Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Ancaman Investasi Asing

URUSAN investasi asing selalu saja membuat panas orang Indonesia.

1 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ancaman Investasi Asing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak hanya pada saat ini, ketika pemerintah membuka modal luar masuk ke 54 bidang usaha, pada 1994 keriuhan terhadap investasi asing juga meningkat. Majalah Tempo edisi 11 Juni 1994 merekam tensi itu lewat artikel ”Pintu Lebar bagi Penanaman Modal Asing”. Pemicunya adalah pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Kepemilikan Saham Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal Asing.

Kereta api cepat Shinkansen boleh dikhayalkan meluncur antara Jakarta dan Surabaya. Maskapai penerbangan asing pun leluasa menerbangi wilayah udara Republik Indonesia, menandingi Garuda dan Sempati tentu saja. Koran dan majalah Amerika Serikat, seperti The International Herald Tribune dan Time, boleh jadi juga diterbitkan di Jakarta dalam edisi Indonesia. Semua impian gila itu berpeluang diwujudkan tak lain karena kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, yang membebaskan semua kegiatan tersebut untuk investor asing.

Singkatnya, semua sektor yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak kini terbuka 95 persen untuk pemodal asing. Sebelum itu, sektor-sektor tersebut tidak pula sama sekali tertutup, hanya saham asingnya dibatasi paling banyak 45 persen. Seperti tercantum dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967, maka pelabuhan, produksi/transmisi/jaringan dan distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom, serta media massa tertutup untuk penanaman modal asing ”secara pengusahaan penuh”.

Kini, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, segala hambatan nyaris tersingkirkan. Tapi PP Nomor 20 yang diteken Presiden Soeharto dan diundangkan di Jakarta oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono pada 19 Mei 1994 itu baru diumumkan 14 hari kemudian (2 Juni 1994). Pengumuman dilakukan oleh Menteri Moerdiono bersama Menteri Negara Penggerak Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Sanyoto Sastrowardoyo dan Menteri Perindustrian Tunky Ariwibowo. Padahal selama ini paket-paket deregulasi biasanya diumumkan secara terkoordinasi lewat menteri koordinator bidang ekonomi, keuangan, dan pengawasan pembangunan.

Ada kesan paket deregulasi ini dikeluarkan tanpa koordinasi dengan departemen terkait. Menteri Perhubungan Haryanto Danutirto, misalnya, kaget ketika ditanyai apa penyebab sektor angkutan kereta api dan pelayaran boleh dimasuki investor asing. ”Kalau di bidang angkutan laut, kapal asing memang sudah lama (sejak November 1988) boleh dimasuki asing,” kata Haryanto. Tapi bahwa asing boleh membuka perusahaan pelayaran di sini, Haryanto juga tak paham.

Menteri Penerangan Harmoko pun mengaku tidak tahu-menahu bahwa asing kini boleh terjun dalam industri media massa di Indonesia. Dalam penyusunan paket deregulasi ini, ”Sama sekali tidak ada koordinasi dengan Menteri Penerangan,” ujar Harmoko blakblakan. Deregulasi investasi di bidang media massa itu ternyata cuma deregulasi semu karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, Undang-Undang Pokok Pers. Industri media dalam undang-undang tersebut tak boleh dimasuki investor asing.

Menurut Menteri Sanyoto, investasi asing dalam peraturan pemerintah tersebut tak boleh dikuasai penuh sebagaimana mandat Undang-Undang Penanaman Modal Asing Tahun 1967. ”Tapi, kalau patungan, boleh. Jadi bisa mengundang asing untuk membuat pembangkit listrik, memasang telepon, air minum, dan sebagainya,” tuturnya. Sebelum ini peluang juga sudah diberikan kepada pihak asing, antara lain dalam pemasangan telepon dan pembangkit listrik dengan sistem BOT (bangun, operasi, transfer). Dewasa ini setidaknya ada enam perusahaan yang ingin masuk ke bidang pembangkit listrik.

Ketua Asosiasi Pengusaha Perkapalan Indonesia Hartoto Hardikusumo pesimistis karena pajak perkapalan di Indonesia terlalu tinggi dan memberatkan usaha pelayaran. ”Kalau dibandingkan dengan di luar negeri, pajak kita lebih tinggi 17,5 persen. Itu yang resmi, belum lagi uang silumannya,” ujar Hartoto. Jadi apakah ada investor asing yang tertarik? ”Mereka jelas lebih enak memilih basis seperti Singapura dan Hong Kong, lalu kapalnya dioperasikan ke Indonesia,” Direktur PT Admiral Lines itu menambahkan.

Mungkin itu sebabnya paket deregulasi kali ini memberikan tenggang bagi perusahaan penanaman modal asing melepaskan sahamnya kepada mitra lokal. Soalnya, investasi asing bukan lagi agen tunggal perdagangan yang mencari untung besar, melainkan industri yang membutuhkan waktu panjang sebelum mencapai titik impas. Indonesianisasi kepemilikan saham mayoritas (51 persen), yang mula-mula diberi paling lama 10 tahun, terakhir ditetapkan lebih drastis: pihak asing ”dapat” melepaskan sebagian sahamnya kepada mitra lokal setelah 15 tahun sejak berproduksi komersial.


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  11 Juni 1994. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201302010042/habibie-dan-kapal-itu-bj-habibie#.XAFG2oszaUk

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus