Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengenang Sumpah Pemuda? Bukan. Massa, jika tak ada aral, dianjurkan untuk mengenakan pakaian adat. Mereka hanyut dalam aksi Nyepi dengan tema "diam untuk ibadah". Diselipkan pula harapan buat Saefuddin "agar diberi kejernihan pikiran". Boleh jadi, aksi ini merupakan titik teratas aksi unjuk rasa yang dilangsungkan pekan-pekan ini. Sejumlah eksponen rakyat setempat tampil dengan luapan "kemarahan" yang beragam.
Ada Aksi Umat Menggugat, disingkat AUM, dan Pos Perjuangan Rakyat (Pospera), yang berintikan para tokoh mahasiswa di Universitas Udayana. Sedikitnya tujuh kelompok agama Hindu ikut pula meramaikan demo, plus sejumlah organisasi yang menghimpun kaum intelektual. Mereka mendatangi kantor pemerintahan, DPRD, dan Kejaksaan Tinggi Bali. Kebetulan Jaksa Agung M. Ghalib tengah berdinas di Bali. Kontan Ghalib dititipi sederet tuntutan: agar Saefuddin meminta maaf secara terbuka kepada umat Hindu, diadili, bahkan dipecat dari jabatan menterinya.
Jika tuntutan itu tak dipenuhi, ancamannya gawat. "Kami akan menduduki Bandara Ngurah Rai, Pelabuhan Gilimanuk dan Padangbai. Kita semua akan mogok," ujar koordinator AUM, I Nyoman Japa. Ia lalu memekikkan "Satyam Eva Jayate", kebenaran sejati pasti menang, yang disambut koor ribuan massa: "Jaya...." Orasi digelar. Dua grup baleganjur menyemarakkan suasana dengan tetabuhannya yang khas. Sepanjang unjuk rasa, kelompok Ashram Krsna Balaram terus melakukan kirtan, nyanyian suci mengagungkan Tuhan.
Apa yang salah dengan Ahmad Muflih Saefuddin? Menteri Negara Pangan dan Hortikultura ini "digugat" masyarakat Bali sehubungan dengan ucapannya di Bina Graha, Jakarta, 14 Oktober lalu. Saat itu, menjelang berlangsung sidang kabinet terbatas bidang ekonomi, keuangan, dan industri, ia dikerumuni sejumlah wartawan. Omongan lalu nyerempet soal politik. Menteri betubuh kerempeng ini menyatakan siap menjadi presiden--jabatan yang katanya bukan sesuatu yang angker. "Saya serius siap mencalonkan diri," kata kandidat ketua umum PPP ini, mantap. Lalu, disusul dialog dengan pers, lebih kurang, berikut:
Apakah Pak AM--begitu ia disapa--siap bersaing dengan Mega?
"Megawati tidak berat. Saya mampu mengalahkannya. Dia kan agamanya Hindu. Saya Islam. Relakah rakyat Indonesia presidennya beragama Hindu?"
Bukankah Megawati Islam?
"Saya lihat (Mega) sembahyang di pura. Di koran-koran, masa Anda tidak tahu, saya lihat sembahyang di pura."
Tapi, bukankah Mega menikahkan anaknya secara Islam?
"Mungkin dia agamanya dua..."
Kontan pernyataan "berani" Pak AM menjadi kepala berita di sejumlah media. Dari sini lalu berbuntut panjang, berduri tajam. Bukan dari Megawati, yang anehnya memilih "diam", meski ia jelas-jelas ditohok seteru politiknya ini. Tapi yang meradang justru masyarakat Bali. Menteri Saefuddin dinilai telah melecehkan agama Hindu. Aksi demo lalu merebak di seantero Pulau Dewata. "Kami akan memprosesnya secara hukum," kata Ghalib, berjanji. Gubernur Bali Dewa Made Beratha juga kecipratan demo belasan kali hanya dalam tempo sepekan.
Tuntutan massa berkumandang sampai ke Surabaya, Malang, Mataram, dan Jakarta. Sejumlah aktivis dari Bali mendatangi Gedung DPR, Senayan, ada pula yang datang ke kantor Sekretariat Negara. Gubernur Beratha telah menyampaikan aspirasi rakyatnya itu saat diterima Presiden Habibie, bersama aparat pemda, dan tokoh agama, di Istana Merdeka, 21 Oktober lalu. Dari sini terpetik kabar, Saefuddin telah memenuhi salah-satu tuntutan: minta maaf. "Akan tetapi mereka menuntut lebih jauh," ujar Gubernur. KNPI setempat, entah apa alasannya, malah mengobarkan lahirnya "Bali Merdeka".
Demo panjang di Bali, baranya terasa panas di Jakarta. Saefuddin, 58 tahun, akhirnya mengendurkan sikapnya. Ia mengaku sama sekali tak bermaksud meremehkan siapa pun, agama apa pun, suku apa pun. "Jadi, kalau ada yang menginterpretasikan saya melecehkan agama tertentu, itu tidak benar.… Itu bukan tipe A.M. Saefuddin. Karena itu saya minta maaf," katanya kepada pers, seusai diterima Presiden Habibie di Istana Merdeka, Selasa pekan lalu. Sikap legawa ini sesuai dengan anjuran Habibie. "Silakan Saudara meminta maaf, tidak ada masalah," kata AM, menirukan Habibie.
Memang, selama dua kali bertemu--untuk urusan pangan dan protes Bali ini--tak ada "teguran" dari Presiden. Memecat? Apalagi. Siapa pun tahu bahwa soal genting ini menjadi hak prerogatif Presiden. Tapi, "Saya kira tidak semudah itu mengganti menteri hanya berdasarkan ucapan dan tindakannya," ujar Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung kepada Andari K. Anom dari TEMPO. "Selama beliau masih membutuhkan Pak AM, saya rasa tetap dipertahankan," Akbar menyambung ucapannya. "Merupakan preseden buruk jika jabatan menteri diputuskan atas dasar tekanan masyarakat dengan menduduki bandara dan lainnya," kata Menteri Koperasi Adi Sasono.
Walhasil, menilik sikap para petinggi itu, agaknya Pak AM masih aman dari kursinya. Tetap dipertahankan. Bukan tanpa alasan, memang, jika Habibie "membutuhkan" Saefuddin. Pak AM seorang doktor ekonomi pangan. Ia terasa klop dalam jabatannya sekarang. AM juga mewakili "oposisi" pemerintah di PPP--orang partai yang sejak era Soeharto baru kali ini ditempatkan dalam kabinet. Apalagi negara dalam situasi krisis.
Keberaniannya "mengingatkan" umat terhadap sikap Mega itu--dengan menunjukkan foto dan berita di sejumlah media cetak saat putri Bung Karno berdoa di sebuah pura di Bali--tentu saja memberi nilai plus. Bukankah belakangan ini angin politik tengah berpihak ke Mega setelah namanya berkibar dalam kongres di Denpasar belum lama ini? Dengan kata lain, "koalisi" Habibie-Saefuddin memang tepat untuk menghadang laju Mega, yang sempat digosipkan bakal berangkulan dengan Gus Dur dan kelompok Islam "tradisional" di Partai Kebangkitan Bangsa.
Apalagi, sudah jamak orang tahu jika Saefuddin punya kedekatan dengan Habibie. Mereka berkenalan di Jerman sejak 1970. Habibie lulusan Aachen, adapun Saefuddin alumni Universitas Justus-Lieberg, Giessen--yang mengaku "semua mimpinya berbahasa Jerman". Di ICMI, tak kurang dekatnya. Ketika Habibie menjadi ketua umum, Saefuddin duduk di dewan pakar. Saat bertemu dengan Habibie di mana pun, begitu urusan dinas selesai, AM mengaku "masih sempat bicara pribadi." Sampai ke anjuran puasa Senin-Kamis pada rakyat, demi menghemat pangan, keduanya sejalan. Apa lagi, coba?
Maka, ketika Saefuddin mengumandangkan niatnya bertarung di kancah suksesi, orang melihatnya sebagai kuda hitam yang siap menghadang Mega dan Amien Rais. "Pernyataan itu disengaja untuk menguntungkan dirinya," kata sumber TEMPO di Golkar yang rajin menyimak ucapan AM. Bagi intern partai—PPP--upanya ini untuk menggalang solidaritas dukungan. Tentu saja bagi "umat muslim" yang belakangan dicoba dipecah konsentrasinya dengan merebaknya belasan partai Islam dengan "akar dukungan yang lebih nyata". Ini jelas bakal merepotkan peluang PPP, yang praktis bakal kehilangan sejumlah besar massa tradisionalnya.
Bisa juga sikap AM untuk menggembosi Mega, pesaing berat PPP dalam pemilu, bahkan pencalonan presiden mendatang. "Massa Mega, terutama yang beragama Islam, akan dibuat ragu dan menarik dukungannya," kata sumber ini. Dalam menghadapi Mega inilah, bisa jadi, PPP dan Golkar bertemu di satu titik. Tentu saja karena Beringin emoh melihat PDI Mega membesar. Sebab itu, pemerintah mendukung habis-habisan muktamar partai Bintang yang akan berlangsung di Jakarta, akhir November mendatang. "Presiden mengizinkan Jakarta dibuat hijau," kata sumber yang dekat dengan militer. Apalagi selama ini Ibu Kota memang basis PPP.
Namun, bagi Pak AM, sukses-tidaknya meraih kursi di pucuk pemerintahan tak penting betul. Kalaupun jadi, itu memang suratan takdir--seperti halnya berbagai posisi penting yang didudukinya, yang ia bilang atas "dorongan dan permintaan umat". Jadilah AM seorang tokoh yang meroket, yang nothing to lose. Walau begitu, kursi ketua partai bisa saja diraihnya. Apalagi, pesaing terberatnya, Buya Ismail Hasan Metareum, kabarnya tak bersedia dicalonkan lagi.
Wahyu Muryadi, Arif Kuswardono, dan Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo