Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEGAkorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) menyeret sekitar 60 nama, di antaranya pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pejabat di Kementerian Dalam Negeri, menteri, gubernur, serta partai politik. Nama-nama penikmat proyek yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun itu terungkap dalam sidang perdana perkara ini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis pekan lalu.
Kedua terdakwa perkara ini, mantan Direktur Pengelola Informasi dan Administrasi Kementerian Dalam Negeri Sugiharto serta mantan Direktur Jenderal Kependudukan Irman, menerima dakwaan tersebut. "Ada yang benar, ada yang tidak benar," kata Sugiharto seusai pembacaan dakwaan di pengadilan.
Tanda-tanda perkara ini bakal membikin geger sudah terasa. Ketua DPR Setya Novanto pun meminta Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mengusut kasus tersebut, agar tak membuat gaduh politik dan ekonomi nasional. Pada edisi 31 Oktober 1981, majalah Tempo menulis artikel berjudul "Dag-Dig-Dug di Mana-mana", yang isinya mengulas pernyataan Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Emil Salim mengenai indikasi korupsi di Departemen Pekerjaan Umum. Pernyataan itu sempat membuat gaduh pemerintah dan masyarakat.
"Apabila korupsi dan penyelewengan di Departemen Pekerjaan Umum dapat diatasi, ini berarti sebagian besar uang negara dapat diselamatkan. Karena PU (Pekerjaan Umum) merupakan departemen yang paling banyak menyerap anggaran pembangunan negara dari semua departemen," kata Emil di Balai Sidang, Senayan, 29 September 1981.
Ucapan Emil tersebut membuat geger. Terlebih lagi setelah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (Bepeka) Umar Wirahadikusumah yang dimintai konfirmasi mengenai pernyataan Emil dan membenarkannya. "Hal ini bisa dibuktikan dengan data yang ditemukan Bepeka," ujar Umar, Oktober 1981. Ketika didesak dengan pertanyaan bagaimana dengan departemen-departemen lain di luar Pekerjaan Umum, secara singkat dia menjawab: "Mana ada yang bersih."
Ketua Bepeka itu lantas mengungkapkan data mengenai adanya korupsi di Pekerjaan Umum serta departemen-departemen lain ditemukan sejak ia menjadi Ketua Bepeka pada 1973 sampai sekarang (1981). Sekalipun diakuinya jumlahnya tiap tahun semakin menurun….
Memberikan sambutan dalam Musyawarah Anur-Kota Seluruh Indonesia, 12 Oktober 1981, di Gedung Merdeka Bandung, Menteri Dalam Negeri Amirmachmud menyatakan kekesalannya terhadap pernyataan sekitar korupsi tersebut. "Pegawai yang jujur jumlahnya lebih banyak dari pegawai yang korup. Ini bisa dilihat dari roda pemerintahan yang masih berjalan baik. Jika yang korup lebih banyak, tentunya negara ini sudah ambruk," katanya.
Presiden Soeharto rupanya cepat tanggap. Hanya beberapa hari setelah heboh korupsi itu, Presiden memberi petunjuk kepada para menteri untuk mengumumkan penyelewengan yang telah ditindak di departemen masing-masing pada setiap apel bendera tanggal 17.
Sekalipun pengumuman tentang penyelewengan itu tidak bakal menyebutkan nama-nama pelaku, kecuali tindakan kejahatan yang dilakukannya, sebagaimana dikatakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Sumarlin, masyarakat dengan dag-dig-dug menunggu saat penting yang mungkin bisa dianggap babak baru dalam sejarah pemberantasan korupsi. Tapi harapan yang menggelembung itu segera kempis lagi.
Sebab, pada 17 Oktober 1981 ternyata hanya Kejaksaan Agung serta Departemen Perdagangan dan Koperasi yang mengumumkan ihwal penindakan terhadap pegawai yang dianggap bersalah. Banyak instansi lain yang malah tidak menyelenggarakan apel bendera dengan berbagai alasan. Dalih yang banyak dikemukakan: instruksi untuk melaksanakan itu belum diterima….Â
Namun berapa pejabat lagi yang terlibat dalam tindakan korupsi dan bisa dimejahijaukan dari hasil pemeriksaan Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup terhadap 5.700 proyek, meliputi berbagai departemen, masih harus ditunggu. Ketika ditanya mengenai hasilnya, Emil meminta supaya bersabar sampai 6 November 1981. "Daripada memberi kue setengah matang, kan tak enak," kata Emil.
Tapi tampaknya pengungkapan yang berbobot "kakap" sebagai yang terjadi dengan manipulasi oleh Kepala Depot Logistik Kalimantan Timur Budiaji ataupun Deputi Kepala Kepolisian RI Siswadji pada 1979 belum pasti akan terjadi. Laporan Emil sendiri harus masuk lebih dulu ke meja Presiden. Dari sini baru disampaikan ke Kejaksaan Agung untuk kemudian baru ke meja hijau. Masyarakat boleh berdebar-debar lagi menunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo