Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

<font face=arial size=2 color=#ff0000>Tempo Doeloe</font><br />Satu Tiang Berjubel Rambu

25 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALAU aturannya sudah berlaku lebih dari setahun, masih ada pengendara sepeda motor yang tidak menyalakan lampu pada siang hari. Berbagai alasan dikemukakan untuk menentang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas itu, seperti pemborosan, global warming, atau akal-akalan polisi mencari uang.

Padahal alasan dasar aturan itu adalah untuk meningkatkan keamanan dalam mengendarai motor, sehingga angka kecelakaan bisa ditekan. Data Kepolisian Daerah Metro Jakarta, September lalu, memaparkan sekitar 75 persen musibah di jalanan dialami pengendara motor.

Majalah Tempo dalam rub­rik Kota edisi 19 Juli 1975 juga punya cerita mengenai upaya pemerintah mencegah kecelakaan di jalanan ketika itu.

Peristiwanya terjadi di Balikpapan, Kalimantan Timur. Setiap hari, menggunakan pengeras suara, aparat Kepolisian 1401 Balikpapan berteriak di sepanjang jalan raya. "Pejalan kaki harus menggunakan trotoar agar terhindar dari kecelakaan," begitu suara yang keluar dari mikrofon di atas mobil polisi.

Kampanye itu mengundang protes. "Masyarakat sudah cukup tahu diri untuk berjalan di tempat yang telah disediakan," tulis Mimbar Masyarakat, awal Juni itu. Sebaliknya, menurut koran tersebut, yang perlu diperingatkan justru pemakai kendaraan bermotor yang kian hari kian menggebu.

Kecelakaan di kota minyak itu memang terbilang tinggi dibandingkan dengan tetangganya, Samarinda. Dalam empat bulan pertama tahun itu saja, korban kecelakaan lalu lintas di Balikpapan sudah 15 nyawa, 68 luka berat, dan 93 luka ringan. Kerugian materialnya Rp 10,2 juta. Namun tak sekali pun kecelakaan itu terjadi akibat kelalaian pejalan kaki, tapi karena bandelnya pengendara.

Rupanya kepolisian bermaksud mengail kesadaran para pejalan kaki agar tidak kesenggol kendaraan. Meski begitu, tidak mudah bagi pejalan kaki untuk mematuhinya. Tak ayal bila di suatu tempat mereka akan merasa kesal karena tidak semua jalan di Balikpapan menyediakan trotoar. Baru sebagian kecil jalan yang memilikinya, seperti Jalan Kelandasan, sebagian Jalan Gajah Mada dan Antasari, serta beberapa lintasan milik Pertamina.

Selebihnya kurang jelas antara jalan dan trotoar. Atau, meskipun harus dikatakan trotoar, sifatnya sangat "alamiah". Ada yang mengistilahkan trotoar abstrak. Dulu memang cukup lumayan. Trotoar itu terbuat dari pasir yang ditimbuni lempengan rumput hingga tampak rapi dan hijau. Namun lama-kelamaan rompong juga. Bukan karena diinjak-injak pejalan kaki, tapi juga karena dilindas mobil yang parkir seenaknya.

Dalam soal keramaian, Balikpapan memang lebih unggul dibanding Samarinda, ibu kota provinsi. Kelebihan itu disebabkan posisi Balikpapan sebagai pintu gerbang Kalimantan Timur. Di sana juga bercokol kantor pusat Pertamina Unit IV, yang belakangan ini banyak menemukan sumber minyak baru. Beberapa instansi tingkat I Kalimantan Timur pun berada di sana, seperti komando da­erah militer, komando daerah kepolisian, depot logisitik, dan kejaksaan tinggi.

Karena beberapa jalan protokol dirasa terlalu padat, sekitar April tahun itu polisi mewajibkan rute taksi ­Kelandasan-Kebun Sayur harus membelok di Jalan Gunung Meratus. Ini membuat jalur menjadi satu arah. Tapi baru tiga kali percobaan lalu dihentikan.

Upaya lain yang tak kalah seriusnya adalah menebar rambu lalu lintas. Tidak berlebihan kalau dikatakan cukup banyak, seperti diakui oleh Komandan Resor Kepolisian 1401 Balikpapan Baroto Yuwono. Tak jarang satu tiang rambu ditempeli sedikitnya tiga macam tanda dengan maksud yang sama: jalan hati-hati. Paling atas ditempel tanda "tidak boleh mendahului kendaraan yang ada di depannya". Di bawahnya dipasang tanda 25 km. Dan, supaya lebih mantap, dilekatkan pula tanda "hati-hati" di bagian paling bawah. "Itu pun barangkali masih ada yang belum mau mengerti," kata Baroto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus