Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tantangan buat Gubernur Aceh

16 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMENANGAN pasangan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf, seperti diprediksi sejumlah hitung cepat, dalam pemilihan umum kepala daerah Nanggroe Aceh Darussalam setidaknya punya dua arti penting. Inilah untuk pertama kali tokoh sentral Gerakan Aceh Merdeka memimpin Aceh. Mereka siap mengelola sebuah wilayah berdasarkan prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik, bukan sekadar mengomando pasukan untuk angkat senjata.

Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh sebelumnya, memang bekas aktivis GAM, tapi ia bukanlah figur utama. Pertarungan politik dalam pemilihan kepala daerah pada 2006 membuatnya tersingkir dari gerakan. Ia dianggap membelot karena mencalonkan diri, apalagi secara resmi GAM mengajukan kandidat lain. Kepemimpinan Irwandi dianggap lemah karena ia tidak didukung petinggi GAM dan sebagian mantan kombatan. Ia dianggap bukan representasi organisasi.

Zaini bekas Menteri Kesehatan GAM. Muzakkir bekas panglima angkatan bersenjata ketika konflik berkecamuk di Serambi Mekah. Keduanya adalah loyalis dan orang dekat Hasan Muhammad di Tiro (almarhum), tokoh sentral kelompok itu. Terpilihnya Zaini-Muzakkir melengkapi kemenangan Partai Aceh dalam Pemilu 2009. Partai ini didirikan pada 2007 sebagai amanat kesepakatan damai Helsinki dua tahun sebelumnya. Saat ini Partai Aceh memiliki kursi paling banyak di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Inilah arti penting kedua dari kemenangan Zaini-Muzakkir. Pada masa pemerintahan Irwandi, beberapa kebijakan eksekutif tak berjalan mulus karena dihadang legislatif. Sebaliknya, Zaini beruntung karena masuk arena politik yang relatif bersih dari aral. Ia harus memanfaatkan kesempatan ini untuk memajukan Serambi Mekah. Duet ini juga harus mampu membuktikan bahwa mereka tak cuma pandai angkat senjata, tapi juga luwes memainkan strategi politik.

Keinginan GAM menerapkan prinsip zero sum game pada awal proses pemilihan kepala daerah sempat membuat cemas banyak kalangan. Ketika itu beberapa aktivis Partai Aceh mengancam akan kembali masuk hutan jika mereka gagal mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur karena terlambat mendaftar. Godaan untuk meninggalkan arena politik dan kembali angkat senjata ini harus diperangi Zaini dan pengikutnya. Buang jauh-jauh imaji untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Jangan mudah merajuk jika kepentingan tidak tercapai—misalnya saat kelak harus bernegosiasi dengan pemerintah pusat.

Politik memang tak membuka banyak kemungkinan kepada satu pihak untuk menang dalam semua pertandingan. Tapi politik memberi kesempatan—berdasarkan prinsip keadilan dan kesamaan hak—kepada semua pihak untuk menang di satu lini, sekaligus tak unggul di lini yang lain. Dengan kata lain, politik mensyaratkan sikap legawa untuk menang sekaligus kalah. Sikap lapang dada untuk memberi sekaligus menerima.

Karena itu, Zaini Abdullah harus merangkul semua unsur masyarakat: GAM atau bukan GAM, etnis Aceh atau suku mana pun. Cerita buruk tentang petinggi GAM yang elitis dan dikuasai klan Hasan Tiro harus dikubur dalam-dalam. Aceh adalah milik seluruh rakyat Indonesia, bukan penduduk Aceh, GAM, apalagi segelintir sanak famili Hasan Tiro.

Duet baru pemimpin Aceh ini hendaknya segera mengatasi kelemahan mereka. Zaini harus memperkuat jajaran birokrasi. Wakilnya, Muzakkir Manaf, tidak dikenal punya pengalaman mengelola birokrasi besar berskala provinsi. Ia tidak boleh menjadi bulan-bulanan anak buah atau malah menghambat roda organisasi. Usia Zaini yang tak lagi muda tak boleh menjadi kendala: ia harus pandai-pandai mengatur ritme. Jangan pernah berpikir untuk bagi-bagi proyek. Setelah menjadi gubernur, Zaini mungkin akan dirongrong oleh famili, kawan dekat, atau bekas anak buah.

Kebetulan saat ini banyak bekas kombatan GAM yang belum bernasib baik. Bertahun-tahun angkat senjata, mereka tak punya keahlian selain bertempur. Ini adalah bahaya laten yang harus diselesaikan Zaini: memberi mereka pekerjaan tanpa terkena polusi nepotisme dan korupsi. Gubernur yang baru harus menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Jangan pedulikan tikus yang mengetuk pintu.

Jangan juga mau didikte oleh para cukong atau penyandang dana yang dulu memberi bantuan. Politik di Aceh memang tak berbeda dengan politik di belahan Indonesia lain. Aturan tentang pendanaan pemilu yang longgar mengakibatkan ada saja sponsor yang memberi fulus di luar batas kewajaran. Ketika sang kandidat terpilih, sang bohir datang menagih. Tangan-tangan Jakarta untuk memenangkan seorang kandidat dalam pemilihan kepala daerah Aceh haruslah dipandang sebagai upaya untuk menjamin kemaslahatan publik sekaligus memelihara perdamaian di sana.

Tak boleh ada balas budi beraroma korupsi. Tanpa komitmen itu, Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf akan mudah dicap sebagai pengkhianat publik dan kesepakatan Helsinki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus