalam buku Awrad Muhammadiyyah Pegangan Darul Arqam yang dikarangnya, lalu diterbitkan oleh Penerangan Al Arqam, Agustus 1986. Imam Muslim meriwayatkan Nabi ada bersabda bahwa di tengah umatnya kelak muncul khalifah yang membagikan hartanya tanpa perkiraan. Tapi Ibn Khaldun, misalnya, mendebatnya dengan dalih: hadis itu cuma menyebut khalifah dan bukan Imam Mahdi. Perawinya disebutnya seorang pemalsu hadis. Agaknya, perbedaan pendapat pada abad ke-9 Hijri itu berekor hingga sekarang. Lain Ibn Hajar. Dalam kitab At Taj al- Jami' li al-Usul fi al-Ahadist ar Rasul (Mahkota Utama dari Hadis-Hadis Rasul) ia sebut orang yang tak percaya Imam Mahdi itu sebagai kufur. Ia mengutip hadis riwayat Abubakar al-Askaf, ". .. dan siapa yang mendustakan kemunculan Imam Mahdi, sesungguhnya ia telah kufur". "Tapi ini soal khilafiah," kata Ashaari. Atau aqidah?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus