Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tahun ini, Science Film Festival atau SFF menjadi mitra pendukung resmi agenda Dekade Restorasi Ekosistem Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Periode 2021 sampai 2030 merupakan tenggat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Restorasi merupakan upaya membantu ekosistem yang rusak atau hancur agar kembali pulih, sekaligus melestarikan ekosistem yang masih utuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Regional Goethe-Institut Asia Tenggara, Australia dan Selandia Baru Stefan Dreyer mengatakan SFF berkomitmen menyoroti pentingnya pertimbangan ekosistem dalam pengelolaan terpadu lahan, air dan sumber daya hayati. Komitmen ini juga fokus pada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan upaya mengatasi berbagai tantangan dalam pembangunan berkelanjutan global. Misalnya penggurunan, degradasi lahan, erosi, kekeringan, kehilangan keanekaragaman hayati, serta kelangkaan air.
"Kami memahami sains sebagai sebuah kemungkinan untuk menemukan titik temu dan pemahaman bersama mengenai isu-isu yang mendesak bagi kita semua. Oleh karena itu, saya pikir sangat tepat untuk menghubungkan SFF tahun ini dengan Dekade Restorasi Ekosistem PBB," kata Stefan pada Sabtu, 21 Oktober 2023 di Kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Duta Besar Jerman untuk Indonesia, ASEAN dan Timor Leste, Ina Lepel menjelaskan di tingkat PBB, Dekade Restorasi Ekosistem sudah dimulai sejak 2021 hingga 2030. Salah satu kegiatannya adalah berbagi pengetahuan atau peningkatan kapasitas dan pembiayaan proyek.
"Saya rasa, Science Film Festival sangat berperan dan menjadi kontributor yang baik untuk upaya ini. Sejak akhir tahun 2022, Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global telah berkomitmen bahwa pada tahun 2030, 30 persen daratan dan 30 persen wilayah lautan harus dilindungi," kata Lepel.
Peran universitas dalam mendukung restorasi ekosistem berkelanjutan
Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini mengatakan jumlah mahasiswa di kampusnya sebanyak 5.600 orang. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan di lebih dari seribu kelas, melalui 25 ribu pertemuan.
"Jika 5 persen atau 10 persen saja dari pertemuan tersebut diisi dengan isu-isu yang berkaitan dengan perubahan iklim, restorasi dan sebagainya, maka para mahasiswa akan menjadi agen untuk menyebarkan pengetahuan tentang menjaga kelestarian bumi. Tentu saja cara paling efisien saat ini melalui media sosial," ujar Didik.
Adre Zaif Rachman selaku Kepala Kantor Urusan Internasional Universitas Katolik Atma Jaya menyebut universitas memiliki kesempatan sekaligus tantangan dalam mendukung restorasi ekosistem lokal. Pertama, kampus bersentuhan langsung dengan mahasiswa dan masyarakat.
Secara tri dharma perguruan tinggi, ada fungsi pengajaran dan penelitian. Kedua poin ini memungkinkan adanya jurnal mengenai restorasi ekosistem dan topik lain tentang pembangunan keberlanjutan.
"Kami bertemu dengan berbagai lapisan masyarakat di universitas. Di situlah peluang dan tantangannya. Karena bertemu dengan semua orang, hal-hal yang kami lakukan juga harus bermanfaat dan digunakan oleh masyarakat," kata Adre.
Literasi sains lewat film
Stefan mengatakan penonton SFF di Indonesia tahun ini menjadi yang kedua terbesar. Goethe Institut melalui SFF 2023 telah menjangkau 70 kota dari sebelumnya 55 kota.
"Film-film yang kami tayangkan ada 18, di 12 negara yang berbeda. Termasuk Indonesia tentunya. Semuanya disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia dan dipilih dari sekian banyak film melalui kurasi. Kami mencari film-film yang menarik bagi penonton muda," kata Stefan.
Staf Ahli Menteri Bidang Manajemen Talenta Kemendikbudristek Tatang Muttaqin menyebut film yang diputar dalam pagelaran SFF memberikan gambaran yang lebih baik berkat dukungan audiovisual. Dengan demikian, para siswa akan lebih terinspirasi.
Poin paling penting, menurut Tatang, adalah bagaimana para pelajar memahami kaitan sains dengan kehidupan. "Dari situ, saya rasa film menjadi medium penting untuk kampanye pentingnya ilmu pengetahuan. Hal ini sangat relevan dengan fokus Indonesia, bagaimana meningkatkan kemampuan sains di kalangan pelajar," kata dia.