Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Soal Bir dan Wine Halal, Kementerian Agama Bilang soal Penamaan Produk

Kementerian Agama berharap masyarakat tidak perlu meragukan kehalalan produk-produk tersebut. Di sisi lain, MUI menyatakan tidak bertanggung jawab.

1 Oktober 2024 | 18.46 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Agama melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal buka suara ihwal produk ‘beer’, ‘tuak’, dan ‘wine’ yang mendapatkan sertifikasi halal. BPJPH mengatakan persoalan tersebut menyangkut penamaan produk, sehingga kehalalan dari produk-produk tersebut sudah terjamin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Persoalan tersebut berkaitan dengan penamaan produk, dan bukan soal kehalalan produknya,” kata Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Kemenag, Mamat Salamet Burhanudin, dalam keterangan resmi pada Selasa, 1 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu meragukan kehalalan produk-produk tersebut. Sebab, semua produk yang yang terdaftar di BPJPH telah melalui proses sertififikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau Komite Fatwa Produk Halal.

Dia juga mengatakan bahwa pelaku usaha tidak dapat mengajukan pendaftaran sertifikasi halal apabila nama produknya bertentangan dengan syariat Islam. Aturan ini tertuang SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal, serta dalam Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal.

“Namun pada kenyataannya masih ada nama-nama produk tersebut mendapatkan sertifikat halal, baik yang ketetapan halalnya dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal,” lanjut Mamat.

Menurutnya, hal ini disebabkan oleh adanya silang pendapat terkait penamaan produk. Ia mencontohkan, terdapat 8 produk dengan nama ‘beer’ yang sertifikat halalnya diterbitkan oleh Komisi Fatwa MUI. Namun, ada 14 produk dengan nama serupa yang sertifikat halalnya diterbitkan oleh Komite Fatwa.

“Perlu kami sampaikan juga untuk produk-produk dengan nama menggunakan kedua kata tersebut yang ketetapan halalnya dari Komisi Fatwa MUI adalah produk yang telah melalui pemeriksaan dan atau pengujian oleh Lembaga Pemeriksa Halal, dengan jumlah terbanyak berasal dari LPH Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI sebanyak 32 produk. Selebihnya berasal dari lembaga yang lain.” jelas Mamat.

Sementara itu, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal, Dzikro, mengajak semua pihak untuk duduk bersama agak bisa menyamakan persepsi. Terlebih lagi, kewajiban sertifikasi halal tahap pertama akan berlaku setelah 17 Oktober 2024, khususnya untuk produk makanan dan minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan.

“Alangkah baiknya, saat ini energi seluruh stakeholder Jaminan Produk Halal bersama masyarakat dan pelaku usaha digunakan untuk menyukseskan kewajiban sertifikat halal yang sudah semakin dekat,” kata dia.

Sebelumnya, Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan penetapan halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI.

"Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut,” kata Asrorun Niam Sholeh melalui keterangan tertulisnya, Senin, 30 September 2024.

Niam mengatakan, MUI telah melakukan pendalaman dan mengkonfirmasi bahwa produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal melalui jalur self-declare.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus