Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGGEBER kampanye riuh-rendah di lapangan terbuka dan layar televisi, partai politik tampaknya sedang mengejar harapan kosong. Hajatan tiga pekan berbiaya besar itu terlihat hanya ramai di permukaan, tapi diragukan efektivitasnya dalam meningkatkan suara partai dalam pemilihan umum.
Jajak pendapat oleh sejumlah lembaga survei menunjukkan sebagian besar responden telah menetapkan pilihan jauh-jauh hari. Pilihan mereka pun, pada umumnya, didasarkan pada calon legislator, bukan partai politik. Ini memang "anomali" survei, karena pada saat yang sama hanya sedikit responden yang menyatakan mengenal calon legislator di daerah masing-masing.
Kampanye terbuka lazimnya hanya berisi teriakan-teriakan elite partai. Isinya seragam, semisal menjelekkan partai lain dan janji kosong menyejahterakan masyarakat. Tak ada detail, misalnya bagaimana janji sejahtera itu bisa dipenuhi kelak. Acara inti yang menjadi pusat perhatian hadirin adalah goyangan artis penghibur di panggung.
Hampir bisa dipastikan, kampanye terbuka semata hanya menjadi ritual mahal—Rp 1,5-2 miliar per acara. Untuk kampanye terbuka di tempat sebesar Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, bahkan biayanya belasan miliar rupiah. Padahal, selain diikuti aktivis dan keluarganya yang telah menjadi "pasar tetap" suatu partai, acara hanya dihadiri peserta yang menikmati hiburan. Sebagian malah datang karena upah. Adapun target sesungguhnya, yaitu pemilih rasional yang tertarik pada program dan visi-misi, akan mencari sendiri informasi tentang hal itu di tempat lain.
Jelas, mustahil meraih kepercayaan pemilih hanya dengan beradu orasi yang seragam selama tiga pekan. Partai-partai semestinya berkampanye terus-menerus, dengan menunjukkan kinerja yang prima. Caranya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di tingkat kabupaten dan kota betul-betul memperjuangkan kepentingan masyarakat. Hanya mereka yang berhasil bisa dipromosikan untuk menjadi calon anggota Dewan level provinsi, dan seterusnya hingga level anggota Dewan pusat di Senayan.
Di Senayan, anggota Dewan sepatutnya berkonsentrasi pada tugas utama mereka, yaitu legislasi. Fungsi utama ini banyak diabaikan oleh DPR periode sekarang. Selain jumlahnya kecil, sebagian undang-undang yang mereka susun berkualitas rendah. Terbukti dengan banyaknya pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Banyak politikus malah sibuk dengan urusan anggaran, yang tak jarang berubah menjadi makelar.
Pada masa mendatang, untuk memberi apresiasi pada legislator yang bermutu, perlu dipertimbangkan ide menamai undang-undang dengan nama pemrakarsanya. Misalnya Undang-Undang Bajuri untuk aturan pembatasan kendaraan roda tiga yang diprakarsai anggota Dewan yang bernama Mahmud Bajuri. Penamaan ini akan memunculkan pertarungan ide di antara politikus, yang tentu saja memperjuangkan ide berdasarkan kepentingan konstituen masing-masing. Inilah kampanye sesungguhnya, yang bisa disaksikan masyarakat sepanjang waktu. Mereka yang dianggap gagal kecil kemungkinannya dipilih lagi dalam pemilihan berikutnya.
Kampanye terus-menerus juga bisa dilakukan para politikus partai yang duduk di pemerintahan. Bupati atau wali kota perlu berlomba-lomba menjadi pemimpin yang baik dan tidak korup. Mereka yang dinilai berhasil bisa dipromosikan menjadi calon gubernur. Pemimpin provinsi yang memiliki jejak luar biasa boleh diajukan sebagai calon presiden. Dengan begitu, pemimpin pemerintahan dan anggota badan legislatif di pusat bukanlah tokoh karbitan. Mereka telah melewati jenjang karier dari level terbawah sekaligus melakukan "kampanye" sepanjang waktu.
Kampanye terus-menerus seperti itu bermanfaat bagi masyarakat. Hampir dipastikan, efeknya pun jauh lebih mendalam bahkan dibandingkan dengan reklame di layar kaca. Pemasangan iklan di televisi yang mahal, menurut berbagai jajak pendapat, tidak terlalu berpengaruh pada elektabilitas suatu partai meski bisa mendongkrak popularitas mereka.
Jika kampanye sepanjang waktu itu dilakukan, masyarakat tak akan lagi menerima janji kosong politikus yang disampaikan melalui berbagai panggung selama tiga pekan. Tak perlu juga pengerahan aparat keamanan untuk menjaga arak-arakan massa. Pemilihan umum semestinya kemudian akan menjadi lebih murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo