Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yogyakarta- Dua pemuka agama Islam dan Kristen berpengaruh asal Nigeria berbagi pengalaman rekonsiliasi mendorong perdamaian setelah melewati konflik di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka adalah Imam Muhammad Ashafa dan Pastor James Wuye Nigeria. Keduanya memberikan kuliah umum di University Club UGM Yogyakarta pada Selasa malam, 10 Oktober 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kuliah umum itu, mereka memperkenalkan pendekatan agama dan aksi-aksi nirkekerasan. Tujuannya untuk menginspirasi banyak kalangan di Indonesia, khususnya anak-anak muda dan pemuka agama mengajarkan nirkekerasan dan mengelola konflik.
Keduanya juga memfasilitasi lokakarya tiga hari di UGM pada 11-13 Oktober 2017 bertema “Pelembagaan Mediasi Antar-Iman”. Pesertanya adalah pegiat kemanusiaan dari seluruh Indonesia yang sudah diseleksi.
Imam Ashafa dan Pastor James berbagi pengalaman melembagakan mediasi antar-iman. "Ada tiga strategi untuk menyelesaikan konflik, yakni nilai, sumber daya, dan psikologis," kata Pendeta James Wuye dalam lokakarya, Rabu, 11 Oktober 2017.
Pada awal 1990-an, kedua pemuka agama itu memimpin kelompok milisi Muslim dan Kristen yang terlibat dalam konflik. Bertahun-tahun sang imam dan pastor saling serang dan balas dendam. Suatu ketika, mereka memutuskan untuk berdamai, bekerjasama mendorong perdamaian.
James Wuye merupakan mantan pemimpin milisi pemuda Kristen di Kaduna, Nigeria, yang didera konflik antar-agama. Dia banyak terlibat dalam aksi kekerasan untuk membela keluarga dan kampungnya. Banyak kawannya yang tewas dan ia kehilangan tangannya.
Imam Ashafa seorang muslim taat yang dibesarkan di lingkungan tradisionalis. Konflik Kristen-Muslim di Nigeria pada 1992, yang menewaskan guru dan dua sepupunya mengubah hidupnya. Selama bertahun-tahun dia diliputi dendam dan kebencian. Untuk memutus kebencian perlu waktu yang lama. Mereka masih menyimpan kecurigaan terhadap satu sama lain.
Suatu ketika Ashafa mendengarkan ceramah tentang kisah Nabi Muhammad yang memaafkan penduduk Thaif yang mencederainya. Ceramah ini mengganggu benaknya, “Bagaimana bisa aku memaafkan orang yang membunuh guru dan saudaraku?," kata dia. Setelah permenungan panjang, dia pun melepaskan dendamnya.
Perubahan hidup juga terjadi pada James. Suatu ketika ibu James dirawat di rumah sakit dan Ashafa menjenguknya. Semula ia curiga Ashafa merencanakan sesuatu yang jahat terhadapnya.
Tapi, kecurigaan itu kemudian runtuh. James juga teringat ucapan seorang kolega kepadanya, “Bagaimana mungkin kamu bisa mengajarkan ajaran Kristen dengan kebencian?” Ini membuat James meninggalkan kekerasan.
Mereka mendorong perdamaian di kota mereka, Nigeria hingga dunia. Mereka membangun Pusat Mediasi antar-Iman di Nigeria, meningkatkan wawasan dan keterampilan agamawan dalam mengelola konflik, serta memperlebar jaringan di seluruh dunia.
Pada 1995 mereka membentuk Lembaga Mediasi Antar-Iman (Interfaith Mediation Centre), yang menjadi unit strategis dalam melatih anak-anak muda sebagai agen perdamaian, memediasi konflik, dan membantu pengelolaan pemerintahan yang inklusif.
Hingga sekarang mereka menangani sekitar 200-an kasus konflik di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Mereka sering diundang untuk berbagi pengalaman mengusahakan perdamaian lintas-iman.
Usaha keras Imam Ashafa dan Pastor James mendorong perdamaian memperoleh penghargaan dari sejumlah kalangan, di antaranya Heroes of Peace Award (Tanenbaum Foundation, New York, 2000), Fondation Chirac Prize (Paris, 2009).
Ada juga Bremen Peace Award (Threshold Foundation, Bremen, 2011), dan Hessian Peace Price (Peace Research Institute, Frankfurt, 2013). Pengalaman mereka juga didokumentasikan dalam film The Imam & the Pastor (2006).
Imam Ashafa dan Pastor James dijadwalkan mengisi kuliah umum di Jakarta setelah rampung berkegiatan di Yogyakarta. Penyelenggara kegiatan ini adalah Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Lembaga Antar-Iman Maluku (LAIM), Program Studi Agama dan Lintas-Budaya (CRCS), dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM. Acara ini juga mendapat dukungan Yayasan Tifa, Jakarta, dan Tanenbaum Center, New York.