Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pejuang Bahari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NASIB tenaga kerja Indonesia di kapal ikan milik Cina pada awal Mei lalu yang viral di Korea Selatan telah menjadi bahasan hangat di Tanah Air. Keluhan yang muncul: lauk dari umpan penangkapan ikan, jam kerja dengan sedikit istirahat, gaji yang rendah, hingga jenazah yang dilarung ke laut. Kalau memang yang terjadi adalah suatu eksploitasi, perbudakan, atau perlakuan yang keterlaluan dan melanggar hak asasi manusia, pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk melindungi warga negara. Agen pengirim tenaga kerja terkait juga harus diberi tindakan keras agar hal serupa tidak terulang. Apalagi saat ini anak buah kapal yang berasal dari Indonesia paling banyak digunakan oleh armada perikanan samudra internasional karena etos kerjanya di laut tergolong tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, di sisi lain, harus berhati-hati pula dalam melihat persoalan tersebut. Bisa jadi memang kebutuhan tatanan kerjanya yang “tidak biasa”. Para tentara di medan tempur, atau tenaga medis saat menghadapi musibah kritis, sering menghadapi kondisi yang tidak normal. Jam kerja tidak menentu, konsumsi serta sarana-prasarana darurat, dan sebagainya. Pekerjaan menangkap ikan di samudra dibandingkan dengan kondisi kerja di darat memang terasa tidak normal.
Misalnya penangkapan ikan di samudra yang terjadi dalam kasus tersebut, ada kemungkinan alat tangkapnya tuna longline karena menggunakan umpan ikan. Alat ini berupa tali berpelampung, disambung hingga sekitar 100 kilometer, bercabang tali yang di ujungnya terikat 1.500-2.000 mata pancing. Pada setiap mata pancing ditaruh umpan, yakni ikan bandeng, layang, lemuru, atau cumi-cumi. Kalau keluhan anak buah kapal (ABK) Cina tersebut diberi lauk umpan pancing ikan, yakni bandeng, lemuru, layang, atau cumi-cumi, kiranya tidak terlalu buruk dan bisa dipahami.
Penangkapan ikan menggunakan longline berada di tengah samudra. Perjalanan dari pelabuhan perikanan tempat kapal berangkat hingga area penangkapan ikan atau fishing ground memakan waktu satu-dua minggu. Begitu juga perjalanan pulang membawa tangkapan. Adapun hari operasionalnya satu atau dua bulan. Dalam perjalanan berangkat ke fishing ground, atau kembalinya, para ABK kebanyakan menganggur, tidak ada aktivitas. Namun, pada saat operasi penangkapan ikan, jam kerjanya sesuai dengan kebutuhan alat tangkap untuk memperoleh hasil yang maksimal, memakan waktu yang cukup panjang, yakni sekitar 16 jam.
Rangkaian pancing dipasangi umpan satu per satu sambil diulur masuk ke laut—disebut setting—biasanya sejak pukul 03.00 hingga sekitar pukul 09.00. Pada tengah hari, sekitar pukul 13.00, pancing mulai ditarik ke geladak kapal dan ABK melepas ikan tangkapan yang terpancing. Hauling ini bisa berakhir sampai menjelang tengah malam. Realitas kondisi kerja seperti ini mungkin ditenggang dengan alasan bahwa dalam perjalanan dari saat berangkat menuju fishing ground dan ketika kembali para ABK dalam kondisi “nganggur”, tanpa aktivitas.
Ihwal gaji atau upah yang diterima terlalu sedikit, mungkin itu karena sistem pembayarannya. Dengan beberapa pertimbangan, gaji tidak dibayar penuh setiap bulan, tapi akan diberikan penuh setelah kembali ke pelabuhan pangkalan tempat membongkar tangkapan di lokasi perusahaan.
Yang terakhir, yakni masalah jenazah ABK yang “dibuang” atau dilarung ke laut, sebetulnya ada kemungkinan hal itu dapat dimaklumi, sebagaimana aturan International Labor Organization apabila ada ABK yang meninggal di tengah laut dalam kapal yang tidak memiliki prasarana tempat penyimpanan mayat. Apalagi bila posisinya di fishing ground yang memerlukan beberapa hari menuju pelabuhan. Hanya, sebaiknya pelarungan jenazah disertai dengan adat atau tatanan yang sesuai dengan agama mendiang.
Uraian tersebut sekadar sisi lain, dengan pertimbangan realitas profesi pejuang bahari, sehingga dalam melihat kontroversi anak buah kapal perikanan Tiongkok asal Indonesia itu tidak terjadi kesalahpahaman. Namun apabila kenyataannya adalah terjadi eksploitasi atau penindasan yang tidak manusiawi, kita tentu sangat prihatin, dan perlu tindakan tegas.
Soen’an Hadi Poernomo
Pasar Minggu, Jakarta Selatan
RALAT
PADA tulisan berjudul “1918-1919: Seperti Rumput Kering Tersulut Api” dan “Setelah Pandemi: The New Normal” dalam rubrik Selingan edisi 18-24 Mei 2020, tertulis nama narasumber Tubagus Arie Rukmana, seharusnya Tubagus Arie Rukmantara. Mohon maaf atas kekeliruan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo