Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sudah 10 dari 33 "ninja" dibantai massa, tapi aparat keamanan belum juga mengungkap tuntas kasus dukun santet vs "ninja" itu. Sampai kapan?

26 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH "dukun santet" dibantai, sekarang giliran "ninja" disate. Gelombang pembunuhan yang mulai dari Banyuwangi terus menjalar cepat, dengan korban orang-orang yang tak bersalah, tanpa aparat keamanan bisa berbuat banyak. Mereka yang dikira "dukun santet" ternyata petani atau warga biasa, dan yang disangka "ninja" ternyata orang gila. Kegilaan melanda, kebuasan memuncak, dengan cara-cara yang sama brutalnya.

Ketakutan menyebar luas, tensi meningkat, seperti yang terjadi di Malang. Para pemuda berjaga dengan senjata terhunus, mereka memblokir jalan-jalan. Setiap orang tak dikenal langsung dicurigai, diinterogasi, dan digeledah. Tak perlu banyak bukti, jika dianggap ada orang mencurigakan, pembantaian spontan dilakukan. Itu nasib buruk yang menimpa Zainal Arifin. (lihat boks: Arifin Memang Gila)

Arifin, yang ternyata benar-benar gila, ditangkap penduduk di Desa Sumberjo, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Senin pekan lalu. Pada hari terakhirnya di dunia itu, pemuda sakit jiwa dari penduduk desa sebelah itu ditemukan tengah plonga-plongo di sebuah pojok desa. Penduduk yang "siaga satu" kontan menggelandangnya ke balai desa. Massa membludak, meluber sampai ke jalan. Sebagian besar dengan senjata terhunus di tangan.

"Keluarkan ninja itu! Keluarkan! Kalau tidak, balai desanya sekalian kita bakar," teriak orang ramai. Tanpa ampun lagi, Arifin, yang masih juga terbengong-bengong, diseret keluar, diempaskan ke jalan beraspal. Lalu, entah siapa yang memulai, massa langsung membacoki dan mencabik-cabik tubuh ceking itu. Arifin mati seketika. Bahkan, cerita seorang warga yang menyaksikan kejadian itu kepada TEMPO, seseorang memenggal leher Arifin. Batok kepala itu lalu diangkatnya. Dan, astagfirullah, darah segar yang menyembur itu pun diminum dengan buasnya.

Tak puas juga, kepala itu kemudian disate dengan sebilah pedang. Lalu diarak keliling kota. Seorang pemuda berdiri di jok belakang sepeda motor sambil berteriak-teriak sangar. Tangan kanannya mengacung-acungkan pedang yang memajang kepala berdarah-darah itu. Aksi brutal itu lalu dihentikan polisi, 21 tersangka pelaku ditangkap. Kegilaan macam apa ini? Eko Apriyanto, si pengarak kepala Arifin, tinggal menyesali kelakuannya, "Saya menyesal, ternyata dia orang gila."

Namun, sesal kemudian apa gunanya. Banyak nyawa keburu melayang. Menurut data kepolisian Malang, jumlah korban mencapai 33 orang. Sepuluh di antaranya tewas dibantai. Berdasarkan pemeriksaan tim dokter Rumah Sakit Jiwa Lawang, dari 23 korban yang diamankan petugas, 15 orang di antaranya dipastikan terganggu kesehatan jiwanya. TEMPO sendiri menyaksikan bahwa para tersangka "ninja" itu memang tak waras. Kalau ditanya, mereka tidak menjawab. Paling cuma cengar-cengir. Di dalam sel, mereka saling "ngobrol" ngalor-ngidul tak keruan. Kesan gila juga ditangkap Hari Sabarno, Ketua Tim Pencari Fakta DPR, sehabis melongok para "ninja" itu Sabtu lalu.

Perburuan "ninja" meluas sampai Pasuruan. Sabtu malam lalu, massa mengamuk merusak toko dan perkantoran, setelah gagal menjagal tersangka "ninja" yang keburu diamankan polisi. Kebrutalan serupa juga terjadi di Demak dan Semarang, Jawa Tengah, yang sedikitnya membawa empat korban tewas.

Yang membuat orang curiga, kenapa mendadak ada begitu banyak orang gila berkeliaran. Lagipula, menurut Dokter Pandu Setiawan dari Rumah Sakit Jiwa Malang, orang-orang gila itu datang dari banyak kota, misalnya Jakarta, Bogor, Yogyakarta, dan Lombok. Namun pihaknya belum tahu persis kenapa mereka bisa sampai di Malang. Komandan Korem Malang, Kolonel Agus Suyitno, mendapat laporan bahwa kaum tak waras ini sengaja digelontorkan pihak tertentu dari luar kota dengan menggunakan kendaraan boks. Tapi cuma sebatas itu info yang bisa didapat. Tak ada jawab memuaskan lebih rinci soal orang gila yang membludak itu, juga pengirimnya.

Karena serba tak jelas, tanggapan tentang pelaku maupun motif kejadian ini juga macam-macam. Soal motif, misalnya. Said Agil dari NU menegaskan kepada wartawan TEMPO, Agus Riyanto, bahwa PBNU telah sampai pada kesimpulan: ada motif politis di belakangnya. "Mana mungkin pembunuhan yang profesional, rapi, dan cepat seperti itu kriminal murni," katanya lagi, gregetan. K.H. Yusuf Muhammad, pengurus PBNU asal Jember, juga mencurigai adanya keterkaitan antara pembunuhan "ninja" dan "dukun santet". "Bisa-bisa itu dilakukan satu kelompok yang sama," ujarnya. Temuan tim pencari fakta Partai Keadilan juga menyimpulkan adanya suatu kelompok terorganisasi di balik peristiwa itu. Buktinya, penyerangan atau teror selalu didahului pemadaman listrik. Semua tempat sasaran selalu dibubuhi tanda panah berwarna merah dan kuning serta tulisan seperti "lurus" atau "jalan terus". Sementara itu, di lokasi yang tidak diberi tanda, tidak pernah ditemukan penyerangan. Soal tanda-tanda ini juga masih harus dipertajam dan digali lagi, apa maksudnya, siapa yang memasangnya?jika benar-benar ada.

Dan versi resmi pemerintah soal motif dan pelaku pasti berbalikan dengan yang partikelir tadi. Kapolda Jawa Timur Mayjen M. Dayat dan Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Djoko Subroto percaya bahwa pembantaian ini cuma bermotif kriminal murni. Pihak aparat menolak ada keterkaitan antara kedua kasus pembunuhan itu. Buat mereka, soal ninja cuma isu kosong. "Tidak ada itu ninja, yang ada tinja," kata Jenderal Dayat, lalu tertawa. Padahal, menurut Said Agil, bukti keberadaan ninja itu jelas. Ia pernah mendapat laporan dari seorang kiai yang pernah beradu silat dengan para ninja, meski tak dijelaskan kiai mana itu.

Namun, benarkah ada oknum Kopassus yang terlibat, seperti disinyalir banyak pihak? Tim pencari fakta NU belum bisa memastikannya. Sedangkan Kapolda Jawa Timur maupun Pangdam Brawijaya menyangkal dugaan ini.

Kapolda Mayjen Dayat juga membantah temuan tim pencari fakta NU itu, seperti diungkap anggota NU, Choirul Anam. Temuan NU mengungkap keterlibatan seorang tokoh preman bernama Agus Indrawan dengan anak buahnya di Polres Malang (lihat TEMPO edisi lalu). "Aduh, aduh. Mboten wonten meniko (tidak ada itu), Mas," ujarnya masih sambil bercanda.

Agus, yang ditelepon TEMPO, mentah-mentah membantah terlibat pembunuhan dukun santet. Ia memang mengaku memiliki hubungan dekat dengan beberapa anggota Polres Malang, tapi cuma sebatas urusan bisnis jual-beli mobilnya. Namun ia mengungkap secuil fakta. Sebulan lalu, katanya, ia memang pernah menyelamatkan seorang yang dituduh dukun santet. Namanya Madi, yang sedang dikeroyok massa di Desa Jambesari, Kecamatan Giri, Malang. "Saya membawanya masuk ke dalam mobil saya," tuturnya. Madi kemudian dititipkan ke balai desa, sebelum tewas seminggu kemudian. Agus mengaku tak tahu-menahu tentang tewasnya Madi.

Lalu apa yang sedang terjadi di Jawa Timur? Paranoia massal, kata Direktur RSJ Lawang, dr. Pandu Setiawan. "Orang waras tentu tak akan tega membunuh sesadistis itu," kata Pandu. Khatib Aam Syuriah Pengurus Besar NU, Kiai Haji Said Agil Siradj, melihat keberingasan massa itu sebagai pertanda berjangkitnya histeria massa akibat kelambanan aparat dalam menuntaskannya. Untuk itu, Pengurus Wilayah NU Jawa Timur telah menyerukan fatwa, "Hukumnya haram menghilangkan nyawa atau mencelakakan seseorang hanya karena fitnah."

Fatwa NU itu sejauh ini belum mampu mencegah pembunuhan. Di tempat lain, teori konspirasi makin subur berseliweran. Dari yang "enteng" sampai yang paling "gila". Itu sebabnya Kiai Yusuf Hasyim dari NU punya guyonan: sekarang ini yang waras terpecah belah, yang gila malah bersatu padu. Tidak salah juga, bukan?

Karaniya Dharmasaputra, Jalil Hakim (Surabaya), Zed Abidien (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus