Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Impor di Tengah Swasembada

Pemerintah berencana mengimpor beras di tengah panen raya. Persoalan serupa pernah terjadi pada 1981 ketika pemerintah tetap mengimpor beras di tengah swasembada. 

27 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Impor di Tengah Swasembada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah mengimpor beras di tengah panen raya.

  • Bulog menyiapkan dana sebesar Rp 800 milyar untuk membangun gedung baru.

  • Pendapatan petani tak mengimbangi kenaikan laju inflasi.

RENCANA Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengimpor beras menuai banyak kritik. Salah satunya datang dari Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi). Wakil Ketua Umum Perpadi Jakarta Billy Haryanto mengatakan rencana impor beras tidak berpihak kepada petani lokal. "Jangan asal bicara tentang impor. Sebelum ambil keputusan, dia harus benar-benar lihat ke bawah dahulu," ujar Billy, Rabu, 24 Maret 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana impor beras membuat harga gabah kering anjlok dari Rp 5.000 per kilogram menjadi Rp 3.500 per kilogram. Billy meminta pemerintah betul-betul menghitung kebutuhan beras riil di lapangan dengan memperhitungkan produksi petani. "Kami tidak anti-impor. Boleh impor tapi waktunya jangan saat panen raya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Urusan impor beras di negara agraris punya jejak panjang. Majalah Tempo pada 21 November 1981 mengulas kontroversi impor beras di tengah gencarnya program swasembada melalui laporan berjudul "Antara Impor dan Swasembada". Saat itu, laporan produksi pangan yang disampaikan ke Presiden Soeharto melimpah. Namun, pada saat yang sama, ada lebih dari 1.500 penduduk di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menderita kemungkinan kurang makan.

Untuk mengatasi perkara tersebut, Soeharto memanggil Kepala Badan Urusan Logistik Bustanil Arifin. Soeharto memerintahkan Bustanil menyiapkan 15 ribu ton beras. "Begitu ada perintah supaya didrop, kami sudah siap," tutur Bustanil. Jumlah tersebut tak seberapa jika dibandingkan dengan cadangan beras di Bulog yang mencapai 2,8 juta ton. Jumlah ini melampaui jumlah cadangan pangan nasional pada tahun-tahun sebelumnya.

Stok yang melimpah tersebut berasal dari produksi dalam negeri. Menteri Pertanian Soedarsono mengatakan produksi beras dalam negeri melimpah dalam tiga tahun terakhir. "Produksi beras kita mencapai 22,16 juta ton sampai hari ini," ucap Soedarsono. Jumlah ini melampaui estimasi yang hanya sebesar 20 juta ton. Di atas kertas, menurut dia, swasembada pangan telah tercapai. Sebab, rata-rata konsumsi beras nasional berada di angka 20 juta ton per tahun.

Namun melimpahnya stok beras nasional, yang memenuhi lumbung-lumbung daerah, tak membuat pemerintah pusat saat itu menghentikan rencana impor. Berdasarkan data, saat panen raya pada 1979, impor beras masih mencapai 1,9 juta ton. Impor tak berhenti hingga 1980 dengan angka 1,3 juta ton. Tahun ini (1981), pemerintah berencana mengimpor sekitar 500 ribu ton beras.

Meski stok melimpah, Bustanil mengatakan impor beras tak terelakkan untuk mengamankan stok pangan jangka panjang. Ia beralasan kejadian pada 1972 tak boleh terulang lagi. Saat itu, krisis pangan terjadi meski produksi meningkat. Penumpukan stok 525 ribu ton beras tidak mampu menandingi dampak gagal panen akibat kemarau panjang. Sejak saat itu, impor beras terus menanjak hingga 1979.

Menurut ahli pertanian dari Stanford University, Amerika Serikat, dan juga konsultan Bulog, Leon A. Mears, pertumbuhan konsumsi beras di Indonesia rata-rata sebesar 5 persen per tahun. Sementara itu, pertumbuhan produksi hanya sebesar 4 persen per tahun. Untuk mencapai swasembada beras, produksinya harus tumbuh 6,6-6,8 persen per tahun.

Demi mengamankan stok beras produksi petani dan impor, Bulog menyewa banyak gudang. Harga sewanya terbilang mahal, sekitar Rp 10 per ton per hari. Artinya, Bulog harus membayar Rp 9 juta setiap hari untuk menyimpan 900 ribu ton beras. Pemerintah bahkan menyiapkan dana sebesar Rp 800 miliar untuk membangun gudang baru.

Impor beras juga akan mengancam pendapatan petani. Tanpa adanya impor saja, pendapatan petani tak mengimbangi laju inflasi. Guru besar Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Moeljadi Banoewidjojo, mengatakan setiap harga dasar padi dinaikkan, harga barang-barang yang lain ikut naik. "Beginilah ciri-ciri ekonomi beras yang merupakan ciri ekonomi Indonesia," ujarnya.

Nasib yang lebih mengenaskan dialami oleh petani pemaroh, yang tidak memiliki lahan, dan buruh tani. Menurut dia, kedua golongan petani ini masih hidup pas-pasan meski produksi beras melonjak.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus