Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rupanya, tiga bulan bukanlah waktu yang cukup bagi tim yang dibentuk untuk mengungkap kasus kerusuhan yang sarat dengan muatan politik itu. Padahal sudah ratusan saksi mata dan korban kerusuhan di enam kota (Medan, Palembang, Lampung, Jakarta, Solo, dan Surabaya) mereka wawancarai. Di antaranya, mantan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto, bekas Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, dan mantan ketua DKP (Dewan Kehormatan Perwira), Jenderal Subagyo H.S. Puluhan tempat pun didatangi. Sebuah laporan tebal yang lebih dari seribu halaman sudah dibuat.
Namun, memadukan isi kepala dari anggota tim yang datang dari berbagai lembaga ini (7 dari pemerintah dan 11 dari LSM) bukanlah hal mudah, terutama dalam membuat analisis, kesimpulan, dan rekomendasi. Dan inilah yang menyebabkan TGPF mengalami deadlock. Draft mentah sudah selesai, tapi hanya setengah laporan yang sudah dibahas. "Kami harus mempertimbangkan agar masalah yang banyak aspeknya ini tidak berat sebelah,?? kata Marzuki Darusman, Ketua TGPF.
Berat sebelah? Hal itulah agaknya yang ingin dihindarkan oleh para anggota tim. Salah satu masalah yang jadi perdebatan adalah soal keterlibatan ABRI dalam kerusuhan tersebut. Pertentangan mengenai hal ini sudah mencuat ketika pernyataan Bambang Widjojanto, salah seorang anggota tim, dimuat di media massa, Kamis pekan lalu. Menurut dia, TGPF sulit mengidentifikasi dalang kerusuhan, tapi secara institusi temuan mengarah ke sana.
Walau tak menyebut jelas siapa institusi yang dimaksud, pernyataan ini agaknya memancing emosi anggota tim lainnya yang lima di antaranya adalah dari kalangan baju hijau. Dan rapat berkepanjangan di hotel berbintang lima itu tidak bisa menyelesaikan pertentangan ini. ??Soal konspirasi ABRI itu serius,?? ujar Asmara Nababan, salah seorang anggota. Kalangan prodemokrasi memang menganggap kerusuhan 13-15 Mei tak bisa dilepaskan dari kasus penculikan para aktivis, yang diduga dilakukan oleh pasukan baret merah.
Masalah lain yang belum didapat jalan tengahnya adalah tentang pencatuman kalimat "adanya orang miskin yang terbakar" dalam kerusuhan tersebut. Sebagian anggota tim, terutama yang dari pemerintah, menganggap kalimat tersebut menimbulkan penafsiran adanya pertentangan kelas.
Soal jumlah korban pemerkosaan, di luar dugaan, ternyata bukan penyebab terjadinya deadlock karena Minggu malam itu tim akhirnya menyepakati satu angka pemerkosaan. Sayang, Marzuki, yang punya otoritas mengumumkannya, tak bersedia memberikannya. Walau begitu, wakil ketua Komnas HAM ini mengaku tidak mudah mendapat kesepakatan soal angka tersebut. "Prosesnya, angka itu naik-turun. Bukan semata-mata untuk berbeda dengan Tim Relawan, tapi kita hitung, termasuk yang meninggal,?? ujarnya.
Angka pemerkosaan ini memang isu sensitif karena terjadi perbedaan pendapat antara Tim Relawan, yang dikomandani oleh Romo Sandyawan Sumardi, dan pihak kepolisian. Tim Relawan bersikeras ada 168 kasus, sedangkan polisi mengaku hingga kini tak menemukan seorang korban pun. Maka angka pun berloncatan antara 168 dan nol. Pihak di luar Tim Relawan berkeras pada angka 16 kasus, sesuai dengan apa yang sudah diverifikasi. Tampaknya, TGPF akhirnya memakai angka belasan. Dan ini tentu mengecewakan Tim Relawan. ??Pusing, saya nggak habis pikir, kok pemerkosaan jadi begini,?? ujar Romo Sandyawan, yang juga menjadi anggota TGPF.
Bagaimanapun, soal ini sudah diputuskan. Untuk dua masalah yang masih mengganjal, tim akan berapat kembali pada akhir depan. Kalau tak selesai juga? ??Habis, mau bagaimana lagi? Biarlah masyarakat yang menilai,?? ujar Asmara Nababan.
Diah Purnomowati, Hani Pudjiarti, dan Nurur Rokhmah Bintari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo