BURUH PT Maspion kini punya aktivitas baru. Mereka harus menjawab pertanyaan aparat keamanan Polres Sidoarjo, sehubungan dengan ambrolnya bangunan beton di Desa Sawo Tratap, Waru. Senin tiga minggu lalu. Musibah terjadi ketika buruh Unit Enamel, yang mengurusi pengecatan dan gudang pada pabrik peralatan rumah tangga itu, bersiap-siap pulang. Waktu itu, tiba-tiba saja terdengar suara berderak dari tingkat dua bangunan beton tersebut, dan lantai langsung ambrol. Walau sekitar 200 buruh pabrik itu sudah berupaya menyelamatkan diri begitu mendengar suara berderak, runtuhnya lantai minta nyawa juga. Tiga buruh meninggal. Dua orang, Sugeng dan Nalim, ditemukan meninggal di antara reruntuhan tembok dan bahan cat. Seorang lagi, Purwanto, sempat dirawat di RS dr. Soetomo. Korban lain, delapan orang menderita luka berat dan ringan. Hasil penelitian aparat keamanan menunjukkan bahwa runtuhnya lantai dua gedung itu karena kelebihan beban. Lantai berdaya tahan 50 ton barang itu dipadati sampai 158 ton bahan cat kering, yang dipindahkan karena banjir. Tak semua orang ternyata bisa menerima alasan tersebut. Massa yang berkerumun di sekitar tempat kejadian sore itu melempari gedung Maspion dengan batu, sehingga dinding kaca banyak yang pecah. Esoknya, 800 buruh yang selamat minta penjelasan mengenai kematian tiga teman mereka, dan sekaligus menuntut kenaikan gaji serta kenaikan uang makan yang selama ini hanya Rp 45 per hari. Sambil berjanji akan memberi penjelasan kematian ketiga karyawan itu, Direksi Maspion menampik tuntutan terakhir. Alasannya, uang makan sudah termasuk dalam upah minimum. Gaji terendah di Maspion disebutkan Rp 1.410 -- Rp 4 lebih tinggi dari standar yang ditetapkan untuk wilayah Jawa Timur. Selain itu, kata direksi, setiap Jumat buruh dapat istirahat 1 jam, dan mereka yang bekerja enam hari berturut-turut memperoleh libur 1 hari. Namun, menurut sebuah sumber dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), peraturan itu baru dijalankan setelah musibah. Sebelumnya buruh hanya menerima Rp 1.256 dan tanpa istirahat. Sumber TEMPO di kepolisian menambahkan bahwa Maspion mempekerjakan buruh sampai sembilan jam sehari. Maspion Group, menurut Ketua DPD SPSI Jawa Timur, Jaumid Sugianto, kepada harian Merdeka tidak pernah melaporkan kecelakaan kerja yang terjadi. Maka, SPSI merencanakan menggugat Maspion Group secara pidana maupun perdata ke pengadilan. Presiden Direktur PT Maspion, Alim Markus, di depan wartawan mengakui musibah itu terjadi karena kelalaian perusahaannya. Semua itu, ujarnya, berkaitan dengan beban perusahaan yang berat, terutama untuk pengeluaran yang tak ada kaitan dengan produksi, seperti pemberian sumbangan dan penyediaan bingkisan bagi pejabat yang berkunjung ke Maspion. Pernyataan yang cukup mengagetkan banyak pihak itu, Rabu minggu lalu, dibantah Alim. Menurut Pengacara Humprey Djemat, kliennya berpikir menuntut media massa terbitan Jakarta dan Surabaya yang memuat keterangan Alim tentang biaya ekstra, karena mencemarkan nama baik perusahaan tersebut. Tapi, yang pasti, kelalaian perusahaan ini akan diperkarakan di pengadilan. Kapolda Jawa Timur, Mayor Jenderal Koesparmono Irsan, sudah mengimbau agar Alim sementara waktu tidak ke luar negeri. Ia akan jadi gong penutup dalam pemeriksaan ambrolnya lantai dua gedung Maspion, yang 20 karyawannya sampai kini sudah dimintai keterangan. Laporan Suprianto Khafid dan Zed Abidien (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini