Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOEHARTO bisa membalikkan kondisi Indonesia dari pengimpor beras selama 138 tahun menjadi negara berlimpah pangan pada 1985. Berkat itu, Organisasi Pangan Sedunia (FAO) mendapuk Soeharto untuk berbicara di sidang tahunan di Roma, Italia. Soeharto ditunjuk mewakili negara dunia ketiga yang masih mengimpor kebutuhan pokok itu.
Pujian pun menghambur. FAO mengagungkan Soeharto sebagai contoh nyata keberhasilan dunia ketiga dalam usaha mencukupi kebutuhan diri sendiri. Tapi, meski beras melayah di mana-mana, Indonesia tak bisa dengan serta-merta mengekspornya. Sebab, jika beras membanjiri pasar, harga bisa anjlok.
Swasembada akhirnya jadi bumerang. Beras teronggok di lumbung-lumbung rumah petani karena tak ada yang mau membeli. Jika pun ada yang membeli, harganya jauh lebih rendah ketimbang zaman ”paceklik”, sementara harga-harga kebutuhan lain malah naik. Akibatnya, Tempo melaporkan banyak petani beralih ke pekerjaan lain: tukang batu, buka warung mi. Di beberapa daerah juga banyak orang miskin masih mengeluhkan kekurangan beras.
Itu semua karena kebijakan keliru dan perhitungan yang semu. Para birokrat hanya ingin ”tampil baik” dan ”berhasil” di hadapan Soeharto, meski kenyataan bertolak belakang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo