Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERDASARKAN uji laboratorium, kandungan dioksin dalam telur mencapai 200 pikogram TEQ g-1 lemak. Kadar tersebut paling tinggi kedua di Asia atau hanya satu tingkat di bawah kandungan dioksin di situs Bien Hoa di Vietnam, yang terpapar senjata kimia buatan Amerika Serikat.
Dioksin adalah kelompok zat berbahaya yang dapat memicu berbagai penyakit, seperti diabetes, kanker, dan jantung. Dioksin berasal dari pembakaran limbah yang mengandung senyawa klorin, seperti pestisida, plastik, dan bubur kertas. Pada kasus di Desa Tropodo, tingginya kandungan dioksin di sana diduga akibat penggunaan sampah plastik sebagai bahan bakar puluhan pabrik tahu. Belakangan diketahui bahwa sebagian sampah plastik itu limbah dari luar negeri.
Masuknya limbah dari luar negeri bukan persoalan baru. Tempo edisi 3 Desember 1988 pernah membuat laporan panjang soal limbah industri dari luar negeri. Laporan bertajuk “Pelayaran Limbah Celaka” itu mengulas bagaimana Indonesia kerap ditawari limbah dari negara-negara Eropa. Misalnya limbah dari Sungai Rhein, Jerman Barat, yang ditawarkan dibuang ke Laut Jawa.
Sebanyak 14 ribu ton limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)—di antaranya mengandung merkuri, nikel, zinc, dan dioksin—diangkut kapal Felecia yang berbendera Honduras, Amerika Tengah. Sejak 1986, Felecia berlayar ke berbagai negara, seperti Sri Lanka, Filipina, dan Singapura, sebelum sampai di Indonesia. Semua negara tersebut menolak imbalan tinggi dari Felecia sebagai kompensasi.
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim menyatakan Indonesia menolak dijadikan tempat pembuangan limbah. “Keterlaluan. Karena itu, saya tegas menolaknya,” ujar Emil. Ia juga melayangkan surat kepada Menteri Perhubungan Azwar Anas supaya melarang Felecia buang jangkar di pelabuhan Indonesia.
Setelah mendapat penolakan dari Indonesia, Felecia dikabarkan melempar sampah beracun itu ke Lautan Hindia. Tak jelas persisnya di mana. Negara mana yang mengizinkan kapal itu membuang limbah tersebut juga tidak diketahui.
Selain Felecia, ada kapal Jerman Barat yang membawa 3.000 ton sampah kimia dari New York, Amerika Serikat, pada 1987. Kapal ini pun tidak mendapatkan tempat untuk membuang sampah. Begitu pula nasib kapal Karin B, yang mengangkut limbah kimia beracun sejak Agustus 1987. Sampah 2.100 ton yang diangkut kapal milik pengusaha dari Italia itu berasal dari sejumlah perusahaan kimia di Eropa, terutama dari Italia.
Para pengamat lingkungan hidup menilai maraknya pembuangan sampah tersebut adalah bukti buruknya penanganan limbah industri di Eropa. Mereka melindungi dalam negerinya dengan membuang sampah ke negara-negara miskin.
The Straits Times pada September 1988 menulis bahwa negara-negara di Dunia Ketiga rata-rata menerima 300 ribu ton sampah kimia per tahun dari 12 negara Eropa yang bersedia mengeluarkan biaya mahal untuk mendapatkan tempat pembuangan limbah. Misalnya Guinea, Afrika Barat, yang setuju menampung 3,5 juta ton sampah setiap tahun selama lima tahun -dengan imbalan US$ 140 juta per tahun.
Bagi Guinea, duit tersebut mungkin angka yang besar. Namun, bagi industri-industri di Eropa, harga tersebut sangat murah. Untuk menghancurkan sampah berbahaya, di tempat pembakaran di Eropa dibutuhkan biaya sekitar US$ 3.000 per ton. Sedangkan di Afrika biayanya hanya US$ 3 per ton karena limbah cuma ditimbun.
Emil Salim waktu itu -mengatakan masalah limbah industri bahan berbahaya dan beracun adalah prioritas utama yang sedang digarap kementeriannya. Pemerintah Indonesia segera membuat aturan yang melarang pembuangan limbah dari luar negeri. “Peraturan khusus mengenai limbah B3 itu dalam waktu dekat ini akan segera keluar,” kata Emil ketika itu.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 3 Desember 1988. Dapatkan arsip digitalnya di:
https://majalah.tempo.co/edisi/1405/1988-12-03
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo