Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya masyhur karena musik dangdut. Orang ramai menggelarinya raja. Mungkin karena itu nama Rhoma Irama moncer sebagai kandidat calon presiden alternatif. Menurut survei Lembaga Survei Jakarta, dua bulan lalu, tingkat popularitasnya mencapai 89,9 persen. Partai-partai politik pun mulai menjajaki kemungkinan mengusungnya sebagai calon RI-1. Seperti Selasa pekan lalu, Rhoma bertandang ke kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa.
Kemunculannya sejak mengangkat musik dangdut ke tataran yang tak terbayangkan sebelumnya hingga ditabalkan sebagai sang raja di jalur musik ini memang fenomenal. Kadang juga kontroversial. Pada edisi 30 Juni 1984, majalah Tempo menulis kiprahnya dalam bermusik dan berpolitik, juga masa lalunya.
Cerita bermula dari Kapten Raden Burda Anggawirya, pemimpin Batalion Garuda Putih yang bertugas di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Suatu hari dia pulang lebih cepat lantaran hendak menemani istrinya menonton sandiwara Sunda yang dipentaskan grup Irama Baru. Tuty Djuariah, sang istri, sedang hamil tua. Eh, sepulang menonton, Tuty sakit perut dan melahirkan anak laki-laki. Burda pun secara spontan memberi nama Irama—diambil dari grup tadi. Belakangan, ketika mulai belajar berbicara, putra kedua Burda ini lebih senang memanggil ibunya "Oma". "Akhirnya sepakat diberi nama Oma Irama," Tuty berkisah.
Oma sudah menunjukkan bakatnya semenjak kecil. Pernah, sewaktu di sekolah dasar, satu kelas tiba-tiba kosong. Rupanya mereka pergi ke kelas Oma, menyaksikan Oma yang tengah mendendangkan lagu dengan gaya memikat. Kepalanya bergoyang-goyang dan matanya terpejam-pejam. Tak aneh, setelah dewasa, anak yang lahir pada 11 Desember 1946 itu jadi raja dangdut. Kini dia dikenal dengan nama Rhoma Irama, singkatan dari Raden Haji Oma Irama—nama yang disandang secara resmi sepulang haji pada 1976.
Setiap kali naik panggung, tampak benar kebesarannya. Daya tarik Rhoma datang dari kekuatannya dalam merangsang dan menggerakkan orang. Suaranya sangat dikenal: tidak merdu, tidak pula kasar seperti suara penyanyi rock, tapi cenderung panas atau gelisah dengan gelombang kecil-kecil yang merayu.
Kelebihan Rhoma daripada yang lain: ia tidak hanya menyanyikan lagu-lagu cinta dan berbagai impian masyarakat bawah, tapi juga keinginan-keinginan mereka. Rhoma terasa berdiri di tengah penduduk yang berjumlah sekitar 135 juta. Di situ pula faktor agama dalam musiknya terasa kental.
Sebenarnya, sebelum Rhoma, ada banyak seniman mengambil ilham dari agama atau berdakwah lewat seni. Tapi Rhoma-lah orang terpenting yang berdakwah lewat musik secara massal, mengingat jumlah konsumennya paling besar. William H. Frederick, orang Amerika yang membuat riset tentang dangdut, mengatakan, berdasarkan data penjualan kaset dan jumlah penonton film Rhoma, penggemar raja musik ini diperkirakan 15 juta lebih. Itu berarti sekitar 10 persen penduduk Indonesia. Tak ada jenis kesenian mutakhir yang memiliki lingkup demikian luas.
Unsur agama pula yang menyeret Rhoma ke kancah politik, setidaknya setiap ada pemilihan umum. "Sejak 1971, saya memilih berkampanye untuk PPP (Partai Persatuan Pembangunan) karena ia beraspirasikan Islam," kata Rhoma. Akibat pilihan politiknya ini, izin pementasannya kerap dipersulit. "Pernah saya dilarang berbicara ketika panitia perkawinan mengundang saya untuk memberi nasihat," tuturnya. TVRI, dengan alasan yang tak pasti, tak pernah memunculkan dia. Namun Rhoma tak pernah menyebut dirinya politikus.
Pada Pemilu 1987, ia tiba-tiba menyatakan tak akan bergabung dengan PPP lagi. "PPP dan lain-lainnya sama saja, tidak lagi memperjuangkan Islam," ujarnya. Ia menegaskan sejak dulu tak suka jabatan politik, apalagi di pemerintahan.
Dia terus membesar. Lalu di mana-mana muncul tiruannya. Misalnya Nano Sumarno alias Nano Romanza. Sosoknya mirip sekali dengan Rhoma, pun dengan suaranya. Dan pengunjung, yang disebutnya mayoritas penggemar fanatik Rhoma, cukup terhibur oleh penampilannya. "Saya pengagumnya. Rhoma seperti guru besar rock dangdut," kata lelaki kelahiran Desa Kertasemaya, Indramayu, ini berterus terang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo