Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI-hari ini sebagian wilayah Jakarta kembali terendam banjir. Percaya atau tidak, bencana tahunan ini sudah jadi langganan Ibu Kota sejak lebih dari empat dekade lalu. Gubernur datang dan pergi, tapi kisah kali-kali yang meluap di kota ini tetap setia menemani warganya.
Majalah Tempo edisi 3 April 1971 menulis bagaimana air Kali Krukut, yang memanjang 30 kilometer dari Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sampai Pejompongan di Jakarta Pusat, naik dan tumpah sepanjang pekan itu. Banjir merendam hingga setinggi dua meter lebih. Ribuan penduduk mengungsi, meninggalkan rumah dan segala isinya.
Tak berbeda dengan sekarang, ketika itu para pejabat kota malah cepat menyalahkan warga. "Ini salah penduduk sendiri," kata Mudakir, Kepala Humas Proyek Pengendalian Banjir Jakarta. "Mereka membangun rumah di tepi sungai."
Asal muasal bencana itu diduga dari luar kota: banjir kiriman dari Bogor, Jawa Barat. "Bandjir di Djakarta ini adalah bandjir kiriman. Artinja bandjir jang disebabkan oleh air jang datang dari luar Djakarta, karena daerah luar Djakarta itu mengalami hudjan," kata Mudakir, seperti ditulis majalah ini pada 1971.
Ini dibenarkan Wakil Kepala II Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta (waktu itu) G. Panjaitan. Dia menjelaskan, pekan itu volume air dari Bogor memang sempat mencapai 186 meter kubik per detik. Padahal biasanya hanya di bawah 100 meter kubik per detik. "Ini memang sudah kritis," katanya. Dengan terjangan air bah sebanyak itu, tanggul-tanggul di Jakarta jebol.
Jika penyebabnya sudah jelas, bagaimana antisipasinya? Pemerintah waktu itu mengaku sudah punya rencana. Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Sutami menjelaskan ada dana Rp 350 juta di anggaran departemennya pada 1971 untuk menangani banjir. Itu bukan uang kecil. "Semua akan disalurkan untuk proyek makro dan mikro," katanya.
Kata Sutami, proyek makro terutama bakal memusatkan perhatian pada perbaikan tanggul-tanggul lama dan pembangunan beberapa tanggul baru. Sedangkan proyek mikro berfokus pada pemeliharaan sarana pengendali banjir yang sudah ada. Misalnya memperbaiki saluran dan pintu-pintu air.
Harus diakui, kondisi tanggul sungai di Jakarta pada masa itu amat menyedihkan. Tanggul Kali Angke, Kali Sekretaris, Kali Grogol, Kali Cideng, Kali Krukut, Kali Ciliwung, Kali Sentiong, sampai Kali Sunter amat rapuh. Semua tanggul itu dipastikan bakal rontok jika banjir melanda.
Selain memperbaiki tanggul, pemerintah membuat sebuah terowongan air di bawah Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Terowongan itu berfungsi mengurangi volume air Kali Krukut, agar tak sering terjadi banjir ketika air bah dari Bogor tiba.
Dalam dokumen perencanaan, diameter saluran air bawah tanah ini akan mencapai 24 meter. Total biayanya sampai Rp 124 juta dan baru rampung dua tahun kemudian. Ratusan rumah penduduk harus direlokasi demi proyek itu.
Yang mengherankan, meski sudah ada proyek makro dan mikro ala Sutami itu, sampai sekarang Jakarta masih sering terendam. Penyebabnya selalu sama: banjir kiriman. Pada Februari lalu, mungkin karena frustrasi, Gubernur Jakarta Fauzi Bowo sempat melontarkan ide untuk mengubah definisi banjir. "Di Jakarta, air tergenang baru bisa disebut banjir kalau tidak mengalir sampai 24 jam," katanya. Dengan definisi baru ini, Jakarta pun dalam sekejap bebas "banjir".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo