Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

<font face=arial size=1 color=#FF0000>TEMPO DOELOE</font><br />Nasib Muram Cerita Anak

30 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan lalu, kisah "Bang Maman dari Kali Pasir" yang dimuat dalam buku pelajaran sekolah dasar di Jakarta menjadi buah mulut di mana-mana. Banyak orang mengecam munculnya cerita yang menyebut ihwal istri simpanan dalam buku bacaan anak sekolah. Pemerintah dinilai kecolongan.

Sebenarnya ini bukan pertama kali buku cerita anak dipersoalkan. Majalah Tempo edisi 3 Agustus 1974 pernah menulis lika-liku bisnis penerbitan buku cerita anak. Ketika itu usaha penerbitan buku anak jadi bidang bisnis baru yang menggiurkan seiring dengan terbitnya Instruksi Presiden Nomor X Tahun 1973.

Dengan instruksi itu, pemerintah memborong 7 juta buku anak, terdiri atas 305 judul yang diterbitkan 29 penerbit, untuk dibagikan gratis kepada 66 ribu sekolah dasar se-Indonesia. Pada tahun berikutnya, berbekal anggaran Rp 1 miliar, pemerintah membeli 8 juta buku anak lagi.

Program pemerintah itu otomatis melahirkan pemain-pemain baru dalam bisnis penerbitan cerita anak. Penerbit Si Kuncung, misalnya, mendapat proyek membagikan majalah mingguan anak 22 ribu eksemplar.

Para pengarang pun kebanjiran rezeki. Seorang penulis cerita anak, Djokolelono, mendapat banyak pesanan buku. Dia harus menulis 12 karangan asli kisah anak-anak, dan menerjemahkan lima jilid cerita petualangan Tom Sawyer karangan Mark Twain. Total pendapatannya dari proyek ini sampai Rp 4 juta lebih. Jumlah yang lumayan untuk masa itu.

Pengarang lain, Soekanto S.A., menerbitkan buku anak berjudul Empat Melati, plus 10 naskah lain. Dia mengantongi royalti Rp 3,5 juta. "Ini betul-betul rezeki nomplok, tak pernah terimpikan sebelumnya," kata Soekanto. Rekannya, Anna M. Massie, penulis cerita anak lain, juga kebagian. Meski cuma menyodorkan dua judul naskah, Maria Klara dan Ina serta Orang-Orang Tercinta, dia berhak atas honor Rp 1 juta lebih.

Gencarnya penerbitan buku anak itu belakangan menuai kritik. Soal apalagi kalau bukan tentang mutu naskah. Para penulis memang diburu-buru oleh penerbit yang berkejaran dengan order proyek pemerintah ini. "H.B. Jassin boleh menyebut kami sebagai pengarang angkatan Inpres," Soekanto menyindir.

Pemimpin Redaksi Majalah Si Kuncung, Soedjati, meminta tim peneliti buku dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih ketat melakukan seleksi. Dia khawatir, jika buku yang diterbitkan kurang menarik, minat baca anak-anak justru bisa turun. Proyek bisa gagal.

Indikasi ke arah sana sudah ada. Susilomurti, salah seorang pengarang cerita anak, melihat sekarang sudah banyak muncul penulis buku anak musiman. "Banyak penerbit yang tergesa-gesa menerbitkan, sehingga buku anak pun asal jadi," katanya. Tak hanya itu. Ada juga penerbit buku yang sengaja hanya menerbitkan buku karya pengarang yang mereka kenal dekat. Mutunya nomor dua.

Mochtar Ahmad, pejabat Kementerian Pendidikan yang bertanggung jawab mengurus Proyek Pengadaan Buku Bacaan Sekolah Dasar, menjamin tak ada masalah dalam seleksi buku. Tapi dia menolak memberi tahu siapa saja anggota tim seleksi buku anak di kementeriannya.

Sekarang, hampir 40 tahun kemudian, kontroversi yang sama berulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus