Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jenderal Besar Terakhir?

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Jenderal Besar Terakhir?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Bambang Harymurti

  • Wartawan Tempo

    Gelar upacara militer lengkap telah mengantar Soeharto ke tempat peristirahatan terakhirnya, Senin pekan lalu. Bendera Merah Putih yang dipegang empat perwira memayungi jenazah saat diturunkan ke liang lahat. Tembakan salvo menggelegar memberikan penghormatan dan semua pucuk pimpinan angkatan bersenjata, bahkan panglima tertinggi TNI, hadir dengan pakaian kebesaran masing-masing. Lagu Gugur Bunga pun mengalun dari barisan musik militer.

    Semua kegiatan itu, dilihat dari sudut protokol kemiliteran, adalah hal yang wajar saja bahkan sebuah keharusan. Terlepas dari berbagai kontroversi yang beredar di masyarakat, bagi kalangan tentara upacara ini sebuah keniscayaan: yang dimakamkan adalah seorang jenderal berbintang lima, seorang jenderal besar.

    Di Indonesia, pangkat kehormatan militer tertinggi ini hanya disandang oleh empat orang dan kini semuanya telah berstatus almarhum: Jenderal Besar Sudirman, Soekarno, Abdul Haris Nasution, dan Soeharto. Tak jelas benar apakah secara resmi TNI masih mengakui keabsahan bintang lima yang disandang Presiden Soekarno ketika mengangkat dirinya menjadi panglima besar. Yang pasti, status resmi jenderal besar yang lain diberikan secara bersamaan pada 1 Oktober 1997, sewaktu Presiden Soeharto berada di akhir masa kekuasaannya.

    Melalui PP No. 32 Tahun 1997, dinyatakan bahwa tiga tokoh TNI layak mendapat anugerah jenderal besar karena jasa-jasa mereka. Peraturan pemerintah ini tak menyebut secara terperinci alasan pemberian itu, sehingga sempat memicu berbagai interpretasi. Utamanya, di negeri lain bintang lima umumnya diberikan kepada seorang perwira tinggi yang berhasil menang dalam sebuah perang besar. Misalnya Jenderal Mc Arthur untuk kemenangan dalam Perang Pasifik, Marsekal G.K. Zukov yang mengalahkan Jepang di Manchuria dan Jerman di Leningrad, Jenderal B.L. Montgomery yang menekuk pasukan Jerman di Afrika, dan Jenderal Vo Nguyen Giap yang mengalahkan Prancis dalam pertempuran Dien Bien Phu.

    Dilihat dari konvensi ini, kendati Jenderal Sudirman memang punya reputasi sebagai panglima yang berhasil menang dalam pertempuran Ambarawa, sulit untuk mengkategorikan konflik bersenjata itu sebagai sebuah perang besar. Jenderal Nasution bahkan tak dikenal sebagai komandan pemenang pertempuran, tapi lebih sebagai pemikir strategi perang, terutama setelah menerbitkan buku Pokok-Pokok Gerilya. Sedangkan kancah pertempuran Jenderal Soeharto adalah sebagai komandan Serangan Umum 1 Maret 1948 di Yogyakarta dan operasi Mandala dalam pembebasan Irian Jaya pada 1962. Kedua operasi militer ini tak berbuah kemenangan militer tapi menunjang tercapainya kemenangan politis dan diplomatis.

    Dengan mempertimbangkan argumen tersebut, agaknya pandangan Salim Said tentang latar belakang anugerah jenderal besar oleh TNI sebelas tahun silam itu lebih realistis. Pakar militer yang dekat dengan para petinggi TNI ini lebih melihat peran Jenderal Sudirman, Nasution, dan Soeharto dalam perkembangan peran politik militer di Indonesia. Ia melihat Jenderal Sudirman sebagai peletak dasar pemikiran bahwa militer adalah alat negara, bukan alat pemerintah. Ini dibuktikannya dengan tetap meneruskan perlawanan bersenjata kendati para pucuk pimpinan pemerintah telah ditangkap Belanda dan pusat pemerintahan telah diduduki musuh.

    Jenderal Nasution dianggap berjasa mengembangkan doktrin dwifungsi sebagai konsep peran politik TNI. Gagasan ini pertama kali dilontarkan Jenderal Nasution ketika berpidato di depan Akademi Militer di Magelang, 11 November 1958. Dalam pidato tanpa teks itu Jenderal Nasution mengatakan bahwa TNI bukanlah sekadar alat pemerintah seperti di negara Barat dan juga bukan pemegang monopoli kekuasaan seperti di negara-negara Amerika Latin. TNI, menurut Nasution, memilih jalan tengah dan para perwira militer berhak untuk turut serta—bersama unsur masyarakat yang lain—mengambil peran nonmiliter dalam membangun negara.

    Jenderal Soeharto, menurut Salim Said, dianggap pihak militer berjasa dalam menerapkan konsep dwifungsi itu. Hal ini dilakukan setelah berhasil memberantas kelompok komunis, yang dikenal sebagai lawan politik utama militer di era Orde Lama pada 1965. Ia kemudian mengkonsolidasi peran politik TNI dengan cara melemahkan partai-partai politik melalui upaya depolitisasi, yaitu dengan menggulirkan gagasan ”massa mengambang”. Belakangan konsolidasi ini semakin kukuh melalui kebijakan penyederhanaan partai dan penerapan asas tunggal dan pemihakan TNI pada Golkar.

    Penerapan dwifungsi TNI versi Jenderal Soeharto itu tak selalu didukung penuh oleh kalangan militer. Pada akhir 1970-an, setelah terjadi kerusuhan dalam pemilihan umum 1977, sekelompok perwira senior Angkatan Darat meluncurkan ”Makalah Seskoad”, yang pada intinya berpendapat bahwa peran politik militer terlalu berlebihan. Kelompok yang kemudian disebut Fosko itu menyerukan agar TNI kembali ke jalan yang murni dengan menjadikan dirinya di atas semua golongan.

    Kelompok ini lebih memilih TNI berperan seperti militer Turki, yang tak terlibat kegiatan politik sehari-hari dan hanya bergerak bila konstitusi sekuler progresif peninggalan Kemal Ataturk dianggap terancam. Penglima ABRI saat itu, Jenderal Yusuf, bahkan telah menyiapkan rencana menarik sekitar 16 ribu personel TNI yang mendapat tugas kekaryaan di berbagai institusi sipil kembali ke tugas militer. Namun pandangan yang kemudian didukung Jenderal Widodo, Kepala Staf TNI-AD saat itu, ditepis oleh Jenderal Soeharto.

    Tepisan itu dilakukan amat nyaring ketika Presiden Soeharto berpidato di Pekanbaru pada Maret 1980. Jenderal Widodo diganti dan para jenderal purnawirawan yang memprotes pidato di Pekanbaru dengan menandatangani Petisi 50 pun dicekal, termasuk Jenderal Nasution. Para pendukung Jenderal Soeharto, yang oleh pakar wartawan Australia David Jenkins disebut kelompok pragmatis, kemudian membuat konsep tandingan yang dikenal sebagai ”Makalah Hankam”.

    Sejarah mencatat, konsep kelompok pragmatis ini yang kemudian dijalankan Presiden Soeharto. Bagi kalangan yang sinis, pelaksanaan konsep ini di lapangan sebenarnya amat mirip dengan konsep pendudukan militer. Tentara menjadi alat pemerintahan Soeharto. Mitra sipil peran politik TNI adalah Golkar, yang oleh salah seorang tokohnya, Rahman Tolleng, disebut bukan partai yang berkuasa (ruling party) tapi partainya penguasa (ruler’s party). Dengan dukungan kuat TNI melalui jaringan teritorial, temasuk kekaryaan, Golkar pun terus-menerus menang dalam pemilihan umum yang berlangsung setiap lima tahun.

    Jenderal Soeharto semakin ringan tangan dalam memanfaatkan militer untuk menjalankan tugas nonmiliter. Operasi pembersihan para preman yang dianggap mengganggu ketenteraman diberikan kepada tentara. Ribuan preman bertato pun tewas ditembak secara misterius.

    Kesibukan aparat militer di berbagai bidang nonmiliter ini pada akhirnya bermuara pada menurunnya kemampuan profesional militer TNI. Kecenderungan ini semakin buruk setelah pengaruh keluarga dan kroni Cendana mulai merasuk ke sistem promosi di jajaran militer. Jenderal L.B. Moerdani, seorang pendukung setia dari kelompok pragmatis yang mencoba mengingatkan Jenderal Soeharto tentang bahaya pengaruh nepotisme, malah terpental dari posisinya sebagai Panglima ABRI.

    Militer pun seolah menjadi lembaga kebal hukum dan ringan tangan dalam menggunakan kekerasan. Peningkatan keterlibatan aparat militer dalam berbagai kegiatan bisnis dan politik menyebabkan maraknya antipati masyarakat terhadap tentara. Perangkat perang TNI memang makin modern dan canggih tapi pertautan hati dengan rakyat justru merenggang.

    Kerenggangan ini amat dirasakan oleh para perwira muda, terutama yang terlibat dalam berbagai operasi militer di Timor Timur, Aceh, dan Papua. Posisi mereka seolah terbalik dengan generasi 45. Para senior pendiri TNI melakukan perang gerilya bersama rakyat melawan musuh dari luar yang lebih profesional secara militer. Para perwira muda penerus justru memiliki perangkat militer yang lengkap dan dilatih secara profesional dan harus berhadapan dengan pemberontakan bersenjata yang setidaknya didukung oleh sebagian rakyat setempat. Di lapangan mereka mulai paham bahwa pemberontakan-pemberontakan itu terjadi karena penyelesaian politik tak berjalan, bukan karena kegiatan musuh dari luar. Politik tak jalan karena dominasi militer terlalu kuat.

    Pandangan ini setidaknya diutarakan almarhum Jenderal Agus Wirahadikumah, yang mengatakan ”ABRI mampu menjalankan apa pun kecuali di bidangnya sendiri”. Alumni Akabri angkatan 1973 ini tak sendirian. Itu sebabnya berbagai diskusi dilakukan para perwira muda yang risau, bahkan angkatan 1973 pun akhirnya memutuskan menerbitkan pendapat mereka dalam sebuah buku. Salah satu anggotanya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan kemudian berperan aktif menyiapkan konsep paradigma baru TNI yang membawa militer aktif keluar dari kancah politik praktis.

    Pemberian gelar jenderal besar kepada Soeharto boleh jadi merupakan cara canggih para perwira muda ini menyampaikan pesan mereka. Pangkat kehormatan tertinggi TNI ini diberikan sekaligus kepada Jenderal Sudirman dan Jenderal Nasution, peletak dasar dan penggagas konsep peran militer yang, menurut mereka, telah dilanggar oleh Soeharto.

    Dan Jenderal Besar Soeharto kelihatannya menangkap pesan itu. Terbukti, dalam acara hari ulang tahun TNI pada 1997, ketika Soeharto pertama kali mengenakan bintang lima di acara publik, ia mengatakan perlunya TNI bersikap ”tut wuri handayani” alias mengurangi dominasinya di masyarakat.

    Upaya ini ternyata terlambat. Krisis ekonomi menerpa dan gelombang tsunami reformasi pun datang. Kali ini para pimpinan TNI membujuknya turun agar pihak militer tak harus berhadapan dengan rakyat dan tenggelam bersama rezim Orde Baru. Soeharto akhirnya sepakat setelah panglima TNI berjanji melindungi keamanan dan harkatnya.

    Janji itu terbukti dipegang TNI. Sampai sang Jenderal Besar diturunkan ke liang lahat, Senin pekan lalu.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus