Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Apa yang Kaucari, Dipo?

31 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjelang pemilihan presiden pada 2014 ini, nama Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo muncul sebagai calon presiden. Kisahnya mirip dengan yang terjadi pada Ali Sadikin pada 1977. Bedanya, Jokowi didukung partainya, PDI Perjuangan, sedangkan nama Ali awalnya disokong oleh dua gelintir mahasiswa.

Ali Sadikin dikisahkan berhenti sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan Surat Keputusan Presiden Tanggal 15 Juni Nomor 70 M/1977. Tapi, hampir sebulan sebelumnya, dua mahasiswa mencalonkannya untuk kursi presiden. Mereka adalah Dipo Alam dan Bambang Sulistomo. Mengenakan kaus oblong bergambar wajah Bang Ali, mereka berbicara di sebuah warung di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.

Beberapa hari kemudian tampak beberapa mahasiswa Universitas Indonesia mengenakan kaus oblong bergambar Bang Ali itu. Rupanya mereka membeli di Bursa UI, yang menjualnya dalam jumlah terbatas. Harganya cuma Rp 350, tentu saja cepat laris.

Akan halnya Dipo dan Bambang, mereka menilai Presiden Soeharto bukannya tidak berhasil. "Justru keberhasilan Soeharto itu harus digalakkan. Dan percepatan pembangunan memerlukan orang seperti Ali Sadikin," kata Dipo. Aksi yang mereka sebut "Gerakan Pemikiran" itu ternyata lahir cuma dalam sehari. Adapun petisi mereka "bersumber dari surat pembaca di koran-koran" sebagaimana diungkapkan Bambang Sulistomo, anak Bung Tomo yang pernah ditahan karena Peristiwa 15 Januari.

Petisi bertanggal 20 Juni itu antara lain "mencoba mengajukan seorang calon untuk diikutsertakan ke pemilihan presiden dalam SU MPR pada Maret 1978". Terpilih atau tidak, "tergantung pelaksanaan Demokrasi Pancasila". Mereka berharap tidak dianggap beriktikad buruk. "Andai kata iktikad kami ini dicurigai, peringatkanlah kami, tunjukkanlah di mana kesalahan kami," tulis petisi.

Bambang mengaku tak punya keinginan politik. "Kami hanya ingin agar arus bawah dapat pula berpartisipasi mengembangkan kebudayaan politik." Dipo menimpali. "Dibilang move politik, enggak juga. Lebih tepat memang 'Gerakan Pemikiran'," ujar Bambang menyahut.

Sadar bahwa mereka melawan arus, kedua mahasiswa itu katanya siap menanggung risiko. Dan mereka juga tak mau dikaitkan dengan kegiatan kampus UI. Tapi Lukman Hakim, Ketua Dewan Mahasiswa UI, yakin (atau berharap) bahwa Dipo dan Bambang punya konsep dan perencanaan yang matang. "Kalau mereka sekadar melemparkan isu tanpa backing konsep yang kuat, akan sia-sia," katanya.

Bahwa mereka meminjam TIM untuk bicara, itu ada alasan tersendiri. Sebab, "Di sini kita bebas bicara, meskipun tempat bukanlah soal," ujar Bambang.

Reaksi terhadap "Gerakan Pemikiran" itu belum ada yang tegas. "Petisi tersebut, sebagai alternatif, bagus," kata Chalid Mawardi, Sekjen DPP PPP. "Tapi soal itu toh bergantung pada pilihan MPR juga," ujar Nuddin Lubis, Ketua DPP PPP. Sedangkan Sabam Sirait, Sekjen DPP PDI, merasa gembira terhadap petisi itu, meskipun tak bersedia bicara banyak. Sabam cuma menyatakan, "Yang jadi pelopor kan biasanya generasi muda." Di lain pihak, Sumiskum menganggap "usul seperti itu dalam negara demokrasi adalah biasa". Terlepas dari materinya, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Karya Pembangunan itu memperjelas sikapnya bahwa usul pencalonan tersebut merupakan sumbangan terhadap usaha mendewasakan bangsa.

Lalu bagaimana kalau Ali Sadikin menolak? "Yah, selesailah sudah gerakan kami," jawab Dipo. Kepada pers, Ali menilai Dipo-Bambang memiliki keberanian moral di tengah masyarakat yang takut menyatakan pendapat.

Kalau Majelis Permusyawaratan Rakyat mencalonkannya sebagai presiden? "Saya kan tak punya backing," jawabnya. "Lagi pula, Indonesia kan bukan Amerika Serikat, di mana orang bisa menyatakan keinginannya jadi presiden." Perwira Angkatan Laut yang pernah punya cita-cita jadi ahli kebidanan itu akhirnya menyatakan, "Serahkan soal presiden dan wakil kepada Sidang Umum MPR yang akan datang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus