Terima kasih atas perhatian Saudara T. Djamaluddin, dari Department of Astronomy, Kyoto University, Sakyo-ku, Kyoto 606, Japan. Buah pikiran Anda pada Komentar TEMPO, 21 Agustus, sudah saya teliti dengan saksama. Saya tertarik pada penanggalan dan bencana alam yang menurut Anda tak bersifat periodik. Dalam hal ini, saya tak sependapat dengan Anda. Berbeda dengan penanggalan Qomariah, penanggalan berdasarkan matahari tak permanen. Ketika Julius Caesar berada di Mesir, dengan bantuan astronom Yunani, Sesigenes, ia mengubah tradisi bangsa Romawi dengan penanggalan matahari, yang berdasarkan empat musim. Itu dimulai pada tahun 45 SM. Untuk menghormati Caesar, bulan ketujuh, Quintilis, diubah menjadi Juli. Selanjutnya tercatatlah kelahiran Yesus pada 25 Desember tahun keempat sebelum Masehi. Jadi, seharusnya, tahun 1990 ditulis tahun 1994. Setelah 16 abad kemudian, ternyata, penanggalan itu tak tepat lagi. Maka, Paus Goergery VIII menetapkan penanggalan baru pada tahun 1582, dan mengurangi jumlah harinya 11 hari. Bulan Februari yang 30 hari diperpendek menjadi 28 hari, dan sekali setiap 4 tahun menjadi 29 hari. Tanggal 4 Oktober 1582 dijadikan 15 Oktober. Kini terdengar lagi pendapat yang cenderung memperbaiki penanggalan itu. Hal ini tentulah disebabkan oleh semakin berkurangnya zigzag orbit bumi ke utara dan ke selatan garis ekliptik. Harian Business Times, edisi 30 Januari 1979, pada judul Is the World Getting Colder, menyebutkan bahwa lapisan es di belahan utara dan selatan bumi, yang terbentuk jauh sebelum abad ke-20, luasnya sekitar 4 juta kilometer persegi. Sampai tahun 1972 lapisan itu telah meliputi daerah 37 juta kilometer persegi. Perubahan musim yang demikian itu akan terus berpengaruh pada penanggalan matahari. Pada suatu saat, masyarakat akan meninggalkannya dan memakai penanggalan Qomariah yang tanpa salah dan berubah sepanjang zaman. Hal itu sekaligus membenarkan firman Allah pada Surat Arrad ayat 41 dan Surat At Taubah ayat 37. Tentang bencana alam tidaklah bersifat periodik, saya sajikan contoh yang menurut saya justru bersifat periodik. Pada tahun 1946 dan 1957 Masehi pernah terjadi gangguan gelombang radio di seluruh bumi. Dan 11 tahun kemudian, yakni pada tahun 1968, terjadi cuaca yang amat buruk, sehingga banjir di sekitar Mekah. Tanggal 30 Juni 1908 terjadi ledakan besar di Tunguskha Siberia, sekitar 60 mil hutan hangus menjadi debu. Selama 1 minggu Eropa utara mengalami malam yang terang, karena cahaya yang dipantulkan asap yang mengepul tinggi di angkasa daerah bencana. Kejadian ini masih merupakan teka-teki besar bagi para ilmuwan Barat. Tapi Allah telah menerangkannya pada Surat Al Qadar surat 3 bahwa dalam 1.000 bulan (83 tahun Qomariah) atau 81 tahun matahari akan berlaku bencana lagi. Tahun 1989, yakni 81 tahun sejak ledakan di Tunguska itu, terjadi gempa dahsyat di Armenia. Jadi, sekitar tahun 2070, pastilah terulang kembali bencana itu. BAGUS SUDJONOSumberayu, RT 61, Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini